- Dua pemuda adat Negeri Haya, Kabupaten Maluku Tengah, dijatuhi vonis berat oleh Pengadilan Negeri Ambon — Husein Mahulauw divonis delapan tahun penjara, dan Ardi Tuahan tiga tahun enam bulan. Mereka disebut terlibat dalam pembakaran fasilitas PT Waragonda Minerals Pratama, perusahaan tambang pasir garnet yang beroperasi di wilayah adat mereka.
- Kasus bermula dari pelanggaran sasi adat — simbol larangan dan perlindungan lingkungan — yang dirusak oleh pekerja perusahaan. Perusakan simbol adat itu memicu kemarahan warga Haya yang menilai adat mereka dilecehkan. Massa protes, dan kericuhan menyebabkan beberapa fasilitas perusahaan terbakar.
- Tim kuasa hukum menilai vonis hakim sarat opini dan mengabaikan fakta persidangan. Sejumlah saksi kunci tidak dihadirkan, beberapa kesaksian kontradiktif, dan tidak ada bukti kuat yang menunjukkan kedua terdakwa melakukan pembakaran atau penghasutan. Mereka menyebut putusan ini sebagai bentuk kriminalisasi pejuang lingkungan.
- Salah satu hal paling krusial dalam perkara ini adalah absennya saksi kunci bernama Pandu Kilian (Panjul). Keterangan saksi ini dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, kendati ketidakhadirannya tanpa alasan sah sebagaimana disyaratkan Pasal 162 Ayat (1) KUHAP.
Fitri Yusuf Tuahan menuntun anak balitanya di Pengadilan Negeri (PN) Ambon, Selasa (14/10/25) siang. Adik iparnya, Nining Tuahan, menggenggam beberapa bungkus makanan ringan dan air mineral. Mereka meminta izin petugas pengadilan untuk bertemu Ardi Tuahan, suami Fitri, yang menunggu sidang putusan bersama rekannya Husain (Husein) Mahulauw.
“Jadwalnya jam sembilan, tiba-tiba diundur ke jam tiga. Tidak pernah jelas alasannya,” kata Dandy Yulianto, kuasa hukum Ardi.
Sejak 19 Februari 2025, Ardi dan Husein jadi tersangka kasus pembakaran fasilitas tambang PT Waragonda Minerals Pratama (WMP). Kemarahan warga berawal dari pencabutan sasi adat atas penolakan warga atas tambang pasir garnet di Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, Maluku Tengah.
Pertemuan mereka hanya sebatas tatap dari balik pintu besi. Fitri dan Nining, tak kuasa menahan air mata saat Ardi mendekat.
Di depan pintu jeruji ruang tahanan, Fitri berdiri sambil menggendong anaknya untuk melihat wajah suaminya. Sipir memberi isyarat singkat. Pintu dalam tak dibuka penuh; cukup celah untuk sepasang mata saling menangkap kabar.
Ardi Tuahan mendekat, merapatkan tangan ke palang. Senyumnya tipis, seperti menahan dua arus sekaligus: lega karena bertemu, perih karena pertemuan itu justru menegaskan jarak yang tak ia kehendaki.
“Saya hanya mau lihat dia, meski dari balik jeruji,” ujar Fitri.

Sudah delapan bulan lebih Ardi dan sahabatnya, Husain (Husein) Mahulauw, berganti ruang dari kantor polisi ke rumah tahanan, dari ruang tunggu sidang ke ruang pemeriksaan pengadilan. Mereka jadi tersangka tiga hari setelah warga Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, Maluku Tengah, marah besar karena simbol sasi adat yang mereka pasang di gerbang WMP dirusak.
Sasi itu janji kolektif: larangan keras mengakses wilayah atau sumber daya sampai ada keputusan adat untuk membuka kembali. Di Haya, janur kuning dan pelepah nyiur yang terikat rapi pada tiang berdiri sama tegaknya dengan martabat orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada pantai, kebun, dan laut. Mengindahkan atau menjatuhkan sasi begitu saja ke tanah, sama halnya memperlakukan kehormatan warga dan masyarakat adat.
Cerita bermula pada Minggu sore, 16 Februari 2025. Kesaksian warga menyebut, Tawakal Somalua, mantan anggota Saniri Negeri Haya yang bekerja untuk perusahaan, diduga merobohkan sasi di depan gerbang perusahaan. Kabar itu merebak cepat di antara rumah-rumah kayu yang menghadap laut.
Sekelompok pemuda mendatangi Tawakal di rumahnya, tetapi tak menemukannya. Massa pun kemudian mengalir ke halaman perusahaan. Adu mulut dengan sekuriti perusahaan.
Beberapa fasilitas perusahaan terbakar malam itu: pos keamanan, ruang kantor, maintenance dan laboratorium, mess karyawan, satu fuso, sebuah Kijang milik pegawai, sebuah motor trail, sampai alat berat. Api baru padam lewat pukul satu dini hari.
“Sasi itu bukan sekadar janur kelapa. Itu harga diri negeri. Kalau sasi dilanggar, sama saja melukai kita semua.” kata warga Negeri Haya.
Warga bersikeras bahwa amarah adalah konsekuensi atas penghinaan; ada juga yang meyakini bahwa kerusakan bertambah karena provokasi balasan. Nama Ardi terseret sebagai penghasut karena suaranya terdengar malam itu; Husain dianggap membawa dan menyiram solar.
Polisi bergerak cepat dengan menangkap keduanya. Sejak itu, perdebatan pun memasuki arena yang tak selalu mengerti perkara marwah dan adat.
“Katong seng bisa ambil keputusan aneh-aneh. Ini urusan adat, harus tua-tua yang putuskan,” kata Satria Ardi Tuahan, dalam pleidoi pembelaannya.

Putusan pengadilan
Menjelang sore, nama Husain dipanggil masuk ke ruang sidang Dr. H. Harifin Andi Tumpa untuk mendengar putusan. Di bangku pengunjung, istrinya, Prisilia, turut menggendong erat-erat.
Dalam putusannya, majelis hakim yang terdiri dari Orpa Marthina (ketua), Rahmat Selang dan Nova Salmon nyatakan Husain terbukti bersalah turut serta melakukan pembakaran yang mengakibatkan bahaya umum bagi barang. Majelis menghukumnya delapan tahun penjara.
Tangis Prisilia pun pecah, meski suaranya terkunci di tenggorokan.
Kabar putusan terhadap Husain terdengar cepat ke luar sidang. Tulisan-tulisan “Pejuang lingkungan bukan kriminal,” “Sasi lawan kriminalisasi”, “Tanah adat bukan tanah negara” di spanduk dan orasi dari warga terdengar makin nyaring.
“Ini bukan sekadar perkara hukum. Ini ujian bagi negara: apakah hukum berpihak pada keadilan ekologis dan rakyat adat, atau pada korporasi yang merusak tanah?”kata Dandy Yulianto, kuasa hukum Husain.
Senja merayap ketika giliran Ardi dipanggil. Ruang sidang berganti, kursi berganti, wajah-wajah yang menatapnya pun berganti, tetapi pola tetap sama: dakwaan, pertimbangan, putusan.
Majelis hakim yang diketuai Wilsonriver, didampingi Ismail Wael dan Ulfa Rery, menyatakan Ardi bersalah menghasut warga untuk melakukan pengrusakan; tiga tahun enam bulan.
Di bangku pengunjung, Fitri merapal doa dengan bibir bergetar. Nining di sebelahnya merangkul bahunya, berusaha menenangkannya. Anak kecil di pangkuan menangis pelan, seolah mengerti bahwa hari yang panjang itu berakhir dengan satu kalimat yang membuat rumah terasa lebih jauh lagi.
Usai sidang, Dandy Yulianto menyebut Ardi “pikir-pikir” sebelum memutuskan upaya hukum.

Bukan kriminal
Sore itu, halaman PN Ambon berubah menjadi lautan massa dari Aliansi Baku Jaga Tanah. Mereka juga bawa spanduk bertuliskan:
“Pejuang Lingkungan Bukan Kriminal!”
“Hukum Tajam ke Rakyat, Tumpul ke Korporasi!”
“Sasi Dirusak, Warga Dikriminalisasi!”
“Keadilan macam apa ini? Bukti lemah, tapi dua anak muda dijebloskan ke penjara hanya karena melawan tambang!” teriak seorang orator.
Sebagian berusaha menerobos barikade polisi untuk menemui dua terpidana yang baru saja majelis vonis. Tetapi, upaya itu tak terkabul.
Massa mempertanyakan proses peradilan yang mereka sebut tidak netral. Saksi-saksi yang hadir nyaris seluruhnya dari pihak perusahaan. Begitu juga dengan cara majelis hakim menilai keterangan yang bagi mereka penuh keraguan.
Satu demi satu orator naik bergantian ke atas pagar pembatas, mengeluarkan kalimat yang menyatukan amarah dan argumentasi. Ada yang menuding proses persidangan “cacat prosedural”, ada yang menyorot pembacaan BAP saksi yang tak pernah hadir, ada pula yang mengulang pertanyaan sederhana: mengapa perusak sasi tak juga diseret ke pengadilan?
“Pengadilan tidak punya hati! Anak dan istri mereka sudah menunggu. Ini negara macam apa yang menghukum rakyatnya karena membela tanahnya?” ujar seorang pemuda Haya di depan pintu utama pengadilan.
Saling dorong sempat terjadi ketika keluarga meminta waktu bertemu sebentar dengan para terpidana sebelum keduanya dibawa kembali ke tahanan. Permintaan ditolak. Kabar beredar bahwa keduanya sudah dipindahkan lewat pintu lain. Massa bergerak menyisir ruangan, tak menemukan. Hari meredup, dan halaman pengadilan pelan-pelan meluruh menjadi diam.

Kesaksian & kontradiksi
Di antara kepungan emosi, ada detail-detail pernyataan para terdakwa yang tim kuasa hukum susun dalam nota pembelaan yang merekam delapan kali sidang, dari 5 Agustus-30 September 2025. Mereka menggarisbawahi beberapa hal.
Pada perkara Ardi, tak satu pun saksi menyatakan mendengar langsung perintah “bakar” keluar dari mulutnya. Sejumlah orang justru menyebut bahwa keributan malam itu bersumber dari kabar sasi yang dirusak. Ardi datang kemudian, berdiri di antara massa yang sudah berkumpul.
Dalam keterangannya, Ardi mengaku menerima kabar sasi dirusak dari dua orang warga pada sore hari. Dia kemudian meminta agar persoalan tersebut dibawa ke tetua adat, mengingat perkara sasi bukan urusan para pemuda.
Malamnya, ketika mendengar ribut-ribut di jalan utama desa, dia muncul dan mengarahkan massa agar mendatangi rumah Tawakal untuk meminta penjelasan. Tawakal tak ada. Ketika Ardi sampai ke gerbang perusahaan, pintu sudah terbuka, api sudah menyala. Dia lalu masuk untuk mencoba menenangkan massa, tetapi tak kuasa mengendalikan luapan amarah yang sudah terlanjur membesar.
Namun, hakim tetap memutus bersalah. Bahkan, kesaksian saksi kunci yang tidak pernah hadir di persidangan tetap dibacakan, melanggar Pasal 162 KUHAP. “Saksi utama tak pernah hadir, tapi keterangannya tetap dibacakan. Itu pelanggaran hukum acara,” ujar Dandy.
Begitu juga dengan terdakwa Husain. Tim kuasa hukum juga tegaskan bahwa tak satu pun saksi dapat membuktikan secara langsung bahwa Husein Mahulauw melakukan tindakan pembakaran, sebagaimana dituduhkan.
Para saksi yang hadir, mayoritas justru memberikan keterangan yang harusnya berujung pada pembebasan terdakwa: tidak ada saksi yang melihat Husein membawa botol berisi solar, atau bahkan masuk ke area perusahaan. Mereka justru melihat terdakwa berdiri di luar pagar area perusahaan saat kejadian.
Sedang dua saksi yang dianggap memberatkan , Miljan Key dan Tawakal Somalua, memberikan keterangan yang saling bertentangan.
Dalam sidang, Miljan menyebut melihat Husein menyiram solar dari jarak 40 meter di tengah kondisi gelap. Namun, keterangan itu berubah saat dikonfrontasi. Dia mangku tidak tahu asal solar, bahkan menduga solar tersebut milik perusahaan.
Sebaliknya, saksi Tawakal Somalua mengaku melihat terdakwa memegang botol berisi cairan, tapi juga tidak tahu isinya. “Mungkin solar,” katanya dalam sidang, “Karena di perusahaan memang ada drum dan jerigen berisi solar.”
Kuasa hukum menilai, keterangan seperti ini tidak dapat dianggap sebagai kesaksian fakta, karena disampaikan dengan keraguan, bersifat dugaan, bahkan menyerupai rekaan.
“Kesaksian kedua saksi ini kontradiktif, tidak konsisten, dan penuh dugaan. Fakta persidangan menunjukkan bahwa keterangan mereka dibangun di atas persepsi, bukan pengamatan langsung,” ujar Dandy.
Dalam analisis hukumnya, tim pembela menegaskan bahwa hakim semestinya tunduk pada prinsip Pasal 185 ayat (5) dan (6) KUHAP. Bahwa keterangan saksi haruslah berdasarkan pengalaman langsung, bukan opini atau dugaan.
Karena itu, dia pun nilai hakim telah menyimpang dari prinsip hukum pembuktian dengan menjadikan keterangan lemah dan kontradiktif sebagai dasar vonis. “Putusan ini bukan berdasar fakta, tapi berdasar tafsir yang dibangun di luar logika hukum acara pidana. Ini bukan putusan yang objektif, tapi opini yang diberi kekuatan hukum,” tegas Dandy.

Saksi kunci tak pernah hadir
Salah satu hal paling krusial dalam perkara ini adalah absennya saksi kunci bernama Pandu Kilian (Panjul). Keterangan saksi ini dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, kendati ketidakhadirannya tanpa alasan sah sebagaimana disyaratkan Pasal 162 Ayat (1) KUHAP.
“Pembacaan keterangan saksi yang tidak hadir tanpa alasan sah tidak memiliki nilai pembuktian. Tapi justru dijadikan dasar pertimbangan hakim. Ini pelanggaran serius terhadap asas peradilan yang adil,” ujar Dandy.
Beberapa saksi, seperti Rajab Tuahan dan Imran Samalehu, mengaku mendengar kalimat ajakan “bakar perusahaan” dari orang lain, bukan dari Ardi. Sementara saksi Syahbudin hanya mendengar cerita dari pihak ketiga — bukan pengalaman langsung.
“Keterangan seperti ini dalam hukum disebut testimonium de auditu, yang tidak dapat dijadikan alat bukti. Tapi tetap dipakai untuk menghukum. Ini sangat tidak adil.”
Pada perkara Husain, tim pembela mempertanyakan konsistensi dua saksi yang dianggap memberatkan. Seorang saksi mengaku melihat Husain menyiram cairan dari jarak empat puluh meter dalam kondisi gelap; keterangan lain menyebut si saksi berdiri di pos keamanan.
Pertanyaannya, seberapa mungkin orang mengenali wajah, gerak tangan, dan isi botol pada jarak itu, malam-malam, di tengah kekacauan? Saksi lain mengaku melihat botol di tangan Husain, tetapi ketika ditanya lebih jauh, menjawab “mungkin solar”—dengan alasan bahwa di perusahaan memang ada jeriken berisi solar.
Dalam benak tim pembela, kata “mungkin” tak bisa menjadi alas bukti. “Kami kecewa, pertimbangan hukum yang mestinya bertolak dari bukti dan pengamatan langsung justru memberi tempat bagi opini dan dugaan,” kata Fadly Panne, rekan Dandy dalam tim kuasa hukum.
*****
Desa Haya Bisa Hilang Kalau Tambang Pasir Garnet Terus Beroperasi