- Rencana pembangunan Kawasan Industri Galang Batang di pesisir Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau (Kepri) menuai protes. Mereka waswas berdampak secara ekologis, proyek dengan status Proyek Strategis Nasional (PSN) ini tanpa persetujuan berarti dari masyarakat sekitar.
- Muhammad Zen, nelayan Bintan khawatir proyek tersebut akan ‘membunuh’ nelayan pelan-pelan. Pasalnya, proyek garapan PT Galang Batang Kawasan Ekonomi Khusus (GBKEK) itu tak hanya mengubah bentang pesisir pulau, tetapi juga ancam sumber penghidupan para nelayan seperti dirinya.
- Selain nelayan, protes juga datang dari para pelaku wisata. Pasalnya, lokasi PSN mencakup spot-spot pariwisata yang ada di Bintan. Karena itu, para pelaku pariwisata pun meminta agar rencana PSN tersebut dikaji ulang.
- Perairan Bintan kaya akan keanekaragaman hayati. Hasil ekspedisi oleh pelaku wisata menemukan 3.768 ikan dari 10 suku dan 41 kelompok. Termasuk ikan nemo dan ikan-ikan karang lainnya serta penyu sisik dan juga beberapa spesies yang terancam punah lainnya. Riset oleh Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) valuasi jasa ekosistem Pulau Poto mencapai Rp753 triliun (sekitar US$45 miliar).
Rencana pembangunan Kawasan Industri Galang Batang di pesisir Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau (Kepri) menuai protes. Mereka waswas berdampak secara ekologis, proyek dengan status Proyek Strategis Nasional (PSN) ini tanpa persetujuan berarti dari masyarakat sekitar.
Protes antara lain datang dari para pelaku wisata. Mereka khawatir proyek akan berdampak terhadap sektor pariwisata di sana. Terlebih, beberapa spot wisata di lokasi masuk dalam peta PSN.
Proyek seluas 1.400 hektar itu mencakup pengembangan kawasan industri Toapaya, Pulau Poto dan Kampung Masiran. Sebelum PSN ini mencuat, kawasan ini sudah beroperasi pabrik pengolahan bauksit menjadi alumina dibawah PT Bintan Alumina Indonesia (BAI) sejak 2019.
Sebelumnya, kawasan ini Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Presiden Prabowo Subianto, kemudian tetapkan sebagai satu dari 77 daftar PSN dan terklasifikasi dalam dua kluster. Yakni, Pengembangan KEK Galang Batang dan Pengembangan kawasan industri Toapaya, Pulau Poto dan Kampung Masiran.
Masyarakat takut, proyek garapan PT Galang Batang Kawasan Ekonomi Khusus (GBKEK) itu tak hanya mengubah bentang pesisir pulau, juga ancam sumber penghidupan para nelayan.
“Kami menolak tidak mungkin, tetapi paling tidak ke depan pedulikan kami, kalau bisa saling menjaga, jangan sampai laut kami rusak, karena itu tempat kami mencari makan,” kata Muhammad Zen, nelayan Bintan. Ada sekitar 130 keluarga yang sehari-hari jadi nelayan bakal terdampak proyek ini.

Nasib nelayan
Jauh sebelum ada PSN ini saja, Zen sudah merasakan kerusakan di pesisir Kampung Tenggel, sebutan lain Kampung Tua di Pulau Poto. Terutama, sejak perusahaan pengolah alumunium PT Bintan Alumina Indonesia (BAI) beroperasi pada 2019.
Meski lokasi perusahaan berjarak sekitar tiga kilometer, dampak para nelayan Kampung Tenggel rasakan.
“Air laut kita menjadi lebih keruh, makin sulit menangkap ikan. Dampaknya, hasil tangkapan menurun,” kata Andi, juga nelayan.
Dia bilang, sebelum perusahaan beroperasi, nelayan biasa mendapat tangkapan tiga kilogram sekali melaut. Kini, untuk mendapat tangkapan satu kilogram saja sulit.
Zen bilang, hampir seluruh warga Kampung Tenggel adalah nelayan. Ada yang menangkap sunu, ikan kerapu, ikan kaci dan lainnya. Ada juga nelayan bubu selam dengan armada penangkapan di bawah 5 gross tonnage (GT).
Rencana pengembangan kawasan industri di Pulau Poto sejatinya bukan kabar baru. Warga sudah mengetahui rencana tersebut sejak awal tahun 2023. Kala itu, perusahaan sempat menemui warga dan memperlihatkan peta rencana tersebut. Warga pun menolaknya.
Setelah dua tahun nyaris tak terdengar kabarnya, polemik itu kembali mencuat menyusul beredarnya peta lokasi proyek di berbagai media. Dari peta yang beredar, salah satu lokasi terdampak adalah Kampung Tenggel, tempat Zen dan ratusan nelayan lainnya tinggal.
Andi sebut rencana kawasan industri itu sangat merugikan. Tak hanya bagi nelayan, tetapi para pemilik lahan lain. Bahkan, ada sekitar 140 hektar kebun warga terdampak proyek ini.
Warga telah melaporkan kasus penyerobotan lahan itu ke aparat penegak hukum (APH). Namun, sampai kini tidak ada tindakan berarti.
Mongabay mencoba mengkonfirmasi persoalan ini kepada Pimpinan GBKEK maupun BAI, Santoni melalui aplikasi percakapan dan juga telepon. Namun, hingga berita ini terbit tak juga ada respon.

Dari kejauhan pulau ini terlihat seperti pulau biasa. Batu-batu berwarna putih menghiasi sekeliling pulau dengan debur ombaknya yang terlihat jernih. Pulau ini terlihat begitu rindang dengan pepohonan yang menyelimuti daratannya. Panoramanya nan menawan menjadikan pulau ini sebagai salah satu destinasi wisata di Bintan.
Rencana pembangunan kawasan industri ini memantik protes pelaku wisata. Agung Prasetio kesal pelaksana proyek menyebut pulau dengan luas 1.408 hektar sebagai pulau kosong tak berpenghuni. “Mereka menyebut ini pulau ‘tempat jin buang anak’,” katanya.
Perairan Pulau Poto tidak hanya tempat nelayan mencari ikan. Ekosistem pesisir yang terjaga dengan baik juga banyak para pelaku wisata buka resort untuk melayani para pelancong. “Banyak wisatawan yang datang untuk main snorkeling, menikmati pemandangan bawah laut.”
Amandine Vuylsteke, ahli biologi kelautan asal Swedia menyebut, kondisi terumbu karang dan padang lamun di Poto yang terjaga dengan baik tak lepas dari peran warga dan pelaku wisata merestorasi ekosistem disana. Dia khawatir proyek kawasan industri akan berdampak buruk terhadap pelestarian terumbu karang dan padang lamun ke depan.

Serobot lahan warga
Lahan-lahan masyarakat juga masuk dalam peta PSN, tak terkecuali milik pelaku pariwisata. Hasil tumpang susun antara peta proyek dengan data lahan, lokasi proyek berada di lahan Doni Pasir Bana, Tan Topo, dan lahan PT Mempadi Manggala Jaya (MMJ).
Agung Prasetio juga kuasa dari MMJ menyatakan, perusahaannya kelola 34 hektar lahan di Pulau Poto. Dari luas itu, 28,5 hektar bersertifikat hak guna bangunan (HGB) untuk pariwisata. Dia baru mengetahui lahan mereka masuk dalam rencana PSN dari pemberitaan media.
“Saat itu, muncul site plan yang menunjukkan lokasi kami termasuk dalam kawasan yang dipetakan. Setelah kami konfirmasi, ternyata benar lokasi kami diplot oleh GBKEK,” katanya saat ditemui di Bintan, Senin (28/4/25).
Tak lama, Agung mengetahui bahwa proyek ini sudah jadi PSN berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12/2025 tentang RPJMN 2025–2029. Hingga kini, belum ada komunikasi resmi dari pihak pengelola kepada pemilik lahan terdampak.
“Tidak ada pendekatan atau pertemuan langsung kepada kami, selain undangan audiensi dari Kementerian Lingkungan Hidup beberapa waktu lalu.”
Audiensi yang dia maksud pada 17 April 2025. Di forum itu, para pelaku pariwisata menyampaikan keberatan atas ketidakterlibatan mereka dalam proses amdal. Lebih dari itu, mereka mempertanyakan status legalitas penguasaan lahan oleh GBKEK.
“Bagaimana mungkin sudah ada pembahasan amdal, padahal izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitar belum sepenuhnya dipenuhi? Syarat clean and clear atas lahan adalah hal mendasar yang belum mereka miliki,” kata Agung.
Dia juga mengutip pernyataan yang muncul dalam pertemuan itu dari Senior Advisor GBKEK, Robert Sianipar, yang dia nilai menyudutkan pemilik lahan.
“Menurut mereka, pemilik lahan di Pasir Bana terlalu jual mahal, padahal kami tidak pernah menyebut harga. Lokasi itu sejak awal dirancang untuk usaha pariwisata.”
Doni, pemilik lahan di Pasir Bana, menyatakan keberatan. Pantai bersertifikat yang dia miliki tiba-tiba masuk dalam peta pemanfaatan ruang laut (PKKPRL) GBKEK tanpa sepengetahuannya.
Forum Pelaku Pariwisata Pantai Timur Bintan meyakini, jika proyek industri berat seperti kilang minyak, petrokimia, dan pelabuhan tetap dijalankan di Pulau Poto, maka ekosistem alam yang telah lama menopang sektor pariwisata disana akan runtuh.
“Kami sudah lebih dulu hadir dan mengembangkan usaha pariwisata di wilayah ini. Kami berharap rencana industri yang bertolak belakang dengan semangat pariwisata dapat ditinjau ulang,” tegas Agung.
Nyanyang Haris Pattimura, Wakil Gubernur Kepri merespon polemik PSN Galang Batang ini. Nyanyang sudah melakukan pemeriksaan awal memang di Pulau Poto terdapat 450 spesies bawah laut, dengan komposisi yang masih bagus 60%.
Dalam waktu dekat, dia akan diskusi bersama dengan tokoh masyarakat, pemuda, untuk mencari solusi agar investasi di sana tidak mengganggu ekosistem yang ada. Dia berharap investasi tidak mengganggu keseimbangan ekosistem. “Kita masih dalam penjajakan masalah tersebut. Kita akan melakukan evaluasi (PSN) bersama-sama,” katanya.
*****