- Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), menyebut kasus penambangan Pulau Gag sebagai bagian dari sejarah panjang eksploitasi di pulau-pulau kecil Indonesia yang melibatkan korupsi kebijakan sistemik di berbagai rezim.
- Dalam satu penelitian ilmiah melibatkan sejumlah akademisi dan pihak PT Gag Nikel yang dipublikasikan tahun 2024; mengidentifikasi kerusakan ekologis yang signifikan, seperti erosi tanah, sedimentasi, dan polusi air laut, yang mengancam terumbu karang dan mata pencarian nelayan akibat aktivitas pertambangan PT Gag Nikel.
- Pakar Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Syaifudin Yusuf, memperingatkan bahwa metode penambangan terbuka di Raja Ampat akan terus menyebabkan aliran lumpur ke laut, membunuh biota laut yang tidak dapat berpindah dan mengancam keberlanjutan konservasi laut global, terutama dengan adanya tiga proyek strategis nasional ekstraktif nikel di jantung Segitiga Karang Dunia yang berpusat di Laut Timur Indonesia.
- Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengungkap laporan dari berbagai nelayan tradisional yang tinggal di wilayah pertambangan nikel menyatakan bahwa pasca masuk dan beroperasinya tambang nikel, wilayah mangrove, lamun, dan terumbu karang mereka dialihfungsikan menjadi dermaga atau pelabuhan untuk pengangkutan ore nikel keluar dari pulau kecil mereka
Langkah pemerintah tetap mengizinkan PT Gag Nikel (GN) beroperasi di Pulau Gag menunjukkan prioritas ketimbang agenda penyelamatan Raja Ampat dari industri ekstraktif. GN yang menambang di kawasan hutan lindung dan pulau kecil, mendapat dispensasi hukum untuk mengeksploitasi lingkungan di wilayah yang seharusnya dilindungi. Sikap pemerintah ini pun menimbulkan banyak pertanyaan.
Aktivitas tambang ini tidak hanya berisiko merusak ekosistem terumbu karang di Raja Ampat–merupakan jantung biodiversitas laut dunia–, juga mengancam keberlanjutan konservasi laut secara global. Para ahli dan aktivis menyerukan penghentian aktivitas tambang di pulau kecil serta perlindungan ekosistem Raja Ampat yang vital bagi kehidupan.
Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) atas arahan Presiden Prabowo, mengumumkan membolehkan GN tetap beroperasi di Raja Ampat dengan dalih memiliki rencana kerja dan anggaran biaya (RKB) 2025 dan beroperasi.
Empat IUP tambang nikel lain pemerintah cabut, PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa (RMP), dan PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) dengan mempertimbangkan pelanggaran lingkungan, lokasi IUP sebagian di kawasan Geopark dan aspirasi dari pemerintah daerah maupun tokoh masyarakat.
“Ke depan kita lagi mendorong hilirisasi kita dengan baik, hilirisasi yang betul-betul green yang bisa diterima produk kita di luar negeri,” kata Bahlil.
Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), menilai, kampanye Bahlil perihal energi terbarukan berwajah hilirisasi nikel sebenarnya hanya kamuflase dari metode penambangan yang sama.
“Yang ‘terbarukan’ adalah izinnya kan. Bukan energinya yang terbaru kan karena metodenya tetap saja nambang. Ini menunjukkan bahwa isu energi baru tidak menyelesaikan masalah utama,” katanya, 10 Juni lalu.

Pulau Gag
Jamil melihat, persoalan di Pulau Gag sebagai contoh dari masalah yang lebih besar dan sejarah panjang eksploitasi tambang di pulau-pulau kecil Indonesia. Fenomena itu melibatkan berbagai rezim pemerintahan dan praktik korupsi yang sistemik. “Yang dilakukan di Raja Ampat sebenarnya korupsi kebijakan.”
GN, tidak hanya menambang di hutan lindung, juga pulau kecil.
Responsible Mining Indonesia dalam laporannya berjudul Kinerja Tambang Indonesia menyebut profil GN, sebagai perusahaan tambang pemegang kontrak karya generasi VII yang ditandatangani Presiden Soeharto pada 19 Januari 1998. Awalnya, perusahaan ini gabungan antara BHP Billiton-Asia Pacific Nickel (75%), perusahaan tambang asal Australia, dan PT Aneka Tambang (Antam) 25%.
Pada 2008, BHP Billiton menarik diri dari proyek ini. Antam mengambil alih 100% saham Asia Pacific Nickel, menjadikan pemilik penuh GN, meskipun Asia Pacific Nickel tetap terdaftar di Australia. Nama Fahrur Rozi, merupakan pengurus PBNU tercatat sebagai salah satu komisaris perusahaan ini.
Mengutip laman resmi organisasi ini, NUonline, PBNU menjelaskan, bila masuknya Fahrur Rozi dalam jajaran komisaris GN bukan representasi organisasi, melainkan pribadi. PBNU pun menepis tudingan ada aliran dana ke organisasi ini.
“Itu tudingan yang sangat keji. Kebetulan yang jadi salah satu komisari itu warga NU. Jadi, tak ada kaitan sama sekali dengan PBNU,” kata Gudfan Arif, Bendahara Umum PBNU.
Dalam NU Online juga menyebut, mencuatnya tudingan PBNU menerima aliran dana dari GN bermula dari unggahan akun Tiktok @tanpadusta yang menyebut ada aliran dana dari Ananda Tohpati, anak mantan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) Siti Nurbaya.
Ananda disebut bertanggung jawab atas pengamanan dan pengawasan operasi lima perusahaan nikel di Raja Ampat dengan kompensasi Rp275 miliar perbulan (Rp3,3 triliun pertahun).
Konsesi GN mencakup wilayah Pulau Gag di Raja Ampat, Papua Barat Daya, seluas 13.136 hektar, terdiri atas daratan seluas 6.060 hektar dan perairan 7.076 hektar. Mengingat luas daratan Pulau Gag hanya 6.500 hektar, konsesi ini mencakup seluruh pulau beserta kawasan perairannya.
Perusahaan ini menjadi salah satu dari 13 perusahaan tambang dengan izin tambang terbuka di kawasan hutan lindung berdasarkan Keppres No. 41/2004. Dispensasi ini sebagai pengecualian atas larangan tambang terbuka dalam UU Kehutanan No. 41/ 1999, karena kontrak karya perusahaan berlaku sebelum Undang-undang disahkan.
Selain aktivitas hutan lindung, GN juga beroperasi di pulau kecil, yang bertentangan dengan UU No. 27/2007 Jo. UU No. 1/2014. Undang-undang melarang pertambangan di pulau kecil, pulau dengan luas kurang 200.000 hektar. Dengan luas Pulau Gag yang jauh di bawah itu, tambang GN memantik banjir kritik terkait keberlanjutan lingkungan dan perlindungan ekosistem kawasan pulau kecil.
“Kita juga bingung, ini negara gimana, apakah benar ini negara hukum atau bukan?” kata Jamil.
Sejak era Orde Baru, katanya, kontrak karya telah menjadi alat melanggengkan praktik pertambangan yang merugikan lingkungan dan masyarakat.
Dia menguraikan bagaimana berbagai rezim berkontribusi mendukung penambangan GN di Raja Ampat. Pada era Megawati yang dianggap pro-lingkungan, justru melemahkan Undang-undang Kehutanan melalui Keputusan Presiden Nomor 41/2004, memungkinkan penambangan terbuka di hutan lindung.
Era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjanjikan perubahan dengan mengakhiri kontrak karya, namun revisi Undang-undang Minerba 2009 justru memperpanjang masa berlaku kontrak karya.
“Cacat ideologisnya itu adalah ada salah satu pasal di dalam situ yang menyatakan bahwa kontrak karya itu masih tetap berlaku sampai kemudian izinnya berakhir,” kata Jamil.
Joko Widodo berkuasa 10 tahun memperparah situasi dengan memperpanjang kontrak karya secara otomatis, “Dua kali 10 tahun malah.”
Semua kondisi itu, katanya, hanya menguntungkan perusahaan tambang, merugikan masyarakat lokal. Jatam mendesak, evaluasi dan audit terhadap semua tambang di pulau kecil yang beroperasi sebelum Undang-undang 2007, dan penghentian penerbitan izin baru.

Ikon dunia rusak
Jurnal Analysis of the Social, Economic, and Ecological Impact of Mining Activities of PT. Gag Nickel on Society and Coral Reef Ecosystem in Gag Island, Raja Ampat District tahun 2024, para peneliti dari Politeknik Kelautan Kupang, Politeknik Kelautan dan Perikanan Sorong, dan berasal dari GN, mengumpulkan data melalui wawancara mendalam, observasi, dan kuesioner kepada karyawan GN dan masyarakat sekitar.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar penduduk bekerja sebagai karyawan perusahaan. Mereka beralih dari sektor tradisional seperti pertanian dan perikanan menjadi pekerja tambang.
Sebagian besar responden (64%) bekerja sebagai karyawan GN atau perusahaan terkait, dengan pendapatan bulanan sebagian besar di atas Rp3.500.000. Pengeluaran juga tinggi, sebanding dengan pendapatan, terutama untuk pembelian kendaraan bermotor, kebutuhan konsumsi rumah tangga, dan perumahan.
Sementara, aktivitas penambangan merusak ekosistem terumbu karang melalui erosi tanah, sedimentasi, dan polusi air laut. Kerusakan ini mengancam keberlanjutan terumbu karang dan mata pencaharian nelayan. Masyarakat menyadari dampak negatif ini, termasuk polusi udara dari debu tambang dan kerusakan terumbu karang akibat aktivitas kapal tongkang.
Meskipun GN telah melakukan beberapa upaya mitigasi seperti irigasi jalan dan penyediaan pengangkut sampah, dampak negatif terhadap lingkungan masih dirasakan. Namun, mitigasi itu belum maksimal dan berharap perusahaan lebih aktif berkomunikasi masyarakat.
“Raja ampat itu ikon dunia, memiliki biodiversitas yang sangat tinggi khusus untuk biota terumbu karang di seluruh dunia,” kata Syaifuddin Yusuf, pakar Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, yang sejak 2017 merestorasi karang di kawasan Raja Ampat Geopark.
Desember 2024, dia kembali meneliti biodiversitas terumbu karang Raja Ampat. Dia mengamati bahwa biodiversitas yang terancam; pemanasan global menyebabkan pemutihan, sementara terumbu karang di sekitar dermaga JETI perusahaan tambang yang ada telah terdampak lumpur, terutama selama musim hujan.
Yusuf merespon statement Bahlil yang menyatakan aktivitas penambangan GN yang berjarak 30 km lebih dari jantung karang Raja Ampat tidak membahayakan biodiversitas laut di sana.
Menurut dia, dampak sedimentasi tidak hanya terbatas pada jarak 30 km seperti yang Bahlil klaim. Arus laut dapat membawa sedimen dan mempengaruhi area yang jauh lebih luas, termasuk suplai larva bagi terumbu karang. “Secara ekologi, Pianemo menerima suplai larva dari berbagai tempat.”
Sekalipun perusahaan tambang yang beroperasi menerapkan sistem penjebak lumpur di pesisir, Yusuf belum yakin mekanisme itu berjalan efektif. Metode penambangan terbuka yang menggerus tanah tetap akan menyebabkan lumpur dan sedimen mengalir ke laut di musim hujan.

Menurut Yusuf, sedimentasi tambang mengancam biota terumbu karang, termasuk ikan karang, moluska, echinodermata seperti teripang dan bulu babi. Hewan-hewan yang dapat berpindah akan mencari habitat yang lebih aman. Namun hewan sesil seperti karang, yang tidak dapat berpindah, akan mati terdampak sedimentasi.
Kehilangan biota ini akan mengakibatkan hilangnya ekosistem terumbu karang di wilayah terdampak. Buntutnya, ekonomi lokal dan keanekaragaman hayati. Dampak ini tidak hanya dirasakan secara lokal tetapi juga mengancam keberlanjutan konservasi laut secara global.
Laut Timur Indonesia kini terkepung tiga kawasan proyek strategis nasional ekstraktif nikel; di Sulawesi, Pulau Obi, dan Raja Ampat, yang jika ditarik garis maya membentuk segitiga – yang merupakan jantung Segitiga Karang Dunia – yang sangat rentan terhadap gangguan kualitas air akibat penambangan.
“Ini merupakan ancaman serius terhadap Segitiga Karang Dunia, yang mencakup enam negara (Filipina, Indonesia, Brunei, Malaysia, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon), dengan Indonesia memegang lebih dari 50% terumbu karang di kawasan tersebut.”
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), mengatakan, apa yang terjadi di Raja Ampat adalah ironi. Sebagai negara kepulauan, pulau-pulau kecil yang seharusnya dilindungi, kini ditambang dengan dalih hilirisasi nikel.
“Dunia baru saja melewati Hari Laut Sedunia yang jatuh pada 8 Juni 2025 yang mengusung tema Keajaiban: Menopang Apa Yang Menopang Kita,” sementara di Raja Ampat sebagai pesona dan daya tarik keindahan dunia bawah laut Indonesia Timur, kini dalam ancaman industri nikel.”
Susan bilang, laporan dari berbagai nelayan tradisional yang tinggal di wilayah pertambangan nikel memperlihatkan setelah tambang nikel beroperasi, wilayah mangrove, lamun, dan terumbu karang beralih menjadi dermaga untuk pengangkutan ore nikel.
Dampak lain, semakin sulitnya nelayan tradisional untuk mengakses dan mendapatkan ikan sebagai sumber utama pendapatan mereka. Menteri ESDM yang memberikan izin usaha pertambangan.
“Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil bersama nelayan tradisional yang menderita karena kehancuran permanen akibat pertambangan nikel.”
*****
Cabut 4 Izin Tambang Nikel Raja Ampat dan Ancaman Hukum, Bagaimana Pulau Lain?