- Pemerintah mencabut empat izin usaha tambang (IUP) nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, usai memantik kritik publik. Tambang itu di antaranya beroperasi di pulau-pulau kecil Raja Ampat. Satu perusahaan PT Gag Nikel (GN) tidak pemerintah cabut hanya pengawasan ketat.
- Kementerian Lingkungan Hidup akan mengambil langkah tegas, baik pidana maupun perdata terkait aktivitas pertambangan di Raja Ampat karena melanggar aturan perundang-undangan dan merusak ekosistem.
- Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, KESDM merupakan pihak yang bertanggung jawab atas pemberian izin penambangan di pulau-pulau kecil. Pemerintah juga seperti tengah bersandiwara karena baru melakukan tindakan setelah kerusakan di pulau-pulau kecil di ramai dipermasalahkan.
- Imam Shofwan, Kepala Divisi Simpul dan Jaringan Jatam menantang pemerintah cabut seluruh izin tambang di pulau-pulau kecil. Kalau pemerintah berkomitmen menegakkan hukum, seharusnya tak pandang bulu mencabut izin tambang. Pemerintah, jangan hanya cabut izin tambang di Kepulauan Raja Ampat karena viral di media sosial.
Pemerintah mencabut empat izin usaha tambang (IUP) nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, usai memantik kritik publik. Tambang itu di antaranya beroperasi di pulau-pulau kecil Raja Ampat.
Empat izin tambang itu ialah PT Kawai Sejahtera Mining (KSM) seluas 5.922 hektar di Pulau Kawei, PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) seluas 2.193 hektar di Pulau Manyaifun Batang Pele. Lalu, PT Anugerah Surya Pratama (ASP) sekitar 1.173 hektar di Pulau Manuran, dan PT Nurham (3.000 hektar) di Yesner Waigeo Timur.
Satu perusahaan PT Gag Nikel (GN) tidak pemerintah cabut hanya pengawasan ketat, dengan alasan sudah eksplorasi tambang di Raja Ampat sejak 1972.
“Alasan pencabutan atas penyidikan Kementerian Lingkungan Hidup karena melanggar aturan lingkungan. Yang kedua kawasan perusahaan ini kita masuk kawasan Geopark,” kata Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat mengumumkan pencabutan izin tambang Raja Ampat, di Jakarta, Selasa pagi (10/6/25).
Empat izin tambang itu, katanya, sebelum penetapan Geopark Raja Ampat pada 2023. Dia klaim, sejak Januari 2025, telah mengevaluasi izin tambang di Raja Ampat.
Sejak 2025, katanya, empat perusahaan tambang sudah tidak beroperasi lagi. “Sejak 2025 nggak ada lagi empat perusahaan itu berproduksi. RKAB (rencana kerja dan anggaran biaya) itu tidak ada, mereka tidak lolos syarat Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan),” katanya.
Kiki Taufik, Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia mendesak pemerintah segera membuka surat pencabutan izin tambang empat perusahaan itu ke publik.
“Kami tunggu surat keputusan resmi pemerintah yang bisa dilihat terbuka oleh publik,” katanya dalam keterangan kepada Mongabay.
Dia khawatir, pencabutan izin tambang hanya sementara. Pemerintah, kerap menerbitkan kembali izin tambang yang sudah pernah mereka cabut karena ada gugatan perusahaan.
Kiki menegaskan, pemerintah harus melindungi penuh dan permanen seluruh ekosistem Raja Ampat, dengan pencabutan semua izin pertambangan yang aktif maupun tak aktif.

Mengapa pemerintah tak cabut semua?
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat, total ada lima izin tambang di Kepulauan Raja Ampat. Selain empat perusahaan pemerintah cabut, tersisa satu izin tambang PT GN di Pulau Gag.
Anak perusahaan PT Aneka Tambang (Antam) beroperasi di lahan seluas 13.136 hektar. Perusahaan plat merah itu memiliki kontrak karya sejak orde baru.
Bahlil mengatakan, Pulau Gag sudah eksplorasi pada 1972 dan tanda tangan kontrak karya pada 1998.
“Tahap eksplorasi 1992, perpanjangan tahap eksplorasi itu 2006-2008, sampai tahap konstruksi 2015-2017, tahap produksi 2018, ini tahapannya,” katanya.
Data ESDM, Gag mengajukan RKAB sebesar 3 juta wet metric ton (WMT) tahun 2024 dan 3 juta WMT pada 2025 dan 2026.
Bahlil mengeklaim, perusahaan BUMN itu tidak melanggar aturan lingkungan hidup dan tata kelola limbah.
“Sudah lihat foto-fotonya pas meninjau. Alhamdulillah, sesuai amdal. Karena itu juga bagian dari aset negara selama kita awasi betul. Arahan bapak presiden kita harus awasi betul lingkungannya. Sampai sekarang kami berpandangan tetap bisa berjalan.”
Muh Jamil, Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) melihat musabab lain hingga pemerintah enggan mencabut izin tambang GN. Pemerintah, katanya, tidak cukup berani cabut GN yang berstatus kontrak karya.
Secara hukum, cabut kontrak karya tak boleh sepihak. Pemerintah tampaknya takut kalau mencabut izin GN bisa kena gugat ke arbitrase.
“Saya kira itu salah satu pertimbangan pemerintah belum mau effort ke sana. Jika mau cabut izin jika dasarnya tidak kuat, pemerintah itu terancam digugat ganti rugi oleh perusahaan,” katanya kepada Mongabay.
Sebenarnya, pemerintah bisa saja bertindak tegas cabut izin tambang GN. Jamil menyebut, instrumen hukum Indonesia sudah kuat untuk mencabut izin GN.
Sejak 2009, katanya, regulasi Indonesia menyatakan status kontrak karya tidak berlaku. UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menghapus sistem kontrak karya. Kemudian ganti dengan izin usaha pertambangan (IUP), izin pertambangan rakyat, dan izin usaha pertambangan khusus.
“Gag Nikel punya SK operasi produksi. Jika pemerintah ingin melakukan penegakan hukum serius dan ingin cabut izin tambang Gag Nikel, itu bisa saja dengan cabut SK produksi yang terbit 2017,” ujar Jamil.
Instrumen hukum lain yang memperkuat pencabutan izin tambang GN ialah UU Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Menurut Jamil, beleid itu mengatur larangan penambangan di pulau kecil yang memiliki luas tidak lebih dari 2.000 km persegi. Luas Pulau Gag hanya 60 km persegi atau setara 6.000 hektar.
Regulasi itu diperkuat dengan sedikitnya satu putusan Mahkamah Konstitusi dan lima putusan Mahkamah Agung.
Maikel Peuki, Direktur Eksekutif Walhi Papua khawatir aktivitas tambang nikel GN dapat merusak lingkungan Raja Ampat. Dia takut aktivitas itu dapat mengancam keberadaan Pulau Gag.
“Jika aktivitas Gag Nikel semakin masif membongkar gunung, penggalian lubang-lubang tambang di Pulau Gag ini, akan terancam tenggelam,” katanya saat dihubungi Mongabay.
Fanny Tri Jambore Christanto, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi Eksekutif Nasional, menyayangkan pemerintah tak mencabut izin tambang GN.
Menurut dia, perusahaan plat merah itu justru yang beroperasi lama dan berisiko besar merusak lingkungan.
“Justru Izin-izin lain yang secara operasional belum berjalan atau sudah berhenti lama. Pertanyaannya, kenapa kemudian satu izin ini di Gag Nikel tidak dicabut!?”

Ancaman hukuman
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) melakukan penyegelan dan menghentikan operasi ASP, MRP dan KSM.
KLH menyatakan, pertambangan tidak boleh di pulau-pulau kecil. Berdasarkan UU Nomor 1/2014 (UU 1/2014) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) diperkuat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023. Aturan ini tegas melarang pertambangan di pulau-pulau kecil dengan luas kurang 2.000 km.²
Dengan begitu, katanya, pertambangan nikel Raja Ampat seharusnya tidak boleh. Sebab, daerah kepulauan yang dijuluki ‘surga terakhir’ ini hanya memiliki luas sekitar 40 km2.
“Pelarangan pertambangan di pulau kecil ini tanpa syarat, jadi tidak boleh dilakukan pertambangan di pulau-pulau kecil,” kata Hanif Faisol, Menteri Lingkungan Hidup saat media briefing di Jakarta Pusat, 8 Juni 2025.
KLH, kata Hanif, akan mengambil langkah tegas, baik pidana maupun perdata terkait aktivitas pertambangan di Raja Ampat karena melanggar aturan perundang-undangan dan merusak ekosistem.
Selain UU PWP3K dan putusan MK nomor 35/PUU-XXI/2023, KLH juga mengacu pada UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU Lingkungan ini menjelaskan soal hukuman bagi para pelanggar.
“Sudah berjalan proses hukumnya. Pengambilan sampel untuk menghadirkan para ahli untuk mengambil langkah-langkah terkait dengan penegakan hukum pidana maupun perdatanya,” katanya.
Berdasarkan catatan KESDM yang menyinkronkan dengan ESDM one map terdapat lima perusahaan dengan izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat. Yakni, PT Gag Nikel di Pulau Gag, merupakan anak usaha PT Aneka Tambang (Antam). Perusahaan ini pemegang kontrak karya generasi VII 1998 dengan konsesi 13.136 hektar.
Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pada 2014, lalu adendum amdal 2022, dan adendum amdal Tipe A terbit tahun lalu oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) keluar 2015 dan 2018. Penataan areal kerja (PAK) terbit 2020. Hingga 2025, total bukaan tambang mencapai 187,87 hektar, dengan 135,45 hektar sudah reklamasi. Gag Nikel belum melakukan pembuangan air limbah karena masih menunggu penerbitan sertifikat laik operasi (SLO).
Lalu, ASP di Pulau Manuran memiliki konsesi 1.173 hektar, IUP berlaku dari 7 Januari 2024-7 Januari 2034. Berdasarkan temuan KLH, ASP juga memiliki IUP di Waigeo Utara dan Timur 9.500 hektar berlaku dari 2013-2033.
Bila dikalkulasikan dengan catatan KESDM, izin ASP seluas 10.673 hektar. Untuk aspek lingkungan, ASP memiliki dokumen amdal 2006 dan UKL-UPL tahun sama dari Bupati Raja Ampat.
Kemudian, MRP dengan konsesi 2,193 hektar di Pulau Batang Pele, izin 20 tahun hingga 26 Februari 2033. Kegiatan masih tahap eksplorasi belum memiliki dokumen lingkungan maupun persetujuan lingkungan.
Selanjutnya, KSM izin berlaku dari 2013-2033 dan konsesi 5.922 hektar di Kawei. KESDM mengklaim, perusahaan memiliki IPPHK ini belum melakukan pertambangan.
Kemudian, Nurham konsesi 3.000 hektar di Pulau Waegeo, Izin dari 2025-2033. Perusahaan memiliki persetujuan lingkungan dari Pemerintah Raja Ampat sejak 2013. Hingga kini belum berproduksi.
Pantauan Mongabay di peta Gakkum KLHK, terdapat pula izin nikel lain oleh PT Anugerah Hasta Prakarsa di Urbinasopen seluas 4.825,41 hektar, Izin berlaku dari 11 Maret 2013-3 September 2033.

Kerusakan ekosistem
Dari perusahaan-perusahaan tambang itu, KLH sudah peninjauan pada GN, ASP, KSM, dan MRP. Sedangkan Nurham tidak peninjauan karena alasan belum ada aktivitas. Hasil tinjauan, KLH pada 26-31 Mei 2025 ini menemukan kerusakan ekosistem di Raja Ampat karena pengerukan nikel dan pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau kecil.
Hanif bilang, keempat perusahaan tambang nikel itu berada di pulau-pulau kecil yang semestinya tidak boleh ada tambang.
Di Pulau Manuran, pulau yang memiliki luas hanya 74,3 km2 terjadi deforestasi besar-besaran, pencemaran lingkungan serta kerusakan ekosistem karena eksploitasi ASP.
Kerusakan pada settling pond atau tempat penampungan limbah yang menyebabkan pencemaran lingkungan serius.
“Jebolnya settling pond menimbulkan pencemaran lingkungan, sedimentasi, kekeruhan pantai yang cukup tinggi. Ini tentu ada konsekuensi yang harus ditanggung jawab oleh perusahaan itu,” katanya.
Hanif bilang, perusahaan penanaman modal asing asal Tiongkok ini beroperasi tanpa sistem manajemen lingkungan maupun pengelolaan air limbah larian.
KLH juga menemukan pelanggaran penerbitan izin ASP seluas 9.500 hektar di Waigeo Utara dan Timur. Izin yang terbit itu sebagian berada dalam Kawasan Alam (KSA) yakni Cagar Alam Waigeo Timur. Hal ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7/2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan.
“Kita ingin persetujuan lingkungan dicabut, karena tidak boleh ada tambang di Kawasan Suaka Alam. Tentu, persetujuan lingkungan tidak kita perkenalkan ada di sana.“ katanya.
Begitu pula izin ASP di Pulau Manuran, kata Hanif, semestinya tidak boleh, karena itu pulau kecil harus dilindungi. Satu sisi, perusahaan ini memiliki amdal yang Bupati Raja Ampat terbitkan pada 2006. KLH, katanya, sampai belum mendapatkan dokumen itu.
“Kami akan minta dokumen itu untuk di-review karena terbukti terjadi pencemaran serius. Bahkan, sistem pengelolaan lingkungannya belum tersedia.”
Lalu di Pulau Kawei yang seluruh daratan dan perairan dikuasai KSM. Kata Hanif, Kawei luas 4.561 hektar sedangkan izin 5.922 hektar. Berarti KSM punya izin lebih luas daripada luas pulau.
Hasil pengawasan KLH menemukan ada bukaan lahan seluas 89,29 hektar di pulau yang berstatus hutan produksi terbatas itu. KSM juga kedapatan melakukan aktivitas pertambangan di luar IPPKH dan izin lingkungan seluas lima hektar. Aktivitas ini menimbulkan sedimentasi di pesisir pantai.
Kemudian di Pulau Manyaifun seluas 21 hektar dan Batang Pele 2.031,25 hektar. Di kedua pulau itu ada MRP yang memiliki izin seluas 2.193 hektar, dan punya IPPKH maupun dokumen persetujuan lingkungan. Meski begitu, hasil pengawasan KLH, menemukan ada 10 titik mesin bor.
“Kita juga menghentikan eksplorasi PT MRP untuk menghentikan kegiatan lebih lanjut jadi karena belum dampaknya tidak terlalu ini (terlalu parah), kita hanya menghentikan saja karena belum ada aktivitas apa-apa di MRP ini,” kata Hanif.
Selanjutnya, di Pulau Gag yang berstatus hutan lindung, yang GN eksploitasi. Hanif menilai, berdasarkan hasil pengawasan, KLH tidak menemukan kerusakan parah di Pulau Gag. Klaimnya, GN relatif memenuhi kaidah-kaidah tata lingkungan.
“Artinya, tingkat pencemaran yang nampak mata itu hampir tidak terlalu serius. Artinya walaupun ada gejala ketidaktaatannya lebih ke minor-minor saja tetapi ini dari pandangan mata,” katanya.
Pantauan Mongabay lewat citra satelit, sudah terjadi deforestasi karena aktivitas tambang. Lahan di pulau itu terlihat jadi akses jalan dari pesisir pantai sampai lokasi penambangan.
Hanif mengatakan, sudah ada sedimentasi yang menutupi permukaan koral. KLH pun harus melakukan kajian mendalam untuk mengetahui kerusakan lingkungan di Pulau Gag.
“Secara umum, pulau ini dikelilingi koral. Koral sebagai suatu habitat yang memang harus kita jaga benar keberadaannya, demikian sangat pentingnya buat kehidupan kita.”
Hanif bilang, izin GN seluas 13.136 hektar atau lebih dua kali luas pulau, 6.030 hektar. Artinya, izin GN meliputi seluruh daratan dan perairan Pulau Gag.
KLH, kata Hanif tidak bisa melakukan tindakan terstruktur lantaran, GN memiliki seluruh dokumen perizinan. GN merupakan salah satu 13 perusahaan pemegang kontrak karya. Status sebagai pemegang kontrak karya, membuat GN melenggang bebas mengeksploitasi Pulau Gag hingga izin berakhir.
“Sebanyak 13 perusahaan termasuk GN ini diperbolehkan (menambang di hutan lindung) melalui UU Nomor 19 tahun 2004,” kata Hanif.
Namun, katanya, kegiatan GN bertentangan dengan UU PWP3K dan putusan MK nomor 35/PUU-XXI/2023 yang tegas melarang pertambangan di pulau-pulau kecil dengan luas kurang dari 2.000 km².
“Yang menjadi perhatian kita serius adalah terkait dengan kerentanan ekosistem Raja Ampat. Ini (UU PWP3K dan putusan MK) menjadi rujukan kita pada saat mempertimbangkan persetujuan lingkungan yang harus kita kemudian review atau kita evaluasi kembali,” katanya.
KHK berkomitmen menegakkan hukum dan pemulihan lingkungan. Namun, KLH memerlukan waktu lama dalam prosesnya. Saat ini, kementerian mulai mengambil sampel untuk uji laboratorium dan memanggil para ahli untuk memproyeksikan kerugian.
“Kita simpulkan apakah ini lari kepada penindakan pidana, perdata ataupun saksi administrasi pemerintah hingga biasanya perlu waktu agak lama.”
Kadang-kadang, katanya, mulai pemasangan plang sampai pengambilan kesimpulan terkait pelanggaran lingkungan hidup perlu 1-2 bulan.

Cabut izin seluruh tambang pulau kecil
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, KESDM merupakan pihak yang bertanggung jawab atas pemberian izin penambangan di pulau-pulau kecil.
Pemerintah juga seperti tengah bersandiwara karena baru melakukan tindakan setelah kerusakan di pulau-pulau kecil di ramai dipermasalahkan.
Arie pun mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menegakkan hukum dalam kasus kerusakan lingkungan di Raja Ampat. Menurut dia, dari banyak kasus lingkungan hidup yang tenggelam karena tidak ada pengawasan dan keseriusan pemerintah. Pada akhirnya pelaku perusak lingkungan kembali menjalankan aksinya.
“Pemerintah harus serius. Terutama pada penegakkan hukum dan pemulihan lingkungan,” katanya.
Temuan Greenpeace, kerusakan ekosistem di Raja Ampat berdampak pada penurunan penghasilan masyarakat, peralihan profesi pun terjadi. Ada warga yang awalnya nelayan menjadi pekerja tambang nikel.
Tambang bukan industri berkelanjutan. Ketika sumber daya habis, industri setop dan meninggalkan kerusakan.
“Mereka (masyarakat) akan kehilangan mata pencaharian utama.”
Masyarakat Raja Ampat, katanya, sangat bergantung pada hasil laut dan pariwisata. Dinas Perikanan Raja Ampat mencatat, potensi lestari perikanan tangkap Raja Ampat mencapai 590.600 ton pertahun. Sedangkan, sektor pariwisata Rp150 miliar pertahun.
Di Desa Kalio, misal, yang terkenal sebagai daerah penghasil lobster tetapi terancam, karena desa ini berdekatan dengan Pulau Kawei, tempat tambang nikel.
“Lobster itu bergantung pada karang. Namun aktivitas tambang, lalu lintas kapal tongkang merusak karang yang tadinya bagus. Itu menurunkan mata pencarian masyarakat,” katanya.
Imam Shofwan, Kepala Divisi Simpul dan Jaringan Jatam menantang pemerintah cabut seluruh izin tambang di pulau-pulau kecil.
Kalau pemerintah berkomitmen menegakkan hukum, seharusnya tak pandang bulu mencabut izin tambang.
Pemerintah, katanya, jangan hanya cabut izin tambang di Kepulauan Raja Ampat karena viral di media sosial.
“Kalau memang motivasinya penegakan hukum, mestinya tambang-tambang di semua pulau kecil harus dibatalkan,” kata Imam ketika dihubungi Mongabay.
Melky Nahar, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang ( Jatam) mengatakan, tambang di pulau-pulau kecil di Raja Ampat hanyalah sebagian dari banyaknya pulau serupa.
Saat ini, terdapat 195 izin pertambangan dengan luas total konsesi 351.933 hektar mencaplok 35 pulau kecil Indonesia.
Pertambangan di pulau kecil merupakan petaka bagi masyarakat dan seluruh kehidupan di dalamnya. Pulau kecil memiliki kerentanan sangat tinggi terhadap sekecil apapun perubahan bentang alam.
Hutan-hutan di pulau kecil merupakan benteng perlindungan alami bagi masyarakat dan keanekaragaman hayati. Mulai dari menjaga iklim mikro, mengatur tata kelola air, menjaga sumber pangan dan sumber air, hingga menjadi salah satu benteng pertahanan alami dari bencana seperti rob hingga tsunami.
Alih-alih melindungi, pemerintah justru mendukung industri nikel dengan dalih hilirisasi, bahkan mengatasnamakan industri hijau.
“Pertambangan di pulau kecil sesungguhnya merupakan kejahatan kemanusiaan dan lingkungan,” katanya.
Melky pun membantah pernyataan Bahlil dan Hanif soal kepatuhan lingkungan GN di Pulau Gag. Pengamatan Jatam, deforestasi Pulau Gag sepanjang 2017-2024 mencapai 262 hektar. Belum termasuk kerusakan pesisir karena sedimentasi bekas galian, kerusakan terumbu karang akibat sedimentasi yang terbawa hingga ke laut. Juga lalu lalang kapal tongkang pengangkut nikel, serta pantai yang tertutup lumpur.
“Tindakan pemerintah yang secara sistematis menyangkal kerusakan lingkungan dan menutup-nutupi fakta, lebih dari cukup untuk menunjukkan topeng asli negara sebagai pelaku utama kejahatan ekologis dan hanya mewariskan utang ekologis bagi generasi mendatang.”
Imam mencatat, sejumlah pulau kecil yang terancam akibat tambang nikel dan emas, seperti, Kabaena, Wawonii, hingga Sangihe.
“Hancur semua itu. Kita bisa cek Pulau Kabaena itu yang rata-rata dihuni nelayan dari Bajo itu hancur. Mereka sudah 10 tahun terakhir tidak bisa melaut karena tambang nikel.”
Sayyidatiihayaa Afra, Manajer Kampanye Satya Bumi mengatakan, kondisi bawah laut Pulau Kabaena hancur karena tambang nikel. Dia bilang, 15 lalu, laut Kabaena kaya keanekaragaman hayati.
“Sekarang hilang, tertutup dengan sedimentasi pertambangan nikel.”
Tambang nikel di Kabaena tidak hanya mengubah rupa bumi dan warna laut, juga perlahan membawa risiko tersembunyi paparan logam berat yang mengendap di tubuh masyarakat.
Penelitian Satya Bumi menemukan paparan logam berat berupa nikel, timbal, dan kadmium yang mencemari udara, air, makanan laut, hingga tumbuhan di Pulau Kabaena.
Menurut Haya, paparan nikel di Kabaena bukan sekedar dugaan. Data urin penduduk menunjukkan, logam berat jenis nikel telah meresap ke dalam tubuh manusia secara masif.
Haya mendesak pemerintah mengevaluasi seluruh izin tambang di pulau-pulau kecil. Pemerintah, katanya, harus bertanggung jawab atas merehabilitasi pulau kecil yang rusak akibat tambang.
Pencabutan izin tambang pulau-pulau kecil seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah.
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Kiara mengatakan, tambang di pulau kecil mengancam masyarakat bahari dan keberlanjutan ekologi di pesisir dan laut.
Menurut dia, masifnya tambang nikel tidak sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, terutama yang hidup di pesisir.
Alih-alih sejahtera, katanya, masyarakat bahari di lokasi tambang, seperti, di Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Papua Barat, harus menghadapi perampasan ruang pesisir, laut, dan pulau kecil.
“Risiko kriminalisasi masyarakat yang memperjuangkan ruang hidupnya juga semakin tinggi,” ucap Susan.
Bahkan, laporan dari berbagai nelayan tradisional yang tinggal di wilayah pertambangan nikel, hutan mangrove, lamun, dan terumbu karang mereka berubah menjadi dermaga untuk pengangkutan ore nikel.
“Dampak lain, semakin sulitnya nelayan tradisional untuk mengakses dan mendapatkan ikan sebagai sumber utama pendapatan mereka,” kata Susan.

*****
Keindahan Terancam Sirna Kala Tambang Nikel Keruk Raja Ampat