- Pemerintah terus melakukan dekontaminasi area yang terpapar zat radioaktif di Cikande. Sebagian warga harus relokasi sementara. Pembersihan lokasi paparan belum usai hingga awal November ini.
- Rasio Ridho Sani, Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup, menjelaskan, penanganan kasus ini dengan beberapa langkah penting. Harapannya, proses dekontaminasi rampung dalam waktu dekat tetapi belum dapat memastikan kapan benar-benar selesai.
- Yuyun Harmono, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, menilai kasus radiasi Cesium-137 di Kawasan Industri Cikande menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap impor logam bekas dan industri peleburan logam.
- Mitigasi dan dekontaminasi secara intensif terus dilakukan. Sebanyak 22 pabrik terdeteksi paparan radiasi Cs-137, telah terdekontaminasi satgas. Pabrik-pabrik yang telah selesai dekontaminasi dapat segera operasi, dengan supervisi dari BRIN dan Bapeten. Untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat, dekontaminasi di luar pabrik, terutama di zona merah, termasuk pemukiman, lapak, dan lahan kosong, terus satgas lakukan secara intensif.
Satu per satu Satgas Penanganan Radiasi Zat Radioaktif Cs-137 lakukan pendataan dan pengecekan warga terdampak radiasi di Kampung Barengkok dan Kampung Sadang, Kecamatan Cikande, Kabupaten Serang, Banten, 20 Oktober lalu. Sebanyak 31 keluarga dengan total 105 jiwa relokasi sementara.
Hingga kini, angka relokasi sementara warga terus bertambah. Meski begitu, pembersihan lokasi paparan (dekontaminasi) zat radioaktif di titik-titik luar kawasan industri Cikande belum usai hingga awal November ini.
Pada 26 Oktober lalu, Satuan Tugas Cesium-137 proses dekontaminasi di sejumlah titik di Kawasan Industri Modern Cikande.
Berdasarkan laporan satgas, 91 warga di zona merah telah relokasi sementara ke lokasi aman. Relokasi ini untuk meminimalkan risiko paparan radiasi selama proses pembersihan berlangsung.
Ada dua lokasi masuk zona merah berada di pemukiman di Kampung Barengkok, Desa Sukatani.
Rasio Ridho Sani, Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup, menjelaskan, penanganan kasus ini dengan beberapa langkah penting.
Pertama, pengendalian pergerakan material yang berpotensi terkontaminasi Cesium-137 melalui Radiation Portal Monitoring (RPM).
Kedua, survei menyeluruh terhadap lokasi-lokasi yang diduga terpapar radiasi. Ketiga, proses dekontaminasi di area pabrik maupun lokasi lain di luar kawasan industri.
Proses dekontaminasi, katanya, melalui tahap pemetaan dan mitigasi mendalam oleh BRIN, dengan dukungan Satuan Kimia, Biologi, Radioaktif, dan Nuklir Gegana Korps Brimob Polri serta sejumlah instansi terkait.
“Per 20 Oktober, total material terkontaminasi yang berhasil diangkat dari berbagai titik mencapai 248,4 ton,” kata Roy, sapaan akrabnya.
Dia berharap, proses dekontaminasi rampung dalam waktu dekat. Tetapi dia belum dapat memastikan kapan benar-benar selesai.
“Dekontaminasi lanjutan akan dilakukan secepat-cepatnya,” kata Bara Krishna Hasibuan, Ketua Bidang Diplomasi dan Komunikasi Satgas Cesium-137.

Pada 30 Oktober ada perkembangan lagi dari satgas. Dalam keterangan pers KLH menyebutkan, satgas terus mempercepat mitigasi dan penanganan kontaminasi radioaktif di kawasan industri dan pemukiman di Cikande.
Roy mengatakan, mitigasi dan dekontaminasi secara intensif terus dilakukan. Sebanyak 22 pabrik terdeteksi paparan radiasi Cs-137, telah terdekontaminasi satgas.
“Pabrik-pabrik yang telah selesai dekontaminasi dapat segera operasi, dengan supervisi dari BRIN dan Bapeten,” katanya.
Untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat, katanya, dekontaminasi di luar pabrik, terutama di zona merah, termasuk pemukiman, lapak, dan lahan kosong, terus satgas lakukan secara intensif.
Dia bilang, kontaminasi Cesium-137 di zona merah karena penggunaan limbah peleburan logam (slag) yang terkontaminasi radioaktif. Limbah itu masyarakat pakai sebagai material urugan.
“Dari 12 lokasi yang teridentifikasi di zona merah, lima lokasi berhasil didekontaminasi, sementara tujuh lokasi masih dalam proses dekontaminasi intensif.”
Pembersihan/pemindahan material urug terkontaminasi di zona merah oleh Tim dari Nubika Zeni TNI-AD dan KBRN Gegana Brimob Polri.
Menurut Roy, hingga kini material dekontaminasi yang dipindahkan baik dari pabrik maupun zona merah mencapai 275,87 meter kubik atau setara 558,8 ton.
“Proses dekontaminasi secara ketat mengikuti protokol keamanan radiasi yang dikendalikan Petugas Proteksi Radiasi dari BRIN dan Bapeten.”

Jamin kebutuhan relokasi warga
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Serang menanggung seluruh kebutuhan 30 keluarga (102 jiwa) selama masa relokasi terdampak paparan radiasi Cesium-137.
“Jaminan kebutuhan ini diberikan selama masa relokasi satu bulan, “ kata Zaldi Dhuhana, Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Serang, di Serang.
Kebutuhan harian yang Pemkab Serang jamin antara lain, sembako, pakaian, seragam sekolah, dan hunian sementara–lengkap dengan kasur, alat masak, dan kipas angin.
Sementara Polres Serang turut menyalurkan bantuan tambahan kepada 19 keluarga yang sudah relokasi. Bantuan itu antara lain, telur, sampai pampers.
“Kami berharap kepedulian dari Polri dapat meringankan beban warga selama masa penyesuaian di tempat tinggal sementara,” ujar Kapolres Serang, Condro Sasongko.

Gagap urus radiasi radioaktif
Yuyun Harmono, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, menilai kasus radiasi Cesium-137 di Kawasan Industri Cikande menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap impor logam bekas dan industri peleburan logam.
“Bagaimana mungkin sebuah industri logam bisa mengimpor scrap metal tanpa diketahui bahwa di dalamnya terdapat unsur radioaktif?” katanya kepada Mongabay, Selasa (21/10/25).
Seharusnya, deteksi sejak di perbatasan untuk mencegah transboundary radiation akibat praktik lintas negara seperti ini.
“Artinya, sistem pengawasan di pelabuhan-pelabuhan kita telah kebobolan.”
Yuyun menilai, kasus ini seharusnya dapat dicegah sejak awal apabila pengawasan benar. Pengiriman logam bekas (scrap metal) harus setop segera begitu terdeteksi mengandung unsur radioaktif.
“Bukan malah baru bertindak setelah ada laporan dari pihak luar negeri, baru kemudian pemerintah kelabakan melakukan identifikasi, investigasi, dan dekontaminasi,” katanya.
Dia juga menyoroti transparansi informasi kepada publik minim. Masyarakat, terutama yang tinggal di sekitar kawasan industri, tidak memperoleh informasi memadai sejak awal kasus muncul hingga tak memahami dampak paparan radiasi terhadap kesehatan mereka.
Dia menilai, publik seharusnya dapat penjelasan mengenai sumber radiasi, lama paparan, serta tingkat risiko.
“Informasi kepada warga tidak diberikan saat awal kasus ini mencuat.”

Upaya hukum lanjut
Rizal Irawan, Deputi Penegakan Hukum (Gakkum) KLH memastikan upaya hukum terus berlanjut terhadap PT Peter Metal Technology (PMT) dan pengelola Kawasan Industri Modern Cikande (Modernland).
Pemerintah, katanya, gunakan dua pendekatan hukum untuk menangani kasus ini, yakni, pidana, yang Bareskrim Polri tangani, terkait pelanggaran hukum pengelolaan bahan berbahaya. Lalu, perdata atau penyelesaian lingkungan hidup, yang menjadi tanggung jawab Deputi Gakkum KLH, untuk memastikan pemulihan dan tanggung jawab lingkungan berjalan.
“Semuanya berproses, satu per satu sedang kami kerjakan,” ujar Rizal kepada wartawan, Serang, Jumat (17/10/2025).
Dyah Paramita, Peneliti Hukum dan Kebijakan Center for Regulation, Policy, and Governance (CRPG), menilai, patut mengapresiasi langkah ini.
“Penegakan hukum pidana penting untuk memberikan efek jera terhadap pelaku atau perusahaan yang lalai,” katanya.
Sedang pendekatan perdata memastikan pemulihan lingkungan dan ganti rugi kepada masyarakat serta negara.
Namun, dia menekankan, efektivitas kedua pendekatan ini bergantung pada isi tuntutan dan dakwaan pemerintah terhadap PMT.
“Dari isi tuntutan dan dakwaan tersebut kita bisa menilai, apakah nantinya jika sudah masuk persidangan dan diputus hakim, bisa memberi efek jera atau tidak.”
Dalam banyak kasus, kata Mita, dakwaan berat tetapi hukuman ringan. “Hal ini tidak memberi efek jera.”
Dari perspektif hukum lingkungan, katanya, ada sejumlah tantangan besar dalam menuntut pertanggungjawaban korporasi atas pencemaran radioaktif seperti ini.
Pertama, menentukan asal bahan radioaktif dan rantai penanggung jawab serta membangun konstruksi pertanggungjawaban pidana korporasi.
“Dalam kasus ini, bahan radioaktif tersebar di beberapa titik. Maka perlu pembuktian apakah semua dari PT PMT, atau ada perusahaan lain yang turut berkontribusi,” katanya.
Kedua, kapasitas teknis aparat penegak hukum dalam memahami aspek nuklir dan radiasi juga menjadi tantangan tersendiri. Terutama, bagi jaksa dan hakim yang akan menangani perkara ini di ranah pidana.

Lebih lanjut, Mita menyoroti celah hukum dalam pengawasan dan penegakan regulasi pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3).
Menurut dia, PMT bergerak di bidang peleburan logam dan mengimpor logam (besi) bekas atau besi tua. Berdasarkan keterangan KLH, sumber radiasi berasal dari logam impor bekas itu.
Importasi scrap dan metal, katanya, tertuang dalam Permendag No. 24/2025, di mana tidak kategori B3 dan tidak ada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) untuk screening radioaktif di pelabuhan. “Karena dianggap bukan B3, maka pengawasannya tidak terlalu ketat.”
Pengawasan bahan radioaktif dan limbah B3 diatur oleh dua rezim berbeda, yakni, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk B3 dan Bapeten untuk bahan yang mengandung radiasi.
“Namun keduanya seharusnya berkoordinasi karena fungsi mereka saling terkait, yakni menjaga keselamatan manusia dan lingkungan,” katanya.
Secara internasional, kata Mita, pergerakan lintas batas limbah (transboundary movement of waste) diatur dalam Basel Convention. Limbah yang mengandung radiasi tidak termasuk dalam cakupan konvensi itu, melainkan diatur oleh International Atomic Energy Agency (IAEA).
Menurut Mita, kelalaian terjadi di dua sisi, pemerintah tidak screening radiasi di pelabuhan, dan perusahaan tidak memastikan limbah yang impor bebas dari unsur radioaktif.
“Secara internasional, scrap yang mengandung radiasi tidak boleh diperdagangkan. Untuk mencegah ini, perlu inspeksi ketat.”
Di Tiongkok, misal, ada aturan ketat memeriksa logam bekas impor. “Di Indonesia, prosedur seperti ini belum ada.”
Meski tak masuk kategori B3, importir besi bekas tetap memiliki kewajiban hukum untuk memastikan bahwa barang yang diimpor tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.
Untuk memastikan proses pemulihan berjalan efektif, Mita dengan tegas mengatakan penting pemetaan komprehensif terhadap sumber dan sebaran radiasi. Juga, edukasi masyarakat dan industri terdampak mengenai bahaya radiasi dan langkah penanganan seperti evakuasi dan dekontaminasi.
“Perlu transparansi mengenai action plan Satgas Cs-137 yang dibentuk pemerintah dan timeline penanganan.”
Ppartisipasi masyarakat juga penting agar publik bisa ikut berperan dalam pengawasan dan penyelesaian masalah ini.

*****
Nasib Pekerja di Cikande, Terpapar Radioaktif dan Kehilangan Mata Pencaharian