- Badan Riset dan Inovasi nasional (BRIN) menemukan potensi sesar aktif di wilayah Semarang dan sekitarnya pada Mei 2025. Tim menemukan jejak morfologi unik antara pantai utara Jawa dan Kota Semarang.
- Sejarah mencatat, Semarang pernah diguncang gempa dahsyat terjadi pada 19 Januari 1856. Gempa hebat pada masa kolonial Belanda itu disebabkan oleh sesar aktif. Catatan tersebut ditulis oleh geolog cum mineralog Jerman, Arthur Wichmann pada 1918.
- Astyka Pamumpuni, Ahli Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan kurun waktu pengulangan gempa akibat sesar sangat panjang. Karena umur manusia sangat pendek, maka wajar saja merasa tidak pernah merasakan gempa seumur hidupnya.
- Yohanes Brahmo Emianto, Penyelidik Geologi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah mengatakan secara geologis di Semarang memang ada sesar yang aktif dan sudah ada sejak jaman dahulu. Salah satu mitigasi adalah masyarakat harus memiliki pemahaman geologis terlebih dahulu. Kemudian melakukan konstruksi hunian sesuai dengan karakteristik tanahnya.
Pusat Riset Kebencanaan Geologi, Badan Riset dan Inovasi nasional (BRIN) menemukan potensi sesar aktif di wilayah Semarang dan sekitar, pada Mei 2025. Tim menemukan jejak morfologi unik antara Pantai Utara (Pantura) Jawa dan Kota Semarang. Ada batas morfologi mencolok antara area datar bagian utara dan selatan yang lebih tinggi.
“Sesar di Semarang sudah pasti ada dan sudah pasti aktif karena ditemukan batuan ataupun endapan yang jadi indikatornya,” kata Sonny Aribowo, periset bidang Paleoseismologi BRIN, dikutip dari laman BRIN.
Jauh sebelum temuan itu, sejarah mencatat bahwa Kota Semarang pernah alami gempa dahsyat pada masa kolonial Belanda. Tepatnya pada 19 Januari 1856. Hal itu terungkap dalam catatan sejarah yang geolog cum mineralog Jerman, Arthur Wichmann, tulis pada 1918. Wichmann menggunakan sumber-sumber kolonial, catatan geologi, dan laporan pelayaran untuk menyusun kronologi gempa.
Dalam catatan berjudul Die Erdbeben des Indischen Archipels von 1858 bis 1877, gempa hebat di Semarang terjadi pada pukul 06.15 pagi. Tak disebutkan secara rinci bagaimana kondisi setelah gempa. Namun, sebuah benteng alami keretakan cukup besar.

Sesar Kaligarang
Wilayah Semarang terbelah oleh sungai Kaligarang dari arah utara-selatan. Dugaannya, lembah sungai merupakan sesar aktif.
Dalam penelitian Reaktivitas Sesar Kaligarang Semarang oleh S. Poedjoprajitno dkk menyebut, sesar Kaligarang yang membelah Kota Semarang pada arah utara-selatan merupakan sesar aktif sejak zaman Tersier hingga Kuarter.
Hasil analisis di lapangan menunjukkan bukti sesar aktif berupa struktur undak beserta gawir-gawir sesar. Alur sungai terpotong (offset) menandakan tektonika masih berlangsung.
Bagas Yanna Aulia Fattaah dkk melakukan pemantauan sesar Kaligarang yang membelah Semarang pada arah utara sampai selatan. Periode penelitian berlangsung pada 2018 dan 2019 dengan 12 titik yang tersebar di wilayah Semarang. Tujuannya untuk mengetahui kondisi deformasi di sekitar Sesar Kaligarang.
Pengamatan menggunakan GNSS dual frekuensi dengan software GAMIT 10.7. Hasilnya, kondisi deformasi di sekitar Sesar Kaligarang mengalami pergeseran sebesar 0,017-0,103 meter per tahun pada bagian barat sesar.
Sedangkan pada bagian timur sebesar 0,009-0,0115 meter per tahun. Hal ini menunjukkan bagian barat sesar utama mengalami pergerakan lebih dinamis.
Astyka Pamumpuni, Ahli Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan, sesar memiliki dua kategori, yakni ada sesar sudah sangat tua dan tidak aktif.
Ada juga sesar aktif dan masih terus bergerak. Salah satu parameter sesar aktif adalah sesar pernah menimbulkan gempa atau pernah bergerak paling tidak satu kali dalam 10.000 tahun terakhir. Semarang, termasuk kategori sesar aktif.
“Implikasinya adalah di masa depan dia bisa menimbulkan gempa lagi,” katanya.
Kurun waktu perulangan gempa akibat sesar memang sangat panjang. Katanya, karena umur manusia sangat pendek, maka wajar saja tidak pernah merasakan gempa seumur hidupnya. Gempa jadi susah terprediksi karena pengulangannya butuh waktu lama.
“Tetap harus waspada. Karena tadi kita enggak tahu kapan bergeraknya.”

Mitigasi bencana
Astyka mengatakan, ada dua hal perlu jadi perhatianbagi daerah yang memiliki sesar aktif. Mengingat sesar sebagai kondisi yang alamiah yang tak bisa diubah apalagi dihilangkan. Jadi, perlu mitigasi jangka pendek maupun jangka panjang.
Dia mencontohkan, catatan sejarah yang menyebutkan Semarang pernah mengalami gempa oleh sesar aktif pada zaman kolonial Belanda kondisinya berbeda dengan saat ini. Dahulu, populasi di Semarang tak sebanyak sekarang. Huniannya juga tak sepadat sekarang.
“Maka korbannya mungkin nggak terlalu banyak. Sekarang bangunannya makin banyak, orangnya makin banyak.”
Untuk itu, mitigasi jangka panjang lewat konstruksi rumah menyesuaikan kondisi geologis wilayah. Hunian tahan gempa menjadi solusi bagi warga yang tinggal di daerah rawan.
“Jadi bangunan tahan gempa itu bukan berarti kalau ada gempa enggak rusak, ya bisa rusak tapi secara struktur, tidak ambruk gitu.”
Sedangkan mitigasi jangka pendek, warga harus bisa memahami apa yang harus dilakukan jika terjadi gempa. Misal saja dengan melakukan stop and cover, tindakan tiga langkah saat gempa. Drop, jatuhkan tubuh. Cover, lindungi kepala dan leher dan cari tempat kokoh berlindung. Hold on, pegangan erat di tempat berlindung.
Yohanes Brahmo Emianto, Penyelidik Geologi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah mengatakan, secara geologis di Semarang ada sesar aktif sejak dahulu.
Dimanapun manusia bermukim, selalu memiliki faktor risiko. Jadi masyarakat harus memiliki pemahaman awal lokasi tempat tinggalnya seperti apa. Karakteristik tanah harus dipahami.
“Jadi harus teredukasi dahulu,” katanya.
Jika sudah memiliki edukasi yang baik, kemudian dapat merencanakan langkah selanjutnya. Jadi, jika ingin bertahan di situ, harus bisa bersahabat dengan alam. “Harus bisa menyesuaikan kondisi alam.”
Dia menyebut, DESDM Jawa Tengah membuka jasa layanan konsultasi geologi bagi warga dan dapat dimanfaatkan demi mengurangi risiko bencana.
“Konstruksi harus menyesuaikan kondisi lingkungan setempat. Perlu konsultasi kondisi geologisnya, jadi mereka bisa menyesuaikan. Tak bisa semua kondisi digeneralisasi, jadi kesalahan kadang saat perencanaan di awal itu.”
Kajian Geologi untuk Identifikasi Bencana di Wilayah Kota Semarang oleh Helmy Murwanto dkk menunjukkan, bahwa batuan penyusun Kota Semarang terdiri dari batuan sedimentasi marine yang berumur lebih dari 2 juta tahun lalu. Proses tektonik di Semarang masih berjalan aktif hingga saat ini.
Hal itu terlihat dari struktur patahan, kekar, dan lipatan yang melibatkan endapan vulkanik Ungaran Tua. Proses tektonik mengakibatkan terbentuknya Tinggian Banyumanik-Mijen dan Rendahan di wilayah Semarang bagian utara yang mengalami proses penurunan.
Karena itu, salah kelola lahan dapat mengakibatkan bencana alam. Pembangunan fisik di Kota Semarang pun, katanya, harus memperhatikan kondisi geologi dan proses neotektonik yang masih aktif.

*****