- Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut 11 warga adat Maba Sangaji dengan pidana antara empat, enam, dan tujuh bulan penjara. JPU menggunakan Pasal 162 UU No.3/2020 tentang Minerba dengan dalih menghalangi aktivitas pertambangan PT Position.
- Irfan Alghifari, kuasa hukum Tim Advokasi Anti Kriminalisasi menegaskan, tuntutan yang JPU sampaikan tidak berdasarkan fakta-fakta persidangan, termasuk keterangan saksi, ahli, dan para terdakwa. Padahal, sudah jelas menunjukkan warga adat berjuang untuk melindungi lingkungan dan ruang hidup dari ancaman tambang nikel.
- Komnas HAM menegaskan, tindakan yang Masyarakat Adat Maba Sangaji lakukan merupakan bentuk perlindungan dan pemajuan HAM oleh pembela HAM dan lingkungan hidup. Upaya pemidanaan terhadap mereka masuk kategori sebagai SLAPP.
- Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyatakan, 11 masyarakat adat memenuhi kualifikasi sebagai pejuang lingkungan berdasarkan Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mereka tidak dapat dituntut pidana maupun perdata.
Suasana di ruang sidang Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, Rabu siang, 8 Oktober 2025, terasa tegang. Di deretan kursi pengunjung, Kamaria Malik duduk menunduk, sesekali menatap ke arah suaminya, Nahrawi Salamudin, bersama 10 warga adat Maba Sangaji yang duduk di kursi terdakwa.
Kamaria mendengar satu per satu tuntutan yang jaksa bacakan. Raut wajahnya berubah memerah saat mendengar suaminya, Nahrawi dan 10 warga lain dituntut pidana antara empat, enam, dan tujuh bulan penjara.
Jaksa pakai Pasal 162 UU Nomor 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan menyatakan 11 warga “terbukti sah dan meyakinkan bersalah karena menghalang-halangi aktivitas pertambangan Position”.
“Saya tara mangarti hukum, tapi itu kan artinya saya pe laki bersalah. Dorang tara bunuh sapa-sapa tapi kenapa dapa tuntut penjara bagitu?” tanya Kamaria.
Irfan Alghifari, kuasa hukum Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI) menegaskan, tuntutan yang jaksa penuntut umum (JPU) tidak berdasarkan fakta-fakta persidangan, termasuk keterangan saksi, ahli, dan para terdakwa.
Padahal, katanya, sudah jelas menunjukkan warga adat berjuang untuk melindungi lingkungan dan ruang hidup dari ancaman tambang nikel.
“Kami harus menegaskan apa yang yang diperjuangkan Masyarakat Adat Maba Sangaji bukanlah tindak pidana, melainkan bentuk perlawanan masyarakat adat mempertahankan tanah, hutan, dan sungai yang dirusak perusahaan tambang dengan restu negara.”
Dia nilai, jaksa mengabaikan Pasal 66 UU Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1/2023 tentang Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.
“Tuduhan kepada warga bertentangan dengan hukum dan itu kriminalisasi atau SLAPP (strategic lawsuit against public participation)–yaitu gugatan hukum yang tidak memiliki dasar namun digunakan untuk membungkam warga adat Maba Sangaji,” katanya.
Kuasa hukum juga telah menyerahkan dokumen pleidoi atau pembelaan kepada Majelis Hakim setelah sidang, 10 Oktober 2025. Dokumen itu meminta majelis hakim menilai perkara ini sebagai upaya kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
Sebelumnya, warga terjerat UU Darurat Nomor 12/1951 tentang senjata tajam, Pasal 368 Kitab Undang-undang Hukum Pidana terkait pemerasan, dan Pasal 162 UU Minerba terkait menghalang-halangi aktivitas pertambangan. Dalam tuntutan, jaksa menggunakan Pasal 162 UU Minerba, pasal yang dinilai sebagai alat pembungkam atau SLAPP terhadap warga yang menolak tambang nikel.
Sidang tuntutan dijadwalkan akan pada 16 Oktober 2025 di Pengadilan Negeri Soasio. Kamaria berharap putusan majelis hakim bisa lebih adil memutus perkara yang dihadapi suami dan sepuluh warga adat Maba Sangaji.

Kriminalisasi
I Gusti Agung Made Wardana, Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) menjelaskan penggunaan Pasal 162 dalam UU Minerba untuk mengkriminalisasi warga Maba Sangaji sebetulnya tidak relevan.
Basis pasal terkait dengan persetujuan hak atas tanah yang perusahaan tambang pakai sebagaimana dalam Pasal 136 ayat (1) dan (2) Minerba.
Ayat 1 menjelaskan pemegang usaha pertambangan atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) sebelum produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai peraturan perundang-undangan. Pada ayat 2 menyebut penyelesaian hak atas tanah sebagaimana ayat 1 dapat bertahap sesuai kebutuhan atas tanah oleh pemegang izin usaha pertambangan (IUP) atau IUPK.
“Jadi Pasal 136 ayat 1 dan ayat 2 ini berkaitan dengan persetujuan bahwa tanahnya akan dipakai dan kemudian sudah ada transaksi. Artinya basisnya adalah konsep persetujuan dari pemilik tanah kepada perusahaan tambang.”
“Kalau persetujuan memakai tanah itu nggak ketemu, maka Pasal 162 tidak bisa dipakai, tidak relevan,” jelas Made saat menjadi ahli lingkungan di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, 6 Oktober lalu.
Kalau dari perjuangan warga adalah hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, kata Made, berarti bukan hanya property right (hak publik), juga «untuk membela personal right (hak individu).
“Hak personal mereka apa? hak atas lingkungan yang baik dan sehat, hak untuk menghirup udara bersih, memperoleh air bersih, hak untuk memperoleh lingkungan yang tidak tercemar, itu hak personal, yang membuat semakin tidak relevan lagi Pasal 162 (UU Minerba), karena yang diperjuangkan warga itu personal right, bukan property right.”
Jadi, kata Made, penggunaan Pasal 162 UU Minerba terhadap kasus Maba Sangaji adalah bentuk pembungkaman warga adat yang sedang memperjuangkan hak atas lingkungan yang baik dan sehat.
“Kasus Maba Sangaji ini terang benderang merupakan perkara SLAPP sehingga ketentuan Anti-SLAPP seharusnya dipakai hakim dalam memutus perkara ini,” kata Made.

Sahabat peradilan
Di tengah proses hukum berjalan, Komnas HAM dan beberapa organisasi masyarakat sipil mengirimkan amicus curiae atau sahabat pengadilan ke Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan.
Mereka meminta, majelis hakim memutus perkara 11 warga adat Maba Sangaji dengan prinsip-prinsip keadilan, menghormati hak masyarakat adat, dan HAM.
Komnas HAM menguraikan pendapat mereka yang termuat dalam amicus curiae 7 Oktober 2025, terkait masalah HAM yang 11 warga Maba Sangaji alami.
Ada tiga poin penting, terutama hak masyarakat adat atas kehidupan layak; proses pidana yang disebut sebagai serangan terhadap hak masyarakat adat; dan tindakan itu sebagai kerja-kerja perlindungan dan pemajuan HAM.
Pertama, catatan Komnas HAM, tindakan adat yang Masyarakat Adat Maba Sangaji lakukan adalah upaya memperjuangkan hak mereka atas tempat tinggal dan kehidupan layak. Juga hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak itu termaktub dalam Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 jo. Pasal 8 UU HAM.
Hak itu termuat dalam dokumen Standar Norma dan Pengaturan Nomor 11 Tahun 2022 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak yang harus dilihat sebagai ‘hak untuk hidup di suatu tempat dengan aman, damai, dan bermartabat’.
Saurlin P. Siagian, Komisioner Pemantau dan Penyelidikan Komnas HAM menjelaskan, aktivitas tambang di hutan adat Maba Sangaji menyebabkan kerusakan sungai yang mengganggu ekonomi warga. Padahal, masyarakat bergantung dengan tanah, hutan, dan sungai sebagai sumber ekonomi dan juga keterikatan spiritual.
“Karena itu, keberatan yang disampaikan Masyarakat Adat Maba Sangaji terhadap aktivitas tambang perusahaan adalah upaya mereka mempertahankan hak mereka atas tempat tinggal dan penghidupan yang layak, serta lingkungan yang baik dan sehat,” katanya dikutip dalam amicus curiae Komnas HAM.
Kedua, Komnas HAM menyatakan, pemidanaan 11 warga Maba Sangaji yang sedang menjalankan ritual adat merupakan bentuk serangan terhadap hak masyarakat adat yang dilindungi UUD 1945.
Menurut Saurlin, konstitusi mengakui dan menghormati masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup.
Pengakuan itu ada dalam Pasal 6 UU HAM, juga Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples/UNDRIP). Ia mengukuhkan komitmen negara Indonesia mengakui, menghormati, dan melindungi kesatuan masyarakat adat di Indonesia.
Ketiga, tindakan Masyarakat Adat Maba Sangaji merupakan bentuk kerja-kerja perlindungan dan pemajuan HAM oleh pembela HAM dan lingkungan hidup. Jadi, proses pemidanaan mereka masuk kategori sebagai SLAPP.
Sahabat peradilan juga datang dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). ICEL menyatakan, 11 masyarakat adat memenuhi kualifikasi sebagai pejuang lingkungan berdasarkan Pasal 66 UU PPLH. Mereka tidak dapat dituntut pidana maupun perdata.
“Semangat perlindungan pejuang lingkungan melalui ketentuan Anti-SLAPP yang gagal diwujudkan di tahap penuntutan. Kami harap dapat tercermin dan ditegakkan di ruang persidangan oleh majelis hakim,” kata ICEL dalam dokumen amicus curiae Oktober ini.
Sajogyo Institute dalam amicus curiae menjelaskan apa yang 11 warga adat Maba Sangaji perjuangkan berdasarkan tindakan membela tanah adat mereka dari invasi kapitalisme pertambangan yang rakus tanah dan sumber daya alam.
Moh. Ali Rahangiar, peneliti Sajogyo Institute menjelaskan, selain UUD 1945, pengakuan dan penghormatan terhadap hak masyarakat adat juga ada dalam Pasal 3 UU Nomor 5 /960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang mengakui hak ulayat masyarakat adat.
Jadi 11 warga Maba Sangaji, katanya, merupakan pembela HAM. Karena yang mereka lakukan, katanya, membela dan mempertahankan hak paling fundamental dari HAM, yakni, hak hidup berikut syarat-syarat penopangnya.
Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara menegaskan, Pasal 162 UU Minerba yang jadi tuntutan jaksa merupakan pasal usang dan termasuk penyalahgunaan hukum.
Jatam Maluku Utara dan Jatam Nasional juga mengajukan amicus curiae ke Pengadilan Negeri Soasio.
Dalam dokumen itu, mereka menilai perjuangan warga adat Maba Sangaji adalah perlindungan HAM dan konstitusi sebagaimana UUD 1945 amanatkan.
Menurut Julfikar, majelis hakim menghadapi ujian penting. Putusan perkara 11 warga adat Maba Sangaji akan menjadi preseden bersejarah yang menentukan apakah pengadilan berdiri membela warga yang mempertahankan ruang hidup atau jadi alat legitimasi bagi perampasan dan kerusakan lingkungan oleh korporasi tambang.
Jatam berpandangan, perkara ini bukan sekadar soal 11 warga adat Maba Sangaji, tetapi tentang masa depan bangsa.
Jika aksi damai mempertahankan lingkungan bisa kena pidana, katanya, maka seluruh rakyat Indonesia akan terancam saat memperjuangkan hak hidupnya.
“Sehingga, membebaskan warga Maba Sangaji adalah langkah berani dan tepat untuk menegakkan keadilan, konstitusi, dan keberlanjutan lingkungan hidup di Indonesia. Bagi Jatam, kriminalisasi atas nama investasi adalah kejahatan yang sesungguhnya dan harus dihentikan.”

*****