- Tanaman kakao pernah menjadi andalan petani Enggano tahun 2010.
- Sekitar 12 tahun terakhir, tanaman kakao di Enggano menghadapi serangan jamur yang tak kunjung reda. Salah satunya, jenis Phytopthora palmivora yaitu penyebab busuk buah dan infeksi jamur batang, yang diduga biang keladi kerusakan besar-besaran itu.
- Sejauh ini, belum ada pelatihan terpadu untuk mengidentifikasi penyakit, mengelola kebun kakao berkelanjutan, atau mengendalikan hama ramah lingkungan. Kondisi ini membuat sebagian petani belajar melalui media sosial dan video daring. Namun, hasilnya tidak selalu sesuai harapan.
- Sebagian petani Enggano, menebang pohon kakao lalu menggantinya dengan jengkol dan pisang.
Ronald Marihot, petani dari Suku Karubi, di Desa Ka’ana, Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu, memandang getir pohon kakao (Theobroma cacao) di kebunnya. Buahnya hitam dan keras, tidak laku dijual.
Lima tahun lalu, kakao warisan orang tuanya itu masih dipanen maksimal. Dari 400-500 batang pohon, Ronald bisa memetik satu kuintal tiap dua minggu. Hasil tersebut dapat digunakan untuk kebutuhan keluarga sekaligus ditabung.
Kini, kejayaan kakao tinggal kenangan. Panennya merosot 80-90 persen.
“Banyak petani juga tidak tahu penyakit apa dan bagaimana mengatasinya. Buahnya rusak dimakan lalat,” ujarnya, awal Agustus 2025 lalu.
Pria 40 tahun ini coba mencari solusi. Ronald belajar otodidak dari Youtube, untuk memahami jenis-jenis hama, pola penanganan, hingga cara meracik pestisida nabati. Namun, cara itu tidak maksimal.

Akhirnya, dia menebang sebagian pohon kakao dan menggantinya dengan jengkol, tanaman keras yang belakangan mulai dilirik petani di wilayahnya. Pilihan ini bukan sekadar peralihan ekonomi, melainkan juga strategi bertahan hidup.
“Bila bertahan kakao, hasilnya tetap rugi. Jengkol lebih menjanjikan saat ini.”
Ironisnya, kata dia, ada juga petani yang coba menanam sawit, meski jelas ditolak adat.
“Sawit itu boros air, delapan liter per batang per hari. Bisa tandus tanah kami,” tegasnya.

Harmadan (40), petani kakao di Desa Kaana juga, mengatakan kebun kakao miliknya sepuluh tahun lalu tumbuh subur. Buahnya bagus dan manis.
Kini, batangnya pecah dan dari celahnya muncul hama. Tak hanya membuat buah busuk, penyakit itu juga membuat kulit keras sehingga tidak bisa diolah.
“Itu penyakit yang belum ada obatnya,” jelas bapak dua anak ini dihubungi Minggu (19/10/2025).
Dia menebang sebagian besar pohon di lahan satu hektar itu dan menggantinya dengan pohon kakao baru dan kopi.
“Saya tidak pernah mendapat penyuluhan cara mengatasi hama ini.”
Selain penyakit, Harmadan juga menghadapi persoalan lain, cuaca tidak menentu dan ketersediaan bibit unggul kakao. Bagi warga Enggano, pohon dari Amerika Selatan itu pernah jadi sumber kebanggan dan kesejahteraan. Sepuluh tahun lalu, harganya tembus Rp100 ribu per kilogram.
Harmadan sendiri bisa membangun rumah dan menyekolahkan anaknya dari hasil kakao.
“Sebenarnya, kakao masih jadi harapan kami. Hanya, apakah ada yang berani memotivasi kami,” ujar Ketua Kelompok Tani Harapan Maju, di desa dengan jumlah penduduk 778 jiwa.

Kakao terancam hama
Susanto (56), Camat Enggano, menjelaskan masa keemasan kakao terjadi sekitar 2010, ketika panen melimpah dan menjadi penghidupan utama masyarakat.
“Hasilnya memuaskan dan menopang ekonomi warga,” ujarnya pada Mongabay, Senin (20/10/2025).
Namun, sekitar 12 tahun terakhir, tanaman kakao di Enggano menghadapi serangan jamur yang tak kunjung reda. Salah satunya, jenis Phytopthora palmivora yaitu penyebab busuk buah dan infeksi jamur batang, yang diduga biang keladi kerusakan besar-besaran itu.
Kini, yang tersisa hanya tanaman tua dengan batang menghitam dan buah busuk sebelum matang. Pisang kini jadi primadona baru di Enggano, menggantingkan kakao sebagai komoditas utama.
“Pergeseran ini tak sepenuhnya pilihan bebas, melainkan strategi bertahan.”

Dalam catatan kecamatan, di Enggano masih ada sekitar 300-400 petani yang menanam kakao. Susanto yang juga bertani pisang menjelaskan, petani telah berupaya mencari cara untuk mengatasi penyakit tersebut, namun hasilnya nihil.
Pihaknya juga menerima banyak keluhan, namun kapasitas kecamatan terbatas. Langkah yang dilakukan sejauh ini sebatas koordinasi dengan Dinas Pertanian Bengkulu Utara dan memberikan semangat agar petani tidak menyerah.
“Pendampingan teknis di lapangan belum berjalan optimal.”

Sejauh ini, belum ada pelatihan terpadu untuk mengidentifikasi penyakit, mengelola kebun kakao berkelanjutan, atau mengendalikan hama ramah lingkungan. Kondisi ini membuat sebagian petani belajar melalui media sosial dan video daring. Namun, karena kondisi agroklimat Enggano berbeda, hasilnya tidak selalu sesuai harapan.
Harapan terbesar petani saat ini adalah mendapat bibit unggul kakao yang tahan penyakit. Sebagian besar tanaman sekarang berasal dari bibit lokal, hasil seleksi sederhana petani.
“Bibit ini rentan terhadap jamur, produktivitas rendah, dan tidak seragam.”
Susanto berharap, pemerintah pusat, melalui Kementerian Pertanian dan Dinas Perkebunan, dapat menyediakan bibit unggul untuk revitalisasi kakao Enggano.
Susanto juga tekankan, pentingnya pendampingan teknis agar petani tak terjebak kembali dalam pola lama yang tak produktif.
“Pendampingan juga diperlukan agar petani tidak terjebak dengan pola lama yang tidak produktif,” jelasnya.
*****
Hutan Adat Danau Pulau, Penjaga Kehidupan Masyarakat Enggano