Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.
COP30 akan terselenggara di Belém, Brazil pada awal November 2025. Berbagai negara, termasuk Indonesia akan membahas terkait kegentingan iklim yang kian mengkhawatirkan. Indonesia juga baru saja memperbaharui komitmen iklimnya melalui Second Nationally Determined Contribution (SNDC) atau NDC kedua pada 29 Oktober lalu.
Berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil berharap ajang konferensi iklim ini tidak hanya sebatas panggung diplomasi semata tapi penting mengakui perlunya mempersiapkan dampak iklim yang semakin buruk. Apalagi Indonesia masih bertumpu pada energi fosil.
Sayangnya, peta jalan untuk ambisi transisi energi menuai banyak kritik. Awalnya, pada 2030 nanti, pemerintah melakukan penghapusan fosil bertahap tapi menjadi menurunkan penggunaan batubara. Adapun penggantinya, seperti bioenergi, hidrogen hijau dan panas bumi kini masih menimbulkan banyak konflik di tingkat tapak.

Mereka juga menganggap dokumen tersebut belum menjawab permasalahan kerentanan krisis iklim di tingkat tapak. “Tanpa perubahan mendasar dalam tata kelola dan distribusi manfaat yang adil, SNDC berisiko menjadi proyek adaptasi “dari atas ke bawah” yang gagal memperkuat daya tahan masyarakat yang paling terdampak,” katanya kepada Mongabay.
Pendekatatan transisi energi yang adil, hingga saat ini hanya terbatas pekerja, tidak fokus pada komunitas dan kerugian ekonomi regional. Sehingga penting adanya pendekatan lebih luas dan inklusif di seluruh upaya aksi iklim, baik mitigasi maupun adaptasi.
Di tengah ramainya pembahasan COP 29, berbagai peristiwa di tingkat tapak justru memperlihatkan tantangan nyata yang belum terjawab. Berikut lima artikel dalam sepekan dalam Mongabay Snaps yang menceritakan kerentanan iklim dalam kebijakan pemerintah saat ini.
1. Terjadi lagi, kriminalisasi pejuang lingkungan

Cerita kriminalisasi pejuang lingkungan terjadi di Kabupaten Maluku Tengah. Dua pemuda adat Negeri Haya, Kabupaten Maluku Tengah, dijatuhi vonis berat oleh Pengadilan Negeri Ambon–Husein Mahulau selama 8 tahun dan Ardi Tuahan selama 3 tahun 6 bulan penjara.
Mereka diduga terlibat dalam pembakaran fasilitas PT Waragonda Minerals Pratama, perusahaan tambang pasir garnet yang beroperasi di wilayah adat mereka. Tim kuasa hukum menilai vonis hakim sarat opini dan mengabaikan fakta persidangan. Saksi kunci tidak dihadirkan, dan tidak ada bukti kuat yang menunjukkan kedua terdakwa melakukan pembakaran atau penghasutan.
Mereka menyebut putusan ini sebagai bentuk kriminalisasi pejuang lingkungan. Masyarakat adat pun memprotes putusan pengadilan di halaman PN Ambon.
2. Tambang batubara menyebabkan rumah rusak dan gagal panen

Di balik gemilang isu transisi energi, penghapusan ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil masih jauh dari janji. Hingga hari ini, Warga Kelurahan Argosari, Kecamatan Samboja Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur merasakan dampak pertambangan batubara PT Singlurus Pratama.
Aktivitas tambang perusahaan itu membuat lahan pertanian mereka tak bisa lagi ditanami dan memaksa mereka meninggalkan rumahnya karena longsor. Pada 2016, warga sudah melaporkan SGP karena merampas lahan masyarakat di Samboja. Mereka juga menambang tanpa persetujuan dari pemilik. Sayangnya, pemerintah tidak menindaklanjuti secara serius upaya warga.
3. Revitalisasi Tambak Bakal Perparah Beban Ekologis Pesisir Jateng

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan merevitalisasi 78.000 hektar tambak di kawasan Pantai Utara Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Namun, rencana revitalisasi tambak bakal menjadi kiamat ekologis bagi warga pesisir Jawa Tengah.
Pasalnya, kondisi pesisir utara Jateng sudah mengalami abrasi sangat parah. Desa-desa sudah banyak yang tenggelam. Selain itu, revitalisasi tambak akan meningkatkan resistensi pantai utara Jawa. Terlebih lagi beberapa kabupaten di Jateng sudah jadi langganan banjir rob dan abrasi.
Berbagai penelitian menunjuukan penurunan tanah di pesisir Jateng (Semarang, Demak, Pekalongan) 8-10 cm/tahun dalam 10 tahun. Masyarakat sipil menilai program ini cenderung berorientasi perusahaan besar dan ekspor, bukan masyarakat pesisir dan nelayan tradisional.
4. Masa keemasan kakao yang kian meredup

Pada 2010, tanaman kakao pernah menjadi andalan petani Enggano. Tapi selama 12 tahun terakhir mereka menghadapi serangan jamur Phytophthora palmivora yang menyebabkan busuk buah dan kerusakan batang.
Hingga kini, belum ada pelatihan terpadu untuk mengatasi hal tersebut secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Akibatnya, petani terpaksa belajar lewat media sosial dan video daring, meski hasilnya kerap tidak memuaskan. Dampaknya kini, sebagian petani akhirnya menebang pohon kakao dan beralih menanam jengkol serta pisang.
Warga masih melihat kakao sebagai harapan, namun merasa perlu dukungan nyata dari pemerintah. Seperti, pelatihan, bibit unggul dan mengelola hama dan kebun secara berkelanjutan.
5. Rumah baru untuk ‘Sally’ di Hutan Kehje Sewen

Jika habitat terus menyusut, konflik antara orangutan dan manusia tak terelakkan. Karena itu, pelestarian habitat menjadi kunci agar tak perlu lagi mencari rumah baru bagi orangutan.
Sally, orangutan Kalimantan berpindah rumah dari pusat rehabilitasi ke Hutan Kehje Sewen. Kini, ia mulai beradaptasi dengan lingkungan barunya. Tim BOSF menemukannya berinteraksi dengan orangutan liar bernama Kimi.
Sejak 2012, sedikitnya 135 orangutan telah dilepasliarkan di hutan seluas 86.593 hektar ini oleh PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI) bersama BOSF. Kapasitaas maksimal hutan ini bisa menampung individu hingga 300.
Mereka menegaskan pentingnya habitat lestari agar orangutan tak lagi memasuki kebun atau permukiman manusia.
(*****)
Setahun Kementerian Lingkungan, Penegakan Hukum Industri Nikel jadi Sorotan


