- Raja Ampat, Papua Barat Daya, terus dalam ancaman perusahaan-perusahaan tambang nikel. Bukan saja karena pemerintah tak mencabut semua izin, tetapi izin-izin yang sudah cabut pun masih kemungkinan aktif lagi. Terlebih, di Sorong, daerah tetangga Raja Ampat akan bangun pabrik smelter.
- Temuan Greenpeace Indonesia, total ada 16 izin tambang terbit di Raja Ampat, baik yang masih aktif maupun pernah berlaku. Ketigabelas izin itu berada dalam area geopark atau konservasi, kawasan geografis yang memiliki warisan geologi dan bentang alam signifikan.
- Potensi aktif kembali izin tambang nikel itu diperkuat rencana pembangunan smelter nikel dan baja di Kabupaten Sorong oleh pemerintah. Awal 2024, sudah ada kesepakatan antara pemerintah daerah dengan investor.
- Ahmad Aris, Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10/2024 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitar juga melarang pertambangan di pulau seluas di bawah 10.000 hektar atau 100 km². Aktivitas tambang yang eksploitatif, sudah pasti akan berpengaruh pada perubahan bentang alam hingga merusak ekosistem.
Raja Ampat, Papua Barat Daya, masih dalam ancaman perusahaan-perusahaan tambang nikel. Bukan saja karena pemerintah tak mencabut semua izin, tetapi izin-izin yang sudah cabut pun masih kemungkinan aktif lagi. Terlebih, di Sorong, daerah tetangga Raja Ampat akan bangun pabrik smelter.
“Izin-izin yang telah dicabut itu berpotensi aktif atau terbit kembali melalui mekanisme permohonan perpanjangan izin, proses hukum hingga melalui penerbitan izin baru oleh perusahaan lain di area sama,” kata Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia saat peluncuran laporan investigasi tambang Raja Ampat berjudul “Surga yang Hilang,” di Jakarta, 12 Juni lalu.
Temuan Greenpeace Indonesia, total ada 16 izin tambang terbit di Raja Ampat, baik yang masih aktif maupun pernah berlaku. Ketigabelas izin itu berada dalam area geopark atau konservasi, kawasan geografis yang memiliki warisan geologi dan bentang alam signifikan.
“Saat ini, yang aktif itu ada lima izin, terdiri dari empat izin di bawah di Geopark dan satu izin di luarnya,” katanya.
Selain itu, ada tiga izin tambang yang diupayakan aktif kembali melalui mekanisme pengadilan. Ketiganya, yakni PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Waigeo Mineral Mining (WMM) dan PT Eka Kurnia Baru (EKB) di Pulau Waigeo. Gugatan ketiga industri ekstraktif itu tengah berproses di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
“Sangat potensial kembali aktif ketika mereka menang di pengadilan,” katanya.
Dia lantas mempertanyakan keputusan Presiden Prabowo Subianto yang mencabut izin PT Kawai Sejahtera Mining (KSM), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Nurham. Izin-izin ini pun, katanya, masih berpotensi aktif kembali.
“Kita penting mengawal bagaimana sebenarnya yang kami bilang surga terakhir (Raja Ampat) ini betul-betul terlindungi,” katanya.
Potensi aktif kembali tambang nikel itu diperkuat rencana pembangunan smelter nikel dan baja di Kabupaten Sorong oleh pemerintah. Awal 2024, sudah ada kesepakatan antara pemerintah daerah dengan investor.
Proyek ini akan terbangun di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong dengan dukungan dua perusahaan Tiongkok, PT Sheng Wei New Energy Technology– akan bangun smelter nikel–, dan Beijing Jianlong Heavy Industry Group, akan bikin smelter baja. PT Gag Nikel, dikabarkan akan terlibat langsung dalam proyek ini.
“Kalau kemudian dibangun smelter di Sorong sudah dipastikan akan diaktifkan yang 16 izin-izin itu. Karena dari mana (smelter) akan mendapatkan sumbernya (nikel) kalau tidak mengambil yang paling dekat?” katanya.

Tambang di pulau kecil terlarang
Arie pun menegaskan, soal larangan aktivitas tambang di pulau-pulau kecil. Hal itu berdasarkan UU Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 menguatkan, dengan tegas melarang pertambangan di pulau-pulau kecil dengan luas kurang 2.000 km.²
Hasil identifikasi Greenpeace, terjadi kerusakan lingkungan dampak aktivitas tambang nikel di Raja Ampat. Di Manuran, pulau seluas 746,86 hektar ini rusak karena eksploitasi oleh ASP.
Kerusakannya meliputi deforestasi, pencemaran limbah ke laut dan kehancuran terumbu karang. “ASP memiliki konsesi di Pulau Manuran seluas 1.173 hektar. Mulai menambang itu 2006 dan terus berlangsung. Jelas pelanggaran dan ini yang sudah dikonfirmasi KLH (Kementerian Lingkungan Hidup), kerusakannya paling parah.”
Pulau Gag seluas 6.030 hektar dikuasai GN seluas 13.136 hektar. Pemerintah tak mencabut izin GN karena menilai tak ada kerusakan parah. Arie justru menemukan kerusakan.
‘Kami temukan karang-karang yang mulai hancur itu di wilayah sekitar Pulau Gag,” katanya.

Amburadul karena tumpang tindih aturan
Ahmad Aris, Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengklaim, konsen mengelola pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, berdasarkan PWP3K.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10/2024 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitar juga melarang pertambangan di pulau seluas di bawah 10.000 hektar atau 100 km².
Aktivitas tambang yang eksploitatif, katanya, sudah pasti akan berpengaruh pada perubahan bentang alam hingga merusak ekosistem.
“Itu (tambang) tidak boleh dilakukan karena pasti berdampak ke laut,” katanya.
Berdasarkan UU Cipta Kerja dan turunannya, kata Ahmad, sejak 2023, KKP memiliki kewenangan memberikan izin dan rekomendasi penanaman modal asing serta dalam negeri untuk mengelola pulau kecil. Mereka, katanya, tidak pernah merekomendasikan penerbitan izin tambang di Raja Ampat.
“KKP kan tidak mengeluarkan izin di sana (Raja Ampat).”
Izin tambang di Raja Ampat, katanya, bisa terbit karena ada tumpang tindih kewenangan dan kebijakan. Dalam Online Single Submission (OSS) atau sistem perizinan berusaha terintegrasi elektronik juga terbatas KKP hanya dapat kewenangan pada areal penggunaan lain (APL).
“Sehingga kewenangan KKP di sini untuk mengawal pulau-pulau kecil di kawasan hutan KKP tidak punya kewenangan di dalam sistem OSS yang ada,” katanya.
Namun, katanya, secara aturan, tidak ada pengecualian pada KKP untuk mengawal pulau kecil secara keseluruhan. Bahkan, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28/2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, KKP prioritas memberikan rekomendasi izin pengelolaan terhadap investor untuk setiap pemanfaatan pulau-pulau kecil.
Dalam UU Cipta Kerja, menyebutkan, perizinan pertambangan harus diawali dengan rekomendasi KPP baru terbit Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) dan lainnya. Namun dalam UU Minerba justru sebaliknya.
“Yang keluar (izin dalam UU Minerba) dulu adalah izin usahanya, IUP-nya baru menyusul yang lainnya. Jadi, ini perlu memang ke depan di pemerintah perlu harmonisasi Undang-undang ini.”

*****