- Larangan izin tambang di pulau-pulau kecil di Indonesia hanya sebatas regulasi. Harusnya pencabutan izin tambang tak berhenti pada empat perusahaan di Raja Ampat, tapi seluruh izin di 34 pulau kecil lainnya.
- Ada 218 izin usaha pertambangan yang tersebar di 34 pulau kecil di Indonesia. Mulai dari Sulawesi, Papua hingga Sumatera, yakni di Pulau Kabaena, Gebe, Sangihe, Bintan dan Gag.
- Kehadiran tambang belum terbukti memberikan kesejahteraan bagi warga. Dampak tambang tak hanya kerusakan lingkungan, mereka harus kehilangan ruang hidup, sumber pangan, hingga konflik sosial antar saudara.
Pencabutan empat izin tambang di kawasan Raja Ampat bukan jadi cerita akhir dari tambang di pulau-pulau kecil. Ada 218 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang masih tersebar di 34 pulau kecil Indonesia. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, aktivitas tambang tidak diperbolehkan di pulau-pulau kecil, yang luasnya kurang dari 2.000 km persegi.
Tagar Save Raja Ampat menggaung dalam satu bulan terakhir. Masyarakat mendesak pemerintah untuk mencabut izin dan bertanggung jawab atas kerusakan lahan yang diakibatkan dari tambang nikel. Mereka khawatir keindahan dan kekayaan alam yang ada akan hilang.
Selain Raja Ampat, keindahan pulau-pulau kecil di Indonesia banyak yang sudah hilang karena eksploitasi tambang. Mulai dari abrasi, sedimentasi, deforestasi, pencemaran air, hilangnya sumber mata air.
Tak hanya dampak lingkungan, tapi masyarakat juga terdampak ekonomi dan sosial. Bahkan penolakan warga yang terancam akan lingkungan dan ruang hidupnya pun berujung pada kriminalisasi. Lantas, seperti apa kondisi pulau-pulau kecil tersebut dan masyarakatnya saat ini? Berikut cerita lima dari 34 pulau kecil yang terdampak dari aktivitas tambang:
1. Pulau Kabaena

Tambang nikel tak hanya ada di Raja Ampat. Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara menjadi salah satu korban dari kekejaman tambang nikel terhadap lingkungan. Menurut catatan Jaringan Anti Tambang (JATAM), ada 15 IUP yang aktif di pulau Kabaena. Pencemaran air, sedimentasi, dan sejumlah masalah lainnya jadi dampak aktivitas tambang yang harus ditanggung masyarakat.
Pesisir laut dan sungai pulau Kabaena telah berubah warna menjadi coklat. Limbah tambang masuk ke laut melalui sungai, mengendap dan menjadi sedimen setinggi lutut. Penelitian Satya Bumi menyebutkan sedimen itu mengandung logam berat dengan kadar ribuan kali lipat dari batas seharusnya. Selain perairan, kesehatan masyarakat turut menurun akibat polusi tambang.
Suku Bajo, warga asli dari pulau Kabaena juga harus menerima dampaknya. Ruang hidup mereka telah dirampas. Tangkapan ikan mereka menurun dan budidaya rumput laut tercemar oleh lumpur nikel. Mereka takut makanan yang akan dikonsumsi justru mengancam kesehatan. Bahkan hingga terdapat korban jiwa akibat frekuensi banjir yang meningkat sejak kehadiran tambang.
Sayangnya, pemerintah nampak abai dengan penderitaan suku Bajo di Kabaena. Mereka membiarkan tambang nikel beroperasi dan mengeksploitasi Kabaena selama dua dekade.
Baca juga: Aquaman Indonesia Terancam Nikel
2. Pulau Gebe

Pulau Gebe yang hanya seluas 224 km persegi harus digempur oleh aktivitas tambang nikel. Pembabatan hutan untuk aktivitas tambang telah memakan 62,61 hektar dalam kurun waktu 2022 – 2023. Pengerukan nikel oleh tambang menyebabkan pohon sagu tak dapat dimanfaatkan kembali. Padahal sagu merupakan penopang ekonomi sekaligus santapan wajib untuk ritual adat.
Nelayan dan petani di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara, terancam oleh tambang nikel. Pencemaran terhadap pesisir sudah merubah air laut yang semula biru jernih menjadi kecoklatan. Cuaca yang tak tentu sejak kehadiran tambang dapat mengancam nyawa nelayan saat berlayar. Tak hanya itu, akibat laut tercemar para nelayan juga harus melaut lebih jauh dari sebelumnya.
3. Kepulauan Sangihe

Pulau Sangihe, Sulawesi Utara saat ini sedang dalam genggaman tambang. Setidaknya terdapat 3 IUP aktif di Pulau Sangihe, salah satunya untuk penambangan emas. Putusan dari Mahkamah Agung (MA) menyebutkan Kementerian Energi Sumber Daya Manusia (KESDM) resmi mencabut izin produksi PT Tambang Mas Sangihe (TMS) karena dikhawatirkan merusak ekosistem.
Bukannya berhenti, hingga kini mereka beroperasi dengan menjalin kemitraan dengan PT Arsari Tambang, milik adik Presiden Prabowo Subianto. Dampaknya, hutan mangrove rusak, ikan-ikan terkena racun yang merusak sumber kehidupan bagi warga lokal.
Tak hanya itu, konsesi TMS yang berada di hutan lindung Gunung Sahendaruman juga telah merusak habitat spesies burung endemik langka. Masyarakat terus berupaya menolak tambang melalui Koalisi Save Sangihe Island (SSI), aksinya pun juga terjadi hingga ke Jakarta.
Baca juga: Burung Pitta di Pulau Sangihe yang Kian Terancam
4. Pulau Gag

Pulau Gag merupakan salah satu pulau yang terletak di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Berbeda dengan pulau kecil Raja Ampat lain yang izin penambangannya dicabut, tambang di Pulau Gag masih aktif saat ini. Luas konsesi milik PT Gag Nikel tersebut, bahkan dua kali lipat dibanding luas daratan pulau.
PT GN bagai pemilik pulau tersebut, mengabaikan masyarakat adat yang tinggal. Sebelumnya, masyarakat adat Pulau Gag dapat hidup berdampingan dengan alam, tak pernah kekurangan. Realita itu diabaikan tambang. Suara mereka dalam pengambilan keputusan terkait tambang tidak dilibatkan. Kini, lingkungan dan ruang hidup masyarakat adat harus rusak.
5. Pulau Bintan

Sejak 1970-an, ekspor pasir laut dari Pulau Bintan terus terjadi. Meski sempat berhenti pada pada 2003 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri karena merusak lingkungan. Namun, sejak dua tahun lalu, melalui PP No.26/2023 oleh Presiden Joko Widodo keran ekspor tambang pasir laut itu dibuka kembali.
Tambang pasir laut menjadi mimpi buruk bagi nelayan. Masyarakat pesisir, terutama nelayan terancam kehilangan mata pencaharian. Penambangan pasir laut merusak habitat dan beresiko menurunkan hasil tangkapan ikan. Berdasarkan studi, secara umum dampak penambangan menurunkan pendapatan nelayan sebesar Rp 990 miliar dan lapangan pekerjaan berkurang 36.400 orang.
Tak hanya tambang, masyarakat pun terancam dengan adanya rencana pembangunan Kawasan Industri Galang Batang di pesisir pulau Bintan. Proyek Strategis Nasional ini menuai protes dari nelayan dan para pelaku wisata. Mereka takut proyek ini dapat ‘membunuh’ lingkungan dan keindahan Pulau Bintan.
*Bernardino Realino Arya Bagaskara, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Rio aktif sebagai jurnalis di pers mahasiswa Teras Pers. Dia memiliki minat pada isu sosial kemasyarakatan, termasuk lingkungan.