Tahun 2025, Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat masuk dalam program legislasi nasional prioritas. Meskipun begitu, lagi-lagi, kenyataan seperti dua periode pemerintah sebelumnya, penetapan RUU soal pengakuan hak-hak masyarakat adat ini gagal lagi.
Fakta menyesakkan lagi, meski menjadi agenda program legislasi nasional prioritas pada 2025, legislasi RUU Masyarakat Adat ini akan mulai lagi dari nol! Draf yang pernah ada pun bakal terabaikan. Betapa borosnya!
Sayangnya, belum ada upaya sungguh-sungguh melihat mengapa ada resistensi atas rencana bileid itu. Apakah ini merupakan respons atas wacana adat pasca reformasi yang muram dalam memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan? Padahal, di pihak lain, pengakuan hak-hak masyarakat adat itu menjadi raison de entre negara baru yang namanya Indonesia (Zakaria, 2024).
Apa pula yang terjadi hingga berbagai regulasi yang muncul dari upaya negara untuk mewujudkan hasil amandemen Pasal 18 sejak 25 tahun lalu itu hanya menghasilkan fenomena ‘kaya kebijakan, tetapi miskin perubahan’?
Apa benar karena rumusan norma konstitusi itu sendiri bermasalah karena mengandung pengakuan-pengakuan bersyarat, sebagaimana banyak para ahli dan pemerhati gugat, antara lain Simarmata (2006), hingga muncul tuntutan untuk amandemen lagi?
Atau peraturan perundang-undangan turunannya yang bermasalah karena bersifat sektoral, sebagaimana Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman ) bersama komunitas dan aktivis pendukungnya gugat? Atau, tidak ada penetapan RUU itu adalah fungsi dari persoalan substansi pengaturan yang menakutkan sejumlah pihak karena dianggap akan mengganggu integrasi nasional?

Siapa masyarakat adat?
Menurut RUU Masyarakat Adat versi Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat (Juni 2025), selanjutnya disebut Koalisi, “masyarakat adat yang terdiri dari masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional adalah sekelompok orang yang sebagian atau seluruhnya memiliki identitas budaya sama, hidup turun-temurun di wilayah geografis tertentu berdasarkan ikatan asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, memiliki hubungan yang kuat dengan wilayah adatnya dan memiliki sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum” (Pasal 1, butir 1).
Adalah benar bahwa konstitusi tidak menyebut terma masyarakat adat. Namun konstitusi menyebut keberadaan masyarakat hukum adat (Pasal 18B ayat 2) dan masyarakat tradisional (Pasal 28i ayat 3).
Persoalannya, apakah kedua terma ini “sama sebangun” atau “serupa tetapi tak sama? Jika asumsi “sama sebangun” maka hak dan kewajiban keduanya akan sama pula. Jika “serupa tetapi tak sama” maka hak dan kewajiban juga akan berbeda.
Dalam wacana akademik (kesatuan) masyarakat hukum adat adalah satuan sosial/kolektiva manusia yang terbentuk oleh adanya aturan adat. Prinsip-prinsip dasar yang membentuk kesatuan itu bisa berupa garis keturunan (genealogi), kesatuan tempat tinggal (teritorial), faktor fungsional, atau campuran lebih dari salah satu prinsip itu.
Sementara itu, sebagaimana Rajashree (tanpa tahun) kemukakan, konsep masyarakat tradisional merujuk pada suatu masyarakat di mana pedoman kehidupan sehari-hari bersumber pada tradisi. Berbeda dengan konsep masyarakat hukum adat, konsep masyarakat tradisional, tidak membatasi ukuran besar-kecil susunannya.
Merujuk pada macam pengelompokan sosial (Koentjaraningrat, 1980), susunan kesatuan masyarakat hukum adat adalah kolektiva manusia pada tingkat komunitas (community). Bukan kolektiva sosial yang lebih besar dari itu, seperti kelompok etnik/suku bangsa ataupun negara cq. kerajaan dan/atau kesultanan yang pernah ada di nusantara, misal.
Dengan demikian, setiap masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional. Namun tidak setiap masyarakat tradisional adalah masyarakat hukum adat. Penyebutan kedua terma yang berbeda itu tentu bukan tanpa alasan. Signifikansi perbedaannya akan terlihat dalam mendefinisikan wilayah adat.

Apa itu wilayah adat?
Menurut draf versi Koalisi, sebagaimana tercantum pada Pasal 1, butir 7, “Wilayah adat adalah satu kesatuan teritorial yang memiliki batas-batas tertentu, berupa tanah, hutan, perairan, pesisir, laut dan pulau-pulau kecil beserta sumber daya alam yang terkandung di dalam, baik diatas maupun di bawah permukaannya, yang diperoleh secara turun temurun atau berdasarkan kesepakatan dengan pihak lain.”
Jika dicermati lebih jauh, ada dua pesan dapat ditangkap dari rumusan itu. Pertama, rumusan ini hendak menyatakan, wilayah adat merupakan kesatuan territorial. Kedua, secara implisit, kesatuan territorial itu adalah “milik” masyarakat adat (lihat kembali definisi masyarakat adat sebelumnya).
Persoalannya, merujuk pada bahasan tentang definisi masyarakat adat, apakah wilayah adat ini “milik” masyarakat hukum adat atau masyarakat tradisional?
Jika yang dimaksudkan adalah “milik” masyarakat hukum adat, hal ini tentu sejalan dengan pemahaman wacana akademik tentang (hak) ulayat yang juga telah Koalisi rumuskan. Yakni, “hak ulayat adalah kewenangan publik dan privat yang masyarakat adat miliki untuk menguasai, mengatur, mengurus, mengelola dan memanfaatkan wilayah adatnya” (Pasal 1, butir 8).
Dalam wacana akademik, ulayat suatu masyarakat hukum adat terbentuk oleh suatu sistem pengaturan kehidupan bersama (beshikkingsrech) (van Vollenhoven, 1923/1987). Karena itu, sejatinya ulayat merupakan wilayah kedaulatan, bukan sekadar hak atas tanah (Soesangobeng, 2012).
Sebagai contoh, kelompok etnik Minangkabau, yang dapat disebut sebagai masyarakat tradisional, terdistribusi ke dalam satuan masyarakat hukum adat yang disebut nagari.
Warga nagari sekurang-kurangnya terpilah dalam empat suku, dan pada masing-masing suku terdapat sejumlah kaum yang terbentuk berdasarkan garis keturunan matrilineal.
Sementara itu, wilayah/ulayat nagari terbagi habis dalam tiga kategori penguasaan tanah ulayat. Yakni, ulayat nagari, ulayat suku, dan ulayat kaum.
Setiap jenis tanah adat dikelola oleh otoritas adat (panghulu andiko) yang berbeda. Masing-masing struktur tidak dapat saling mencampuri urusan struktur yang lain.
Meski begitu, bukan berarti kedaulatan masyarakat hukum adat tidak berjalan. Keutuhan sebuah nagari tidak terlihat dari segi penguasaan tanah dalam nagari. Melainkan dari apakah masing-masing nagari masih dapat melaksanakan kedaulatannya atau tidak.
Sebagai contoh, penelitian Universitas Andalas bersama Kementerian Agraria dan Tara Ruang pada 2021 menemukan, dari 543 nagari yang ada di Ranah Minang, hanya 210 nagari masih memiliki tanah ulayat nagari.
Namun, apakah dengan demikian 324 nagari yang sudah tidak memiliki ulayat nagari itu serta merta eksistensinya sebagai nagari runtuh? Jawabannya tentu saja tidak. Sebab, 543 nagari itu tetap saja berdiri dan berfungsi menjalankan,menegakkan aturan-aturan adat. Termasuk, melaksanakan pengadilan adat dalam menyelesaikan sengketa di dalam nagari.
Contoh kasus dari Minangkabau ini sekaligus menunjukkan bahwa rumusan Koalisi tentang masyarakat adat dan wilayah adat tidak bisa berlaku pada subyek dari kategori masyarakat tradisional.
Persoalan lain, terkait dengan frasa “beserta sumber daya alam yang terkandung di dalam, baik di atas maupun di bawah permukaannya.” Rumusan Koalisi tentang wilayah adat ini potensial bermasalah dengan ketentuan-ketentuan lain yang sudah ada cq. kebijakan di sektor agraria pada umumnya. Hal ini akan menjadi makin rumit jika yang dimaksud sebagai subyeknya adalah masyarakat tradisional.

Lalu, wilayah di mana masyarakat tradisional itu berada akan disebut apa? van Vollenhoven tegas membedakan pengertian ulayat (beschikkingsrech) dengan wilayah/lingkaran hukum adat (adatrechtskringen), yang dalam teori antropologi dapat terlihat sebagai varian dari culture area, juga dapat diterjemahkan menjadi wilayah adat.
Menurut van Vollenhoven nusantara ini terbagi menjadi 19 wilayah lingkaran hukum adat. Tentu keakuratan hitungan ini dapat dipertanyakan lebih jauh.
Kesembilanbelas wilayah adat ini secara implisit mencerminkan keberadaan berbagai kelompok etnik yang ada di nusantara. Lagi-lagi, keakuratan hitungan itu dapat diperdebatkan.
Persoalannya, bukan soal jumlah itu. Dari teori wilayah lingkaran hukum adat itu dapat diketahui bahwa tidak ada satu otoritas pun yang memiliki kedaulatan atas wilayah lingkaran hukum adat.
van Vollenhoven menyebutkan, bahwa untuk melihat bagaimana hukum-hukum adat itu bekerja, termasuk untuk melihat keberadaan ulayat, harus dilihat pada tingkat kesatuan masyarakat hukum adat.
Artinya, masyarakat tradisional tidak mewujudkan diri sebagai suatu entitas sosial yang memiliki otoritas yang dapat mengatur ketertiban hidup bersama sebagaimana halnya masyarakat hukum adat. Termasuk dalam mengatur penguasaan lahan.
Jika ada pengakuan wilayah adat pada konteks sebagai lingkaran hukum adat, salah-salah justru akan menimbulkan perebutan penguasaan oleh masing-masing masyarakat hukum adat yang ada di wilayah adat itu.

Pilihan yang tersedia
Terkait dengan tuntutan pengakuan hak masyarakat adat ini, baik dalam pengertian sebagai “kewenangan publik dan privat yang masyarakat adat miliki untuk menguasai, mengatur, mengurus, mengelola dan memanfaatkan wilayah adatnya,” maupun dalam pengertian sebagai hak atas tanah ataupun sumberdaya alam pada umumnya, telah tersedia berbagai instrumen hukum.
Dalam konteks “kewenangan publik dan privat yang masyarakat adat miliki untuk menguasai, mengatur, mengurus, mengelola dan memanfaatkan wilayah adatnya” telah tersedia peluang masyarakat hukum adat yang eksis pada suatu wilayah adat cq. ulayat untuk menjadi unit pemerintahan yang disebut sebagai desa adat. Sebagaimana diatur dalam UU Desa 6/2014.
Masalahnya, lebih dari 10 tahun Undang-undang ini berjalan, penetapan desa adat sangat minim. Pada masa pemerintahan sebelumnya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi pernah mempersiapkan penetapan 105 desa adat di 13 provinsi. Hanya 14 kampung adat di Jayapura saja yang akhirnya ditetapkan.
Penetapan desa adat di beberapa kabupaten di Riau, misal, mangkrak karena tak sesuai aturan penetapan desa adat yang ada. Rintisan oleh masyarakat sipil di Kalimantan Tengah terhenti karena harus menunggu penetapan RUU Masyarakat Adat.
Pengakuan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumberdaya alam pun telah tersedia melalui jalur pendaftaran tanah adat/tanah ulayat, penetapan hutan adat, penetapan wilayah kearifan tradisional, dan penetapan zona pemanfaatan tradisional di kawasan konservasi, misal.
Namun, lagi-lagi, capaiannya juga sangat minim. Hingga tahun 2024, lalu Kementerian ATR/BPN (2024) baru bisa menerbitkan 41 sertifikat hak pengelolaan (HPL) untuk masyarakat hukum adat di 16 provinsi seluas 971,93 hektar dan 24 bidang tanah ulayat seluas 162,225 hektar sedang proses.
Hingga Juli 2025, penetapan hutan adat yang menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan, baru 160 unit dengan luas sekitar 333.687 hektar. Itupun ada yang terjebak dalam fenomena swa-eksklusi karena sebenarnya berada di kawasan non kehutanan (Zakaria, 2020).
Di pihak lain, hingga pertengahan Agustus 2025, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), inisiatif masyarakat sipil, telah mendaftar 33,6 juta hektar wilayah adat (sight!) yang dikuasai 1.633 komunitas adat. Ia tersebar di 32 provinsi dan 180 kabupaten/kota.
Sekitar 20% dari yang terdaftar di BRWA itu telah diakui secara hukum melalui peraturan daerah atau keputusan kepala daerah. Masalahnya, pengakuan ini tidak terkait langsung dengan sistem pengadministrasian tanah adat/tanah ulayat, desa adat, maupun hutan adat, karena berada di bawah tajuk pengakuan wilayah adat yang bermasalah dalam pendefenisiannya.
Biang kerok lambannya pengakuan hak masyarakat adat terkendala karena harus didahului oleh proses pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subyek hak. Pasca pemberlakuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 jo Undang-undang Nomor 3/2023 tentang Cipta Kerja, pengakuan keberadaan subyek itu harus melalui peraturan daerah.

Alternatif ke depan?
Dari sudut kejelasan substansi, baik jika berhadapan pada kebijakan, termasuk, rumusan subyek dan obyek hak dalam konstitusi, wacana akademik yang lazim berlaku, dan realitas sosio-antropologis empiris di tingkat lapangan, RUU Masyarakat Adat versi Koalisi sepertinya akan menghadapi sejumlah tantangan tidak mudah.
Karena itu, suatu keniscayaan memikirkan ulang rumusan-rumusan terkait, terutama tentang dua elemen utama, yakni, siapa masyarakat adat dan apa wilayah adat itu.
Terkait definisi masyarakat adat, tulisan ini menawarkan defenisi alternatif yang kelak dapat menjadi patokan dalam menemukan kesamaan dan perbedaan pengakuan berbagai jenis hak masyarakat adat, baik sebagai masyarakat hukum adat maupun masyarakat tradisional, itu sendiri. Yakni, “ masyarakat adat adalah sekelompok orang perseorangan yang hidup secara turun temurun di wilayah geografis tertentu dan diikat oleh identitas budaya, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum, baik yang diatur melalui suatu lembaga adat yang memiliki otoritas untuk mengatur warganya maupun tidak, sebagaimana yang dimaksud dalam UUD 1945.”
Dengan menetapkan terma masyarakat adat menjadi nomenklatur yang akan menaungi “nama fungsi” masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional, maka pengaturan persamaan dan perbedaan kedua entitas sosial ini dalam berbagai jenis hak masyarakat adat akan dapat menjadi lebih jelas dan lugas.
Betapapun, pembedaan karakteristik masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisonal itu tetap perlu karena dari perspektif yuridis formal kedua istilah itu memiliki implikasi pengakuan hak-hak, apakah itu hak-hak sipil dan politik, maupun hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya, yang memang tidak sama.
Jika demikian adanya, maka, alih-alih menjadikan RUU Masyarakat Adat ini berorientasi pada pengakuan subyek hak, lebih baik RUU itu berorientasi pada pengadministrasian pengakuan obyek hak masyarakat adat yang diampu oleh subyek hak yang sangat beragam itu.

*Penulis: Yando Zakaria. Antropolog, fellow pada Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KASRA) dan usat Kajian Etnografi Komunitas Adat (PUSTAKA), Yogyakarta. Tulisan ini merupakan opini penulis.
*****