- Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) memaparkan berbagai capaian kinerja setahun pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Kalangan pegiat lingkungan dan warga terdampak pun menyoroti terutama penegakan hukum kasus di sekitar tambang maupun kawasan industri nikel yang seakan luput radar kementerian.
- Walhi Sulawesi Tengah (Sulteng) menyoroti kinerja KLH dalam penegakan hukum lingkungan di sektor tambang seperti di industri nikel. Wandi, Manajer Kampanye Walhi Sulteng mengatakan, KLH tidak serius menegakkan hukum pelaku usaha pertambangan.
- Melalui laporan berjudul ‘Does Anyone Care? The Human, Environmental, and Climate Toll of Indonesia’s Nickel Industry’, Climate Rights International (CRI) mendesak, Kementerian Lingkungan Hidup segera menginvestigasi dampak lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah tambang dan pengolahan nikel. Lembaga ini menyoroti, area Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara, tiga wilayah penghasil nikel utama di Indonesia.
- Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup berjanji melakukan investigasi mendalam tiga wilayah utama tambang dan industri nikel itu. Juga berjanji melipatgandakan proses pengawasan dan instrumen dari lingkungan hidup.
Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) memaparkan berbagai capaian kinerja setahun Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Kalangan pegiat lingkungan dan warga terdampak pun menyoroti terutama penegakan hukum kasus di sekitar tambang maupun kawasan industri nikel yang seakan luput radar kementerian.
KLH menyatakan, pada bidang penegakan hukum (gakkum), menangani 924 kasus dengan pemberian sanksi administratif dan 47 kasus masuk tahap pidana, sejak November 2024-September 2025.
Irjen Pol Rizal Irawan, Deputi Gakkum KLH/BPLH menyebut, pemberian sanksi administratif berupa denda terhadap pelaku usaha yang melanggar hukum lingkungan mencapai Rp155, 859 miliar. Denda sudah bayar Rp110, 022 miliar.
Untuk kasus pidana, ada enam perkara maju ke Kejaksaan (P-21), dua kasus proses pelengkapan berkas sesuai arahan Kejaksaan (P-19), dan 12 kasus dalam proses penyidikan.
Lalu, dua kasus tahap penyelidikan, 20 kasus tahap pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket), satu kasus masuk skema penyelesaian perkara (perdata), dan satu kasus lain dihentikan (SP3).
“Sampai teman saya di Bareskrim kaget lihat angka pidana ini. Betapa sadisnya!” ujar Rizal dalam paparan kinerja KLH di Jakarta, 20 Oktober lalu.

Selain sanksi administratif dan pidana, juga ada penyelesaian sengketa lingkungan hidup (18 perkara), pelimpahan ke pemerintah daerah (16). Juga, 12 kasus ditindaklanjuti dengan cara lain seperti pembersihan, pemanggilan, hingga penutupan perusahaan.
Rizal bilang, kasus-kasus itu tersebar dalam tipologi kejahatan lingkungan antara lain, pencemaran lingkungan, kerusakan lingkungan, pengangkutan sampah ilegal, pertambangan ilegal, dan kebakaran lahan. Kemudian, pembukaan lahan ilegal, tindak pidana pencucian uang, kerusakan lahan, hingga kejahatan keanekaragaman hayati.
Pelakunya, bisa perseorangan, korporasi, kelompok terorganisasi, individu dengan pengaruh politik, aparat negara, dan aktor lintas negara.
“Tantangannya ini aktor lintas negara, pabrik yang tercemar di Cikande itu PMA (penanaman modal asing), direksinya orang China, semua sekarang udah pulang. Kemana kita minta pertanggungjawaban?” katanya.
Adapun, kata Rizal, dampak kejahatan lingkungan berupa bencana ekologis, konflik sosial, permasalahan kesehatan masyarakat, hingga kerugian keuangan negara.

Penegakan hukum kerusakan lingkungan dampak industri nikel?
Walhi Sulawesi Tengah (Sulteng) menyoroti kinerja KLH dalam penegakan hukum lingkungan di sektor tambang seperti di industri nikel. Wandi, Manajer Kampanye Walhi Sulteng mengatakan, KLH tidak serius menegakkan hukum pelaku usaha pertambangan.
“Hingga saat ini di Sulteng, tidak ada langkah tindakan tegas maupun penghentian kegiatan tambang, meski berbagai temuan pelanggaran telah diungkap,” katanya kepada Mongabay.
Di Sulteng, terdapat 125 izin operasi produksi tambang nikel, tersebar di empat kabupaten: Morowali, Morowali Utara, Banggai, dan Tojo Una-Una.
Dia bilang, ekspansi industri nikel menimbulkan berbagai pelanggaran serius, mulai dari kerusakan ekosistem, pencemaran udara akibat aktivitas smelter, perampasan ruang hidup masyarakat, hingga kriminalisasi warga.
Riset Walhi Sulteng menemukan , jejak pencemaran kromium heksavalen sebesar 0,075 mg/L di Sungai Desa Bahodopi dan Lobata, Morowali.
Wandi bilang, kedua sungai itu sangat dekat dengan kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
“Di hulu sungai terdapat beberapa aktivitas tambang yang paling besar konsesinya adalah PT Bintang Delapan Mineral (BDM),” katanya.

Wandi mengatakan, tingkat polusi udara makin mengkhawatirkan kesehatan masyarakat Sulteng. Data Dinas Kesehatan (Dinkes) provinsi mencatat, infeksi saluran pernapasan (ISPA) mencapai 46.793 kasus pada triwulan tiga 2025.
Di Morowali Utara, kawasan Gunbuster Nickel Industry (GNI) udara tercemar, anak-anak dan lansia paling rentan terdampak.
“Kasus ini mencerminkan kegagalan korporasi dan negara dalam memastikan perlindungan terhadap kesehatan masyarakat di sekitar kawasan industri.”
Di pesisir Palu-Donggala, kata Wandi, juga ada 97 izin tambang galian C yang beroperasi untuk memenuhi rantai pasok material ke Ibu Kota Nusantara (IKN), dengan target suplai mencapai 30 juta ton material.
Dia mengatakan, ambisi besar itu menimbulkan dampak serius terhadap masyarakat pesisir, termasuk hilangnya sumber penghidupan dari perkebunan dan perikanan, krisis air bersih, meningkatnya polusi udara, hingga penyakit ISPA.
“Fakta ini menunjukkan Sulteng terus menjadi wilayah yang dikorbankan atas nama investasi dan ambisi pembangunan nasional. Sementara penegakan hukum perusak lingkungan justru jalan di tempat.”
Tak jauh beda pandangan dari Hernemus Takuling, warga Desa Lelilef Sawai, Halmahera, Maluku Utara.
“Tidak ada,” katanya tertawa saat ditanya Mongabay ihwal kinerja KLH, lewat sambungan telepon 21 Oktober lalu.
Dia mengatakan, wilayah sekitar Teluk Weda rusak oleh aktivitas industri nikel. Di sana, warga kehilangan akses air bersih, terkena penyakit ISPA, hingga atap rumah mudah berkarat.
“Air sudah berubah menjadi asin–mandi dan cuci pakaian gunakan air setengah asin, kalau minum beli air. Semua rumah warga itu yang pakai atap seng, itu karatan,” katanya.
Apalagi, kondisi Teluk Weda tercemar limbah industri nikel. Penelitian Nexus3 Foundation bersama Universitas Tadulako (Untad) menemukan, konsentrasi logam berat pada ikan tangkapan nelayan.
Konsentrasi merkuri dalam ikan berkisar antara 0,02p-0,28 mg/kg, dengan angka tertinggi ikan barakuda. Kandungan arsenik dalam ikan berkisar antara 0,43-3,03 mg/kg, dengan konsentrasi tertinggi pada ikan sorihi yang nelayan Gemaf tangkap dengan kadar 3,03 mg/kg.
Pada Juli lalu, Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup bersama jajaran sempat berkunjung ke kawasan IWIP. Namun, tidak ada tindakan berarti terhadap kerusakan lingkungan di Halmahera.
Menurut Hernemus, rombongan menteri itu tidak bertemu warga, bahkan dia pun tak tahu kalau KLH datang.

Pemerintah seolah membiarkan kerusakan lingkungan terjadi di Halmahera.
Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara mengatakan, kerusakan lingkungan aktivitas nikel dari tambang sampai kawasan industri.
Dia contohkan, di Teluk Buli, Halmahera Timur. Penelitian 2023 oleh Universitas Khairun Ternate dan Kompas menunjukkan, Teluk Buli tercemar logam berat kromium heksavalen sebesar 0,02 mg/L, nikel sekira 0,09 mg/L, dan tembaga sebesar 0,02 mg/L.
Di Pulau Obi, aktivitas industri nikel mencemari sumber air warga Kawasi. Investigasi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) menunjukkan, Desa Obi, Kawasi, menjadi sasaran pencemaran sistematis sejak 2012.
“Sejauh ini, kami melihat tidak ada langkah nyata yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengatasi persoalan pencemaran itu,” katanya kepada Mongabay lewat sambungan telepon.
Alih-alih terlindungi dari kerusakan lingkungan, masyarakat justru kena pidana perusahaan tambang seperti yang masyarakat adat Maba Sangaji alami.
Julfikar bilang, warga Maba Sangaji masuk penjara karena protes sungai mereka tercemar aktivitas tambang. KLH abaikan pencemaran itu.
“Sejauh ini, tidak ada tindakan nyata dari KLH. KLH justru lebih fokus pada hal administrasi, bukan hal nyata mengganggu ekosistem lingkungan.”
Saat ditanya ihwal Masyarakat Adat Maba Sangaji yang kena penjaga gara-gara protes tambang di hutan adat mereka, Hanif tidak mengetahui kasusnya.
“Kalau warga Maba Sangaji saya belum dengar, nanti kami akan cermati. Biasanya kan ada anti-SLAAP yang memberikan kewenangan untuk melindungi dia,” katanya kepada Mongabay.

Desak investigasi dampak lingkungan
Hernemus Takuling mendesak KLH melakukan investigasi kerusakan lingkungan dampak aktivitas industri tambang nikel.
Tuntutan serupa juga Climate Rights International (CRI) lontarkan. Lembaga nirlaba itu mendesak KLH segera menginvestigasi dampak lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah tambang dan pengolahan nikel.
CRI menyoroti, area Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara, tiga wilayah penghasil nikel utama di Indonesia. Melalui laporan setebal 129 halaman berjudul ‘Does Anyone Care? The Human, Environmental, and Climate Toll of Indonesia’s Nickel Industry’ yang rilis 16 Oktober 2025, CRI memaparkan hasil temuan soal dampak industri nikel ini.
Riset itu mewawancarai 93 warga yang bekerja maupun bermukim sekitar area tambang dan kawasan pengolahan nikel di tiga provinsi.
Hasilnya, masyarakat melaporkan parahnya pencemaran udara dan air. Juga sejumlah masalah kesehatan terkait pertambangan, hancurnya mata pencaharian nelayan dan petani, akses informasi kesehatan publik minim.
Juga, perampasan tanah, kompensasi tidak adil untuk tanah mereka, kondisi kerja berbahaya, ancaman cara hidup masyarakat adat, intimidasi oleh aparat keamanan, dan ketakutan pembalasan jika nekat mengungkapkan kebenaran.
CRI meminta, Kementerian Lingkungan Hidup melakukan penilaian independen, berbasis sains terbaik, tentang dampak iklim akibat emisi gas rumah kaca dari penggunaan PLTU captive di industri nikel.
Organisasi ini menilai kajian itu penting untuk melihat dampak lintas batas terhadap sistem iklim dan risiko kerugian terhadap kehidupan kini dan mendatang.
Hanif merespons desakan investigasi itu. Dia berjanji melakukan investigasi mendalam di tiga wilayah utama tambang dan industri nikel.
“Kalau bagaimana kemudian investigasi kami akan lakukan. Jadi apa yang menjadi keprihatinan publik, kami akan turuti ya. Kami akan melipatgandakan proses pengawasan dan instrumen dari lingkungan hidupnya,” katanya kepada Mongabay.

*****
Fokus Liputan: Morowali di Bawah Cengkeraman Tambang Para Jenderal