Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.
Fenomena alam seakan hadir menyapa. Cuaca ekstrem kian muncul dan menjadi sebuah peringatan perubahan alam yang terjadi. Di perairan Alor, Nusa Tenggara Timur, fenomena upwelling atau naiknya masa air dingin dari dasar laut ke permukaan terjadi. Kejadian ini menjadi keuntungan bagi warga untuk mencari ikan karena banyak ikan yang ‘pingsan.’
Sementara itu, di kota-kota besar, kandungan mikroplastik diam-diam mengendap di udara dan turun bersama hujan. Penyebabnya karena pembakaran sampah. Hal ini semakin parah karena tata kelola sampah kita masih buruk.
Beberapa cerita lainnya berbicara tentang bencana, penegakan hukum, hingga inisiatif warga dalam memulihkan hutan dan menjaga satwa endemik. Semua itu akan terangkum dalam Mongabay Snap.
Lima cerita ini menjadi potongan puzzle yang berjauhan tapi berujung hal yang sama. Yakni, relasi manusia dengan alam serta tata kelola yang masih terus diperjuangkan.
1. Mengapa ikan-ikan di Laut Alor pingsan?

Akhir Oktober hingga awal November 2025, fenomena upwelling atau naiknya massa air dingin dari dasar laut ke permukaan terjadi di perairan Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Fenomena extreme upwelling event ini menjadi kali pertama terjadi di perairan tropis karena terjadi penurunan suhu mencapai 10 derajat Celcius hanya dalam waktu satu jam.
“EUE merupakan peristiwa naiknya massa air laut yang sangat dingin dari lapisan dalam menuju ke permukaan yang terjadi secara tiba-tiba,” kata Achmad Sahri, Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Sistem Biota Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Jurnal Oceanography menyebutkan fenomena ini menunjukkan pengaruh monsun yang kuat. Indikasi sumber massa air dingin berasal dari cekungan dalam lebih dari 300 meter di antara Pulau Pura dan Kecamatan Alor Barat Daya.
Meski begitu, kejadian ini menjadi berkah tersendiri bagi warga karena banyak ikan yang ‘pingsan’. Warga pun mengambilnya hanya dengan tangan, tombak atau serokan.
2. Ekowisata Ekidna Kampung Klalik, inisiatif warga lestarikan satwa terancam punah Papua

Warga di Kampung Klalik, Distrik Klaso, Papua Barat Daya menginisiasi konservasi ekidna moncong panjang barat (Zaglossus bruijnii) dengan membuka ekowisata berbasis komunitas. Sejak 2017, bersama para pemuda sekampungnya, Isai Onesimus Paa, tokoh pemuda di kampung mulai menyadari bahwa di perbukitan Hutan Kawakyir yang mengelilngi kampungnya, hidup dan tinggal jenis satwa unik Papua.
Tidak sembarang mamalia, tetapi ekidna moncong panjang, spesies monotrema atau mamalia bertelur endemik Papua. Bentuknya seperti landak, orang-orang setempat menyebutnya dengan nama babi duri. Spesies ini sangat sulit dijumpai, amat pemalu, dan sebagai satwa nokturnal, biasanya hanya aktif mencari makan di waktu malam.
Pada 2023, wisatawan mulai berdatangan dari mancanegara berkat dukungan dari jaringan dan para agen wisata di Papua. Mereka pun akhirnya mendapatkan dukungan dari pemerintah dan meresmikan Klalik Echidna Park. Kini warga mulai merasakan dampak ekonomi dari ekowisata ekidna di daerah mereka, mulai dari pemandu wisata, pangan lokal dan penginapan.
3. Bakar Sampah Sumber Cemaran Mikroplastik di Udara?

Kebiasaan membakar sampah ternyata mempercepat proses pengiriman partikel mikroplastik ke udara yang pada akhirnya mencemari air hujan. Sejalan dengan riset Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) dengan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SEIJ) mendapati ada unsur poliolefin yang mendominasi.
Poliolefin merupakan material yang biasa dipakai untuk kantong plastik. Buruknya pengelolaan sampah memaksa warga untuk mencari solusi mandiri agar sampah tidak menumpuk di sekitar. Sehingga membakar menjadi alternatif penanganannya.
Sofi Azilan Aini, peneliti Ecoton menyebut, Jakarta secara umum menjadi juara untuk kategori kota dengan tingkat kontaminasi mikroplastik udara tertinggi. Terdapat 37 partikel dalam periode waktu dua jam di Jakarta. Lima kota dengan kontaminasi tertinggi dari 18 kota yang jadi objek penelitian. Kelimanya adalah Jakarta Pusat (37 partikel /2jam/9 cm), Jakarta Selatan (30), Bandung (16), Semarang (13) dan Kupang (13).
Pencemaran diperkirakan tak hanya terjadi di udara terbuka saja, namun juga masuk ke dalam tubuh manusia dan merusak kesehatan.
4. Menanti Keseriusan Penegakan Hukum Pasca Bencana di Sumatera Utara

Kerusakan ekosistem di Tapanuli Selatan menyebabkan bencana yang parah di Sumatera. Baru saja, pemerintah melakukan penyegelan terhadap perusahaan yang terindikasi melakukan aktivitas ilegal.
Kementerian Kehutanan menyegel 11 subjek hukum dan 4 oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Diantaranya ada PT Toba Pulp Lestari dan PT Agincourt Resources. Meski begitu, aktivitas perusahaan tetap berjalan dan perusahaan tidak mengakui adanya penyegelan.
Manager Advokasi dan Kampanye WALHI Sumut mendesak pemerintah perlu mengeluarkan bukti tegas penyegelan atau penghentian operasional perusahaan penyebab banjir dan longsor. Tak hanya itu KSPPM juga mendesak adanya penyelidikan lebih lanjut terkait perubahan tutupan hutan yang berdampak pada daya dukung lingkungan.
5. Penggelapan Ekspor CPO Bukti Karut Marut Tata Kelola Sawit

Pemerintah membongkar praktik penggelapan ekspor produk turunan crude palm oil (CPO) dalam 87 kontainer siap kirim ke China yang diklaim sebagai fatty matter. Kasus ini makin menegaskan betapa buruknya tata kelola sawit di Indonesia.
Direktur Eksekutif TUK Indonesia, Linda Rosalina menyebut korupsi sawit berdampak pada kerugian penerimaan negara hingga ratusan miliar bahkan triliunan rupiah. Tak hanya itu, sawit juga merusak kredibilitas komoditas Indonesia, serta memicu dampak sosial dan lingkungan seperti konflik lahan dan deforestasi.
Ketua Umum POPSI, Mansuetus Darto, menegaskan petani sawit menjadi pihak paling terdampak karena penggelapan ekspor mengurangi pendapatan BPDPKS yang berujung ke petani. Sementara itu, Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indarto, menilai lemahnya tata kelola sebagai akar persoalan korupsi di sektor sawit, dan kasus ini memperkuat urgensi perbaikan tata kelola sawit Indonesia.
(****)


