- Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merespons pemulihan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). Mereka mengimbau Satgas tinjau ulang relokasi warga dari dalam Tesso Nilo. Pernyataan itu keluar melalui keterangan pers, Kamis (21/8/25), sehari jelang tenggat perintah relokasi mandiri.
- Saurlin P Siagian, Komisioner Komnas HAM, mengatakan sudah mengirim surat ke Satgas PKH, termasuk Kementerian Kehutanan dan Kementerian ATR/BPN. Untuk memulai percakapan dan komunikasi menyangkut hasil rekomendasi mereka.
- Abdul Aziz, juru bicara warga terdampak TNTN dalam Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan Riau, mengapresiasi rekomendasi Komnas HAM. Dia berharap penyelesaian persoalan ini komprehensif. Terutama, mengedepankan aturan-aturan yang telah ada untuk jadi rujukan. Bukan dengan tekanan, paksaan, apalagi intimidasi. Sebab, yang negara hadapi hanyalah rakya, bukan separatis atau kelompok bersenjata.
- Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau, mengatakan, masalah penertiban TNTN saat ini tak lepas dari kelalaian masa lalu negara. Karenanya, dia menuntut negara juga harus tanggungjawab untuk proses relokasi. Tindakan itu harus merujuk ke beberapa peraturan perundang-undangan terkait.
Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merespons pemulihan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). Mereka mengimbau satgas tinjau ulang relokasi warga dari dalam Tesso Nilo. Pernyataan itu keluar melalui keterangan pers, Kamis (21/8/25), sehari jelang tenggat perintah relokasi mandiri.
Sebelumnya, Komnas HAM meninjau sejumlah titik yang satgas sita, dan berdialog dengan warga terdampak. Kurang lebih empat hari, 6-9 Agustus 2025.
Mereka menyimpulkan sebagian besar lahan sawit di kawasan ini merupakan bekas izin pemanfaatan hutan alam yang telah menjadi semak belukar. Akses jalan atau koridor hutan tanaman industri (HTI) dan hibah lahan ninik, mendorong pendatang masuk, mulai era 2000-an.
Selama puluhan tahun, selain menanam sawit, masyarakat lokal dan pendatang membangun berbagai fasilitas. Mulai sekolah hingga rumah ibadah, untuk membentuk kehidupan yang lebih layak.
Satgas PKH hadir lewat pembangunan posko, penempatan personel berseragam berikut kendaraan, memasang papan pengumuman relokasi mandiri tanpa pemberitahuan resmi. Juga, meski batal, melarang penerimaan murid sekolah baru, tanpa solusi alternatif.
Ketika bertemu Komnas HAM, warga yang menolak relokasi beralasan sudah menetap lebih belasan tahun dan kebun sawit sudah produktif. Warga tidak mendapat tawaran kompensasi atau lokasi tujuan baru.
“Iimbauan relokasi tanpa lokasi tujuan dapat menyebabkan orang kehilangan tempat tinggal dan tempat mencari nafkah. Merupakan pelanggaran hak atas bertempat tinggal dan berkehidupan yang layak,” tulis Komnas HAM dalam keterangan pers.
Hal itu termaktub dalam Pasal 40 UU 39/1999 tentang HAM serta Pasal 11 Konvensi Internasional Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya.
“Meskipun masyarakat tidak memiliki kepastian hukum tenurial untuk tinggal dan hidup pada kawasan tersebut, pembiaran yang dilakukan negara terus menerus yang mendorong warga masuk TNTN.”

Dalam keterangan mereka, Komnas HAM memberikan empat rekomendasi. Pertama, meninjau ulang batas waktu relokasi mandiri pada 22 Agustus 2025, sebelum ada langkah perlindungan masyarakat terdampak untuk mencegah terjadi konflik.
Kedua, merumuskan kebijakan penertiban kawasan hutan di TNTN berdasarkan pada kajian komprehensif. Merujuk pada dua kajian sebelumnya, yakni, Tim Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo 2018 dan Konsultasi Nasional Krisis Tenurial TNTN yang Komnas HAM lakukan pada 2016.
Ketiga, memberikan perlindungan prosedural pada masyarakat terdampak penggusuran paksa. Mengutamakan konsultasi yang tulus, pemulihan hukum, serta alternatif tempat tinggal dan penghidupan layak.
Keempat, menghindari penggunaan kekuatan berlebih dan simbol militer pada ranah sipil, serta mengedepankan pendekatan kemanusiaan.
Saurlin P Siagian, Komisioner Komnas HAM, mengatakan, sudah mengirim surat ke Satgas PKH, termasuk Kementerian Kehutanan dan Kementerian ATR/BPN. Untuk memulai percakapan dan komunikasi menyangkut hasil rekomendasi mereka.
“Di lapangan tidak terjadi relokasi secara masif. Kita tahu ada lebih 30 ribuan warga di TNTN. Komnas HAM akan terus memantau seperti apa rekomendasi ini dilaksanakan,” katanya, lewat pesan suara, 22 Agustus lalu.
Mongabay berupaya minta konfirmasi dengan mengirim pertanyaan pada Kepala Biro Humas dan Kerjasama Luar Negeri, Kementerian Kehutanan, Krisdianto, Senin (25/8/25).
Anang Supriatna, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, mengatakan, tak kunjung merespons pertanyaan yang juga Mongabay kirim ke nomor WhatsAppnya, Jumat (22/8/25).
Meski rencana relokasi itu mundur, namun kebijakan itu tidak akan berubah. Hanya menunggu pemerintah rampungkan data warga yang tinggal dalam TNTN, lalu pindahkan mereka ke sekitar atau luar TNTN, ke rumah dan kebun sawit yang sudah pemerintah siapkan.

Warga sambut baik
Abdul Aziz, juru bicara warga terdampak dalam Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan Riau, mengapresiasi rekomendasi Komnas HAM. Dia berharap penyelesaian persoalan ini komprehensif.
Terutama, mengedepankan aturan-aturan yang ada untuk jadi rujukan. Bukan dengan tekanan, paksaan, apalagi intimidasi. Sebab, yang negara hadapi hanyalah rakya, bukan separatis atau kelompok bersenjata.
Mengedepankan aparat militer bersenjata dalam penyelesaian TNTN, menurutnya, justru akan perkeruh suasana.
“Saat ini ada beberapa pos militer bersenjata di sana. Bahkan di lokasi plang penyitaan, masih ada camp militer. Ini maksudnya apa?” tegasnya dalam keterangan tertulis yang Mongabay peroleh, Kamis (21/8/25).
Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan menjelaskan, pola penyelesaian penguasaan bidang tanah yang dikuasai perseorangan dalam kawasan hutan konservasi, dilakukan dengan kemitraan konservasi. Kebijakan itu berlaku bagi pemilik kebun maksimal lima hektar dan sudah menetap di kawasan tersebut lebih dari lima tahun, sebelum berlakunya UU Cipta Kerja.
Pemilik kebun dapat mengajukan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial dengan skema Kemitraan Kehutanan/Konservasi, dalam jangka waktu tertentu. Selanjutnya mereka harus menggantikan sawitnya dengan tanaman hutan kembali sebagai tahap jangka benah.
Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau, mengatakan, masalah penertiban TNTN saat ini tak lepas dari kelalaian masa lalu negara. Karenanya, dia menuntut negara juga harus tanggungjawab untuk proses relokasi. Tindakan itu harus merujuk ke beberapa peraturan perundang-undangan terkait.
“Jadi tidak bisa dengan cara represif dan generalisir penegakan hukum dan penertibannya.”
Pemerintah, katanya, pernah menyiapkan areal bekas dua konsesi pengusahaan hutan, PT Hutani Soal Lestari (HSL) dan PT Siak Raya Timber (SRT), sebagai lokasi baru untuk relokasi warga dalam TNTN. Letaknya masih di sekitar Tesso Nilo.
Menurut dia, warga yang tinggal dalam TNTN dengan kepemilikan kebun maksimal lima hektar dan sudah menetap lebih dari lima tahun, bisa pemerintah libatkan dalam pemulihan TNTN lewat skema kemitraan konservasi.
“Relokasi atau pemindahan warga harus berbasis kesepakatan dengan membuka ruang dialog. Lokasi pemindahan juga jangan menimbulkan konflik baru dengan warga yang lebih dulu ada di sana.”
Dia mengingatkan supaya semangat pemulihan jangan ternodai oleh ambil alih sawit dalam kawasan konservasi ini ke Agrinas Palma Nusantara.
Roni Saputra, Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, juga wanti-wanti. Jika terjadi, maka negara justru membenarkan tindakan ilegal.
Terkait relokasi warga, dia menyarankan pemerintah segera selesaikan pendataan lebih dahulu. Semestinya, verifikasi sudah selesai tiga tahun sejak pengesahan UU Cipta Kerja. Satgas PKH, harus menjalankan mekanisme perhutanan sosial dengan skema kemitraan konservasi.
“Tidak serta merta diusir keluar. Berbeda dengan kasus perusahaan. Tindakan memaksa masyarakat untuk keluar juga tidak tepat secara hukum. Tidak bisa main hantam dan pukul rata.”
Dia pun mendukung rekomendasi Komnas HAM. Tidak ada pelanggaran prosedur dalam imbauan tersebut.

Ganggu mental dan ekonomi
Warga yang tinggal dalam TNTN tak pernah mengira negara paksa mereka keluar dan meninggalkan kebun sawit yang telah terbangun belasan hingga puluhan tahun. Satgas PKH memerintahkan pengosongan kawasan konservasi itu secara mendadak. Tidak ada pemberitahuan atau sosialisasi.
“Setahu saya, Satgas masuk dulu menyegel lahan. Mereka duduk di Simpang Empat, Dusun Toro Jaya (sekarang jadi posko Satgas PKH), langsung pasang plang. Setelah itu, baru ada sosialisasi di (dusun) Toro Regar dan beberapa tempat,” kata Roben Surbakti, pengepul sawit, 6 Agustus lalu.
Sejumlah warga petani di Toro yang Mongabay temui, mengaku kehadiran Satgas PKH mengganggu psikologi mereka. Meski dapat waktu memanen sawit hingga 22 Agustus, mereka tetap cemas dan berharap tidak ada relokasi.
Rangga Buana Harahap, petani sekaligus pengepul, mengaku mentalnya jatuh ketika mendengar perintah relokasi mandiri dalam jangka waktu tiga bulan. Emak-emak atau perempuan rumah tangga juga alami hal itu. Tak lama, giliran anak-anak yang merasakannya, karena sempat ada larangan mendaftar sekolah di tahun ajaran baru.
Kehadiran personel Satgas dengan laras panjangnya membuat takut Abdul Keman. Dia tetap berpikiran positif para tentara itu hanya memburu pemilik kebun skala luas, atau cukong.
“Masyarakat takut. Kalau hanya pakaian dinas dan keliling, tak takut masyarakat. Ini (bawa senjata) yang kurang pas bagi masyarakat kecil yang hanya untuk sejengkal perut. Kalau kita terusik gak tenang kita.”
Situasi itu merembet pada aktivitas harian warga, terutama dalam mengelola kebun sawit. Kebanyakan warga tidak merawat tanaman. Mereka menunda pemupukan dan kurang semangat membersihkan pelepah pohon. Alhasil, produktivitas sawit menurun.
Beberapa bulan terakhir, hasil panen sawit Keman mentok tiga ton, bahkan kurang. Biasanya lima ton lebih. Penurunan produksi ini karena terlambat merawat pohon sawit setelah kedatangan Satgas PKH. Di awal, Keman mengaku ketakutan. Pikirannya was-was dan cemas.
Belakangan, kondisi itu berangsur pulih. Dia mulai menyemprot rumput yang menyemak di antara pohon-pohon sawit. Memotong pelepah supaya buah berkembang dengan baik.
“Dah mulai berguyur (berbuah) sawit kita. Dari pada nanti enggak kita rawat, enggak ada buah, mau makan apa? Tapi masih ada dibayang-bayangi ketakutan.”
Roben merasakan seretnya hasil panen di Toro. Sebelum Satgas PKH datang, dia mampu menampung 500 ton tandan buah segar (TBS) sawit tiap bulan. Dua bulan belakangan justru mentok 300 ton, terkadang cuma 200 ton.
Biasanya, dua kali dalam sehari, truk mengangkut TBS dari depan rumahnya ke panrik sekitar Kabupaten Kuantan Singingi. Sekali jalan, setidaknya bermuatan 20 ton. Saat Mongabay meninjau veron—sebutan lain tempat penampungan sementara sawit—miliknya, belum nampak tanda-tanda truk akan keluar. Tak ada onggokan buah sawit. Meski sudah hampir tengah hari.
Tepu, panggilan karibnya, bilang, sejak Satgas PKH masuk ke Toro, sering tak ada buah yang keluar. Armada juga sempat tertahan karena sejumlah pabrik yang jadi tujuan menolaknya. Imbasnya, petani pun tak panen beberapa hari.
“Tentu sangat pengaruh ke ekonomi kita. Termasuk petani yang jual buah ke saya. Sudah pasti terpengaruh. Cuma, pelan-pelan, kita gunakan armada kecil. Tronton tak boleh. Sekarang, alhamdulillah sudah bisa juga,” katanya.
Hasil panen yang turun ini juga berimbas pada utang-piutang antara petani dan tauke. Dia mengaku sulit, bahkan tak sampai hati, memotong hutan petani setelah menjual sawit padanya. Biasanya, dia pangkas sekitar Rp1 juta dari Rp3 juta penghasilan petani tiap kali jual buah.
Kali ini, hasil panen rata-rata petani yang jual tbs padanya tak lagi mencapai satu ton. Hanya berkisar 400-500 Kg. Sekali waktu, dia pernah langsung memotong separuh dari pendapatan petani. Tapi tidak berlangsung lama karena tak sampai hati.
Dia sadar, hampir 90% dari sekitar 150 petani yang berhutang padanya juga butuh makan dan biaya pendidikan anak. Mereka juga butuh hutang untuk perawatan ladang, beli pupuk, dan menyemprot semak liar.
“Jadi potongannya gak seperti dulu. Jadinya uang kami di petani susah untuk kembali. Masih banyak uang tauke terpendam di petani.”

Rangga merasakan hal sama. Sejak Satgas PKH berada di Toro, warga dan petani turut berhemat ketika berbelanja di kedainya.
Warga was-was terjadi hal buruk jika Satgas PKH berkeras mengusir warga. Sehingga mereka butuh persiapan.
“Yang tadinya belanja sekian, jadi sekian. Menurun intinya. Terdampak bagi kami. Transaksi belanja berkurang sehari-hari.”
Selain pada tauke, warga petani di Toro juga berhutang lewat perbankan. Banyak yang menerima Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk biaya merawat kebun sekaligus menambal kebutuhan penting rumah tangga lainnya. Jaminan pinjaman ini cukup dengan surat hibah lahan sebagai agunan.
Mongabay dapat informasi, kredit ini macet setelah Satgas PKH masuk ke Toro. Warga menunda cicilan sebelum ada kepastian nasib mereka. Biasanya jika tak ada masalah, rata-rata kewajiban angsuran petani sekitar Rp1,5 juta, tiap bulannya. Rata-rata besaran pinjaman mulai Rp25 juta.
Kondisi ini juga menuai protes dari Keman. Menurutnya, pinjaman yang petani terima juga bersumber dari dana pemerintah yang perbankan salurkan. Tapi karena warga terusik oleh perintah relokasi mandiri, hal ini juga mengakibatkan kerugian negara.
“Setelah ada Satgas PKH nyendat semua. Makanya pengaruh. Bukan hanya di Toro. Mungkin daerah lain (yang masuk dalam TNTN) juga begitu semua,” ujar Keman.
Dia yakin, kebijakan relokasi warga dari TNTN akan melahirkan kemiskinan baru. Sementara, mereka sudah mengentaskan kemiskinan dengan cara mereka sendiri.

*****