- Raja Ampat adalah pusat keanekaragaman hayati laut di Indonesia. Ekosistem lautnya menjadi kontributor penting untuk pengelolaan laut dunia, karena menjadi bagian dari kawasan Segitiga Karang dunia bersama lima negara lain
- Potensi yang besar tersebut menjadikan Raja Ampat sebagai destinasi pariwisata unggulan di Indonesia. Seiring berjalan waktu, pariwisata mulai menopang kehidupan warga di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya
- Sebagai pusat keanekaragaman hayati laut, Raja Ampat menjadi kawasan lindung perairan yang dikelola oleh Pemerintah Indonesia. Harta dunia tersebut, bahkan dijaga juga oleh banyak organisasi nirlaba internasional
- Sayangnya, di tengah upaya kuat untuk menjaga dan mempertahankan ekosistem laut dengan segala kekayaannya, Raja Ampat kini diancam oleh kegiatan tambang nikel. Setidaknya, ada lima pulau yang menjalankan kegiatan tersebut di bawah korporasi
Perairan Raja Ampat adalah destinasi wisata dunia di Indonesia. Keindahan pulau-pulau maupun bawah lautnya. Namun, pemerintah banyak keluarkan izin tambang nikel di surga dunia ini, seperti ramai belakangan ini dan berujung pemerintah cabut empat izin tetap tetap mempertahankan satu perusahaan di Pulau Gag dengan alasan akan awasi ketat.
Ternyata, perusahaan-perusahaan tambang nikel ini belum ada izin maupun rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Koswara, Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membenarkan bahwa lima pulau tempat beroperasinya kegiatan tambang di Raja Ampat, berstatus pulau sangat kecil karena berukuran di bawah 100 km2.
Berdasarkan status kawasan, empat pulau merupakan kawasan hutan, yaitu Gag, Kawei, Batang Pele, dan Manyaifun. Sisanya, pulau dengan status area penggunaan lain (APL), yaitu Manuran.
Mengingat kelimanya berstatus pulau kecil, maka kewenangan KKP mutlak harus ada saat proses penerbitan izin atau pemberian rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil sesuai peraturan perundang-undangan berlaku.
Selain UU No 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, dia menyebutkan ada juga aturan turunan UU tersebut, yaitu Peraturan Pemerintah No 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Itu artinya, mereka menambang di lima pulau di Raja Ampat, wajib memiliki izin untuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan rekomendasi untuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Dia bilang, kelima pulau yang ada izin itu tidak memiliki izin maupun rekomendasi dari KKP.
Dalam UU No 1/2014 dan Putusan MK No 35/2023, menyebut, pertambangan di pulau-pulau kecil tidak prioritas, bahkan dilarang apabila menimbulkan dampak secara teknis, ekologis, sosial, budaya, kerusakan lingkungan, pencemaran lingkungan, dan merugikan masyarakat sekitar.
Proses perizinan menurut UU 6/2023 mulai dengan proses perizinan dasar mencakup persetujuan kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR), Persetujuan Lingkungan, serta Persetujuan Bangunan dan Gedung. Kemudian, dilanjutkan dengan proses Perizinan Berusaha mencakup IUP.
Berdasarkan UU 3/2020, Bisnis Proses perizinan pertambangan harus diawali dengan penerbitan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Lelang, penetapan IUP ekplorasi oleh Menteri ESDM, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), dan IUP Operasi Produksi.
Namun, berdasarkan peraturan tersebut tidak ada klausul yang mensyaratkan izin/rekomendasi diterbitkan oleh KKP, dan PKKPR diterbitkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk kawasan APL. “Sehingga perlu harmonisasi antara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020,” jelasnya.
Koswara mengatakan, saat ini, KKP tengah mengumpulkan bahan dan keterangan (Pulbaket) untuk menilai dampak akibat kegiatan pertambangan di lima pulau. Dampak yang dimaksud, adalah ekologi dan sosial ekonomi.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kara) menilai, operasional tambang nikel akan mengancam kehidupan pulau tersebut. Terutama, karena pulau tersebut menjadi bagian dari Segitiga Karang dunia.
“Menjadi ironi di negeri kepulauan, di mana pulau-pulau kecil yang seharusnya dilindungi, kini ditambang dengan dalih hilirisasi negeri,” kata Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Kara .
Dia contohkan Pulau Gag, sangat berharga bagi masyarakat yang tinggal di sana. Pulau itu sudah menjadi sumber kehidupan dan penghidupan bagi warga yang mengabdikan dirinya untuk menjadi nelayan kecil dan tradisional.
Ketergantungan mereka pada laut di sekitar pulau, akan terus terjadi selama mereka menjadi nelayan. Sebaliknya, jika pulau kondisinya terus digunduli dan dirusak menjadi area tambang, maka ancaman perairan laut di sekitarnya tak akan terhindar.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Dalam Negeri yang dirilis pada 2025, jumlah penduduk pulau Gag sedikitnya berjumlah 238 orang.

Tak serius lindungi pulau kecil
Selain pulau Gag dengan PT Gag Nikel (GN), ada empat pulau lain yang juga mengoperasikan konsesi tambang dengan perusahaan yang berbeda. Warga yang mendiami kelima pulau, jumlahnya mencapai 2.185 orang.
Rinciannya, PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) yang beroperasi di pulau/kampung Selpele, Distrik Waigeo Barat dan didiami 495 orang. Lalu, PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) yang beroperasi di Pulau/Kampung Manyaiufun, Distrik Waigeo Barat Kepulauan dan didiami 744 orang.
Kemudian, PT Anugerah Surya Pratama (ASP) yang beroperasi di Pulau/Kampung Kapadiri, Distrik Supnin dan dihuni 273 orang penduduk. Terakhir, PT Nurham di Pulau/Kampung Yenser, Distrik Waigeo Timur dan dihuni 435 orang penduduk.
Kehadiran lima perusahaan di atas daratan lima pulau berbeda, semakin mempertegas bahwa kebijakan hilirisasi yang dikumandangkan Pemerintah adalah kebijakan yang masif. Tetapi, dampaknya bisa mendorong potensi kehancuran semakin cepat di pulau-pulau tersebut.
“Kabupaten Raja Ampat sebagai pesona dan daya tarik keindahan dunia bawah laut Indonesia Timur, kini dalam ancaman cengkraman industri pertambangan nikel,” kata Susan.
Susan memaparkan data yang diolah dari US Geological Survey pada 2025 tentang produksi nikel global dan Indonesia. Pada 2024, produksi global mencapai 3,7 juta ton dan Indonesia dengan 2,2 juta ton.
Data tersebut menjelaskan kalau Indonesia adalah produsen nikel besar di dunia. Bahkan, hanya untuk hitungan dari 2022 hingga 2024, produksi nikel Indonesia berkontribusi 50 persen terhadap produksi nikel dunia.
Fakta itu juga menegaskan bahwa ada korelasi antara besarnya produksi dengan pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Indonesia. izin tambang di Raja Ampat, kata Susan, membuktikan bahwa pemerintah tidak serius melindungi masyarakat melalui perlindungan bahari dan juga ekologi wilayah pesisirnya.
Celakanya, wilayah-wilayah yang selama ini banyak tereksploitasi, justru jauh dari sejahtera. Yang terjadi, mereka justru kerap menjadi korban perampasan ruang, kehilangan sumber pangan, hingga kriminalisasi. Tak terkecuali nelayan, yang kian kehilangan ruang tangkapnya akibat industri ekstraktif ini.
Saat perampasan ruang terjadi, maka potensi kriminalisasi masyarakat yang memperjuangkan ruang hidupnya juga semakin meninggi. Upaya warga untuk mendapatkan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, justru terancam oleh jeratan hukum.
Susan menambahkan, kehadiran tambang nikel di pulau kecil menjadi ironi. Sebabnya, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dengan tegas sudah melarang. Itu tertuang dalam Pasal 35 huruf (k).
namun, katanya, arangan itu tidak menjadi perhatian serius bagi kementerian dan lembaga terkait dalam memberikan izin usaha pertambangan nikel.
“Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil bersama nelayan tradisional yang menerima dan menderita karena kehancuran permanen akibat pertambangan nikel.”

Tagih janji
Parif Ridwanuddin, dari Auriga Nusantara mengatakan, KKP harus bisa memegang komitmennya untuk menjaga laut dalam kondisi apapun.
Sebagai pulau kecil yang mendapatkan kekhususan, kegiatan tambang juga seharusnya mengikuti aturan yang ada. Jika memang tambang tidak bisa beroperasi, sudah seharusnya itu dipatuhi oleh siapapun, baik itu pemerintah atau pelaku usaha.
Terlebih, karena Raja Ampat adalah kepulauan dan perairan yang memiliki ekosistem laut dan pesisir yang esensial. Jadi, sudah sangat tepat jika KKP berani bertindak dan bahkan mendorong pencabutan izin operasional tambang di lima pulau.
“Raja Ampat ini sangat penting bagi Indonesia dan ekosistem laut dunia. Pemerintah jangan menutup mata.”
Dia menilai, ancaman yang sekarang terjadi di Raja Ampat, sebenarnya sudah terjadi di banyak tempat, di banyak pulau di Indonesia. Salah satunya, adalah kegiatan tambang di Teluk Weda, Maluku Utara.
Kondisi itu sangat ironi dan memprihatinkan. Mengingat, Indonesia memiliki UU 27/2007 dan dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu Putusan Nomor 3 Tahun 2010 dan Putusan MK Nomor 35/2023.
Lalu, Putusan MK itu dengan tegas menyebutkan kalau pertambangan di pulau-pulau kecil akan mendorong kehancuran yang lebih luas, atau bahasa putusan MK adalah abnormally dangerous activity.
Aktivitas yang berbahaya dan menyebabkan ketidaknormalan, karena ketika bencana datang dia akan mengalami dampak yang berlipat-lipat. Jadi, ada larangan tegas, dilarang menambang, dan dilarang menghancurkan. “Jadi secara tekstual sudah jelas sekali,” tegas dia kepada Mongabay.
Peran pulau kecil untuk perairan laut sekitar juga menjadi sangat penting, karena ada ekosistem terumbu karang yang menjadi tempat pusat reproduksi. Pada ekosistem itu juga tempat pangan laut yang akan disuplai untuk kebutuhan manusia.
Artinya, kalau ekosistem terumbu karang mengalami kehancuran akibat aktivitas tambang nikel, maka itu akan menjadi awal dari kehancuran jangka panjang untuk pangan laut. Semua itu harus menjadi perhatian dan kewaspadaan dari pemerintah.
Parid juga mempertanyakan pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang menyebut tambang tidak merusak kawasan wisata karena berlokasi sekitar 30-40 km dari Piaynemo. Dia menilai, Bahlil tidak memahami esensi kegiatan tambang di pulau kecil.
“Pulau kecil dan pulau besar itu berbeda dari karakteristiknya. Jadi, kalau kerusakan akibat tambang di pulau besar seluas tiga hektar, itu tidak sama dampaknya dengan kerusakan seluas yang sama di pulau kecil.”

*****