- Penyelesaian keberadaan sawit dan warga dalam Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) masih simpang siur. Setelah 5 bulan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) bekerja di area itu, belum ada kepastian lokasi relokasi dan nasib warga.
- Mayjen TNI Dody Triwinarto, Komandan Satgas, menyebut tengah cari lahan pengganti untuk pemukiman dan kebun, dalam rapat koordinasi percepatan pemulihan ekosistem TNTN, 19 September. Kawasan hutan sekitar TNTN yang memiliki Perizinan berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) mereka sasar.
- Abdul Aziz, juru bicara warga terdampak TNTN dalam Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan Riau, mengatakan, relokasi tidak akan menyelesaikan akar masalah tata batas kawasan hutan yang tak pernah selesai. Menurutnya, penetapan TNTN sejak awal tidak mengikuti alur dan tahapan pengukuhan kawasan konservasi.
- Okto Yugo Setiyo, Koordinator Jikalahari, mengingatkan, konsep penyelesaian sawit dalam TNTN sudah tertuang dalam Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN). Konsep itu mestinya Kementerian Kehutanan pimpin. Tapi, menurutnya, kementerian ini justru tampak diam. Seperti tidak punya peran.
Penyelesaian keberadaan kebun sawit dan warga dalam Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) masih belum jelas. Setelah lima bulan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) bekerja, belum ada titik terang soal relokasi. Data yang pemerintah gunakan sebagai rujukan pun masih simpang siur.
Awalnya, Mayjen TNI Dody Triwinarto, Komandan Satgas, meminta warga yang bermukim dalam TNTN relokasi mandiri dalam waktu tiga bulan pasca penumbangan sawit dan pemasangan plang, 10 Juni. Rencana ini batal setelah ada desakan warga dan rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Dia menyebut, tengah cari lahan pengganti untuk pemukiman dan kebun, dalam rapat koordinasi percepatan pemulihan ekosistem TNTN, 19 September. Kawasan hutan sekitar TNTN yang memiliki perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) mereka sasar.
Di atas lahan itu, sudah ada 162.000 hektar sawit. Dia nilai solusi tepat kalau sawit di dalam TNTN pindah ke sana.
“Loginya mudah. Tapi tetap harus verifikasi. Punya kelompok tani, masyarakat dan perorangan,” katanya.
Lahan pengganti, katanya, akan masyarakat kelola langsung. Kementerian Kehutanan (Kemenhut) yang akan mengatur skema dan teknisnya.
Dwi Agus, Wakil Ketua II Satgas PKH dalam paparannya menyebut mereka akan menyiapkan lahan pengganti pada sembilan PBPH sekitar TNTN. Hasil tumpang susun citra satelit mengidentifikasi tutupan sawit di area itu mencapai 32.903,46 hektar.
Perusahaan di lokasi itu antara lain PT Riau Andalan Pulp and Paper, PT Arara Abadi, PT Nusa Prima Manunggal, PT Nusa Wana Raya dan PT Nusantara Sentosa Raya. Selain itu, PT Rimba Lazuardi, PT Rimba Peranap Indah, PT Wananugraha Bima Lestari dan CV Putri Lindung Bulan. Total luas izin 174.437,73 hektar.
“Itulah yang akan kita skenariokan sebagai lahan pengganti,” katanya.
Temuan itu masih pra verifikasi berdasarkan data Badan Informasi Geospasial (BIG), Kemenhut, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN). Tim pusat, katanya, akan turun langsung memverifikasi kesahihan data itu. Intinya, tetap menyasar penyalahgunaan area hutan tanaman industri (HTI).
Satgas PKH pun mendapat informasi dan data sejumlah perusahaan yang mengajukan pelepasan kawasan hutan pada 9 area PBPH ini. Permohonan sudah masuk dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) 36/2025 yang berisi daftar subjek hukum kegiatan usaha perkebunan sawit yang telah terbangun dalam kawasan hutan.
Luas permohonan pemutihan kawasan hutan itu mencapai 871,73 hektar. Namun, 821,02 hektar berstatus ditolak, 50,71 hektar diproses dan masuk klaster 1 C yang menjadi ranah Tim Terpadu di Kemenhut.
Dwi bilang, permohonan yang ditolak akan jadi ranah Tim Percepatan Pemulihan Pasca Penguasaan TNTN (TP4TNTN). Areal itu akan masuk skenario penyediaan tempat tinggal warga yang pindah dari TNTN.

Jangan sampai timbulkan masalah baru
Zukri, Bupati Pelalawan, gamang dengan paparan Dwi. Dia bilang, 32.000 hektar sawit dalam konsesi HTI itu punya masyarakat petani maupun cukong. Kalau main ambil dan jadikan lahan pengganti, dia khawatir akan muncul masalah baru.
Karena itu, dia minta penyempurnaan data terlebih dahulu. Pemerintah jangan salah mengeluarkan narasi sebelum mematangkan konsep.
Walau sudah menemukan solusi, dia menyarankan fokus mengambil alih lahan skala luas yang oknum cukong kuasai.
“Kalau data itu kita miliki, akan jauh lebih mudah mengurai masalah. Idealnya, dari 32.000 hektar itu, ketemu 20.000 hektar yang bukan dimiliki petani kecil. Tapi oknum dengan kepemilikan 50, 100 atau 1.000 hektar. Itu yang kita ambil,” katanya.
Abdul Wahid, Gubernur Riau, menyampaikan hal senada. Lahan pengganti, katanya, harus clean and clear, sebelum pindahkan warga ke sana. Juga, kejelasan titik lokasi yang tidak terlalu banyak masalah.
Satgas PKH pun akan prioritaskan perlindungan pemilik kebun kurang dari lima hektar. Senada dengan Zukri, Dody bilang pemerintah akan mengambil kebun dengan luas 100-500 hektar yang oknum tertentu kuasai, baik individu ataupun atas nama kelompok.
Dia juga pastikan lahan pengganti sama produktif dengan lahan yang masyarakat tinggalkan bukan areal gundul atau kosong. Usia tanaman, perkiraannya, di atas 5 tahun, bahkan lebih 15 tahun.
“Tidak ada niat dan cara mengadu masyarakat di lahan pengganti. Tapi berbagi pada lahan yang dikuasai oknum pemilik kebun skala luas yang diverifikasi nanti.”

Kriteria penerima lahan
Satgas PKH dan TP4TNTN sepakat warga yang menerima lahan pengganti adalah pemilik kebun di bawah lima hektar. Petani yang kuasai lebih dari luasan itu akan tetap dapat lahan maksimal lima hektar.
“Tapi bukan pukul rata lima hektar. Kalau punya dua hektar, ya, diganti segitu. Kalau punya 10 hektar, yang bisa diakomodir maksimal lima hektar. Nanti akan diverifikasi berlapis sesuai perolehan lahan,” kata Dody.
Data masih belum padu. Karena tim pusat maupun daerah masih belum menuntaskan pendataan dan verifikasi penduduk maupun kepemilikan lahan dalam TNTN. saat ini, yang teridentifikasi sekitar 6.000-7.000 keluarga.
Data Pemerintah Kabupaten Pelalawan, terdapat 5.667 keluarga bermukim dalam TNTN, dengan kepemilikan kebun tercatat 27.000 hektar. Kategorinya, 3.126 keluarga pemilik identitas kependudukan luar dan 2.541 keluarga tempatan.
Dari jumlah itu, 4.728 keluarga merupakan warga yang punya rumah dan lahan dalam TNTN. pemilik lahan tapi tak punya rumah belum selesai pendataan.
“Sejak 2019, memang dilarang ada penerbitan KTP (kartu tanda penduduk) dalam kawasan hutan termasuk TNTN,” kata Zukri.
Sementara hitungan Dody, andai 7.000 keluarga masing-masing terima tiga atau lima hektar, kesediaan lahan pengganti yang teridentifikasi sudah cukup. Butuh 21.000-35.000 hektar lahan pengganti.
Dia menargetkan satu lahan pengganti terealisasi pada November. Keseriusan itu akan memotivasi warga agar mau pindah dari TNTN.
Sementara, penyelesaian masalah TNTN secara menyeluruh dia targetkan rampung sebelum suksesi pemerintahan mendatang. Jika tidak, maka hal ini tidak akan selesai selamanya.
Nuansa politis dan kepentingan lapangan yang besar membuat runyam masalah TNTN. karena itu, pemulihan ini akan jadi contoh bagi 500 lebih kawasan konservasi di Indonesia yang mengalami hal serupa.
Abdul Wahid menyampaikan hal serupa. Menurut dia, persoalan TNTN rawan penunggangan. Dia butuh pengamanan lanjutan setelah masa tugas Satgas PKH berakhir.
“Harus ada pengawasan terus menerus oleh penanggungjawab yang berwenang. Jika tidak, dua atau lima tahun kemudian, TNTN akan dirambah kembali. Satgas PKH juga harus buat petunjuk teknis. Sehingga pemerintah daerah memiliki panduan melaksanakan tugas berkaitan TNTN.”

Relokasi bukan solusi?
Abdul Aziz, juru bicara warga terdampak TNTN dalam Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan Riau, mengatakan, relokasi tidak akan menyelesaikan akar masalah tata batas kawasan hutan yang tak pernah selesai.
Menurut dia, penetapan TNTN sejak awal tidak mengikuti alur dan tahapan pengukuhan kawasan konservasi.
Sementara, sebelum penetapan TNTN pada 2004 dan perluasan lima tahun kemudian, sudah ada masyarakat hidup di kawasan itu. Sebagai contoh, mengutip data Balai TNTN, 28.606,8 hektar kebun sawit sebelum 2009. Areal itu masuk bagian TNTN.
“Sebenarnya bukan persoalan relokasi semata. Dudukkan dulu substansi persoalan kawasan ini. Ada ketidakberesan dalam proses pembentukan TNTN. Ditambah lagi, ketidakbecusan (instansi) Kehutanan mengelola kawasan setelah ditetapkan,” katanya, 5 Oktober.
Tindakan Satgas PKH mengurai masalah ini, katanya, menitikberatkan kesalahan pada masyarakat. Aziz meminta, pemerintah mengakui kesalahan dengan menata ulang kawasan hutan di Riau yang hingga saat ini belum pernah ada pengukuhan.
Tahapan itu tidaklah sulit tetapi berisiko mengurangi luas TNTN. Sebab, katanya, sekitar 61.000 hektar sawit tertanam harus dikeluarkan.
“Itu risikonya. Kenapa sejak awal tak benar?”
Dia menolak relokasi karena tindakan itu tidak bunyi dalam skema penataan kawasan hutan dengan aturan yang ada. Seperti dalam Peraturan Pemerintah 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan Pasal 24 dan 26. Solusinya, selain mengurangi luasan kawasan hutan karena terlanjur ada penguasaan, ada pemberian akses perhutanan sosial.
Ketimbang relokasi ke areal PBPH, dia menawarkan pemerintah mengambil sebagian izin itu untuk masyarakat hutankan kembali secara swadaya.
Masyarakat, katanya, sanggup dengan biaya Rp500.000 per hektar per tahun hingga kawasan hijau kembali.
“Kami minta 75.000 hektar. Kami hijaukan!”
Dia pun ragu pemerintah sanggup dan punya anggaran menyediakan lahan, kebun dan pemukiman buat ribuan warga.
Menurut dia, data 5.000-7.000 keluarga baru di tiga dusun. Sementara, terdapat enam desa di Pelalawan dan satu di Indragiri Hulu.
Selain itu, lahan pengganti juga akan menimbulkan masalah baru karena juga telah masyarakat kuasai. Akan memicu konflik horizontal antar warga terdampak.
Saat ini, masyarakat belum menerima informasi relokasi dengan benar. Sebagian mendengar akan pindah ke areal dua perusahaan yang telah Satgas PKH sita, di PT Musim Mas dan PT Duta Palma.
Mulyanto, warga Dusun Toro Palembang, Desa Lubuk Kembang Bunga, Pelalawan, juga khawatir. Kerisauannya, TNTN justru akan menjadi sarang mafia lahan, sementara, lahan pengganti menimbulkan kekacauan baru.
Dia ragu dengan program pemerintah. Pemindahan ribuan warga rawan putus di tengah jalan, mengingat keterbatasan biaya. Selain itu, dia butuh jaminan lahan pengganti produktif dan legal.
“Sebenarnya berat direlokasi dari Toro. Kami sudah nyaman. Walau jauh dari keramaian, bagi kami, di sini surga kami,” katanya 6 Oktober.
Okto Yugo Setiyo, Koordinator Jikalahari, mengingatkan, konsep penyelesaian sawit dalam TNTN sudah tertuang dalam Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN), era Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.
Waktu itu, sudah tetapkan tujuh satuan permukiman yang rencananya berdiri di kiri-kanan sepanjang jalan koridor PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Namun, tidak ada kebun pengganti.
Warga, masih berkesempatan mengelola sawit dan mengambil hasilnya. Merujuk pada UU Cipta Kerja, yang berhak adalah pemilik kebun maksimal lima hektar dan sudah tinggal minimal lima tahun. Mereka juga wajib menanam tanaman hutan di areal itu, selama jangka benah.
Pelaksanaan konsep itu mestinya Kementerian Kehutanan pimpin. Kementerian ini justru diam, seperti tidak punya peran.
“Padahal secara hukum yang punya wilayah atau kewenangan di TNTN itu, Kementerian Kehutanan,” katanya, 7 Oktober.
Okto khawatir, rencana penyiapan kebun sawit tertanam dalam HTI memicu konflik baru. Pasalnya, sawit itu juga berpemilik. Bila ada cukong atau pemilik sawit skala luas, lebih baik dengan penegakan hukum.
Dia sarankan masyarakat yang terlanjur memiliki sawit dalam TNTN mengikuti skema kemitraan konservasi. Setelah menikmati hasil sawit bertahun-tahun, juga harus mau mengalah.
Siapkan pemukiman, tetapi mereka juga harus memulihkan kembali TNTN.
“Peran Kemenhut harus muncul lagi dalam masalah TNTN. Dia juga anggota Satgas PKH. Solusi jangka pendek dan panjang harusnya dijalankan kementerian terkait.”

*****
Cerita Pecinta Satwa, BTS Army dan Kematian Gajah di Tesso Nilo