- Polisi menggunakan label “premanisme” dalam menetapkan 11 warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, sebagai tersangka karena menolak tambang nikel PT Position (Position) di wilayah adat mereka, 19 Mei lalu. Bagi polisi, aksi warga di Maluku Utara ini “meresahkan masyarakat dan investasi.” Sebaliknya, bagi warga tindakan mereka adalah perjuangan melindungi wilayah adat, bukan premanisme.
- Eko Cahyono, peneliti Sajogyo Institute menilai, penggunaan istilah “premanisme” oleh aparat kepolisian terhadap warga Maba Sangaji yang menolak aktivitas tambang nikel sebagai bentuk kekerasan simbolik negara terhadap rakyat.
- Andri Gunawan Wibisana, pakar hukum lingkungan Universitas Indonesia menekankan, pengadilan seharusnya menghentikan perkara terhadap warga penolak tambang. Ia merujuk pada Keputusan Jaksa Agung No.8/2022 dan Peraturan Mahkamah Agung No.1/2023, yang menjadi panduan dalam menangani kasus pembela lingkungan.
- Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menyatakan, penyalahgunaan sistem hukum pidana untuk mengkriminalisasi dan merepresi masyarakat saat ini mencapai level sangat mengkhawatirkan.
Polisi menggunakan label “premanisme” dalam menetapkan 11 warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, sebagai tersangka karena menolak tambang nikel PT Position (Position) di wilayah adat mereka, 19 Mei lalu. Bagi polisi, aksi warga di Maluku Utara ini “meresahkan masyarakat dan investasi.” Sebaliknya, bagi warga tindakan mereka adalah perjuangan melindungi wilayah adat, bukan premanisme.
“Itu tuduhan [premanisme] tara berdasar. Torang ini bukan preman. Torang kadara di hutan bukan mo serang perusahaan, tapi torang pertahankan tanah, hutan, dan wilayah adat. Disitu orang Maba samua pe sumber hidup deng identitas adat,” kata salah satu warga Maba Sangaji yang dibebaskan kepada Mongabay Mei lalu. Dia meminta namanya tidak disebutkan demi alasan keamanan.
Keberadaan warga di hutan untuk melakukan ritual adat, bukan penyerangan. Ada tetua yang mengenakan pakaian adat, sebagai bentuk protes atas kerusakan kebun, sungai, hingga hutan adat akibat aktivitas tambang. Tuduhan bahwa warga membawa senjata tajam–seperti anak panah–dinilai direkayasa aparat.
“Torang tara bawa itu [anak panah]. Barang-barang seperti parang memang tong bawa karena torang di hutan, buat potong kayu atau jaga diri dari binatang. Tapi saat aksi deng negosiasi saat polisi, datang samua ada di tenda. Masuk akal itu jadi barang bukti?” katanya.

Aliansi Masyarakat Adat Bergerak, gabungan organisasi mahasiswa dan masyarakat sipil di Maluku Utara mengumpulkan kesaksian warga dan menemukan bahwa penetapan tersangka dilakukan secara sewenang-wenang. Warga dipaksa menandatangani surat penahanan bersamaan dengan surat penangkapan.
Siaran pers Polda Maluku Utara menyatakan, dari 27 warga yang ditangkap, 11 jadi tersangka. ”Dari pendalaman, sebanyak 11 orang ditetapkan sebagai tersangka dan lainnya akan dikembalikan karena tidak cukup bukti,” ujar Komisaris Besar Bambang Suharyono, Kabid Humas Polda Malut.
Mereka terjerat Pasal 2 Ayat (1) UU Darurat Nomor 12/1951 tentang senjata tajam, Pasal 162 UU No.3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara karena menghalangi kegiatan tambang berizin. Juga kena jerat Pasal 368 Ayat (1) juncto Pasal 55 Ayat (1) Kitab UU Hukum Pidana atas dugaan memeras dan mengancam.
Melky Nahar, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mengecam keras kekerasan fisik maupun hukum terhadap masyarakat adat Maba Sangaji.
“Penangkapan paksa, intimidasi, kekerasan, hingga pelabelan “premanisme” terhadap warga yang mempertahankan tanah, hutan, dan wilayah adat sebagai bentuk brutalitas negara yang melanggar hak asasi manusia dan menghina martabat adat,” katanya akhir Mei lalu.
Dia menilai , pasal-pasal sebagai pasal karet dan alat kriminalisasi yang tidak dapat dibenarkan. Apalagi, tuduhan narkoba terhadap tiga warga disebut sepihak tanpa prosedur pemeriksaan yang transparan.
“Kami secara serius menilai tuduhan tersebut sebagai upaya pengalihan isu untuk membenarkan tindakan represif aparat penegak hukum terhadap warga yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya.”

Jatam mencatat, sejak awal operasi Position, masyarakat adat Maba Sangaji secara tegas menolak kehadiran perusahaan, karena beroperasi tanpa persetujuan warga, mencaplok hutan adat, mencemari sungai, dan menyebabkan kerusakan ekologis tidak terpulihkan.
Penolakan warga terhadap tambang nikel Position sudah berlangsung sejak akhir 2024. Perusahaan mulai beraktivitas hingga menyebabkan hutan, kebun, dan sungai Maba Sangaji rusak serta tercemar.
Position memperoleh izin usaha pertambangan (IUP) seluas 4.017 hektar berlaku dari 2017-3037. Sekitar 51% saham Position milik PT Tanito Harum Nickel (THN), 49% Nickel International Kapital Pte.,Ltd (NICAP) berbasis di Singapura.
THN merupakan perusahaan yang terafiliasi dengan PT Harum Energy Tbk dalam hubungan entitas anak tidak langsung. Perusahaan ini milik Kiki Barki yang tercatat sebagai orang terkaya ke-33 di Indonesia versi Forbes 2023.
Kini, 11 warga Maba Sangaji juga sah sebagai tersangka oleh PN Soasio, Tidore Kepulauan, setelah sidang putusan praperadilan, Senin 16 Juni 2025.
Dari lima perkara, tiga perkara proses penangkapan tidak sah, tetapi status tersangka sah. Satu perkara penangkapan dan penetapan tersangka sah. Satu perkara lain dengan tujuh warga ditolak seluruhnya dan tidak dapat diterima oleh hakim yang berpendapat berbeda.
Wetub Toatubun, mewakili Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai, para hakim ambigu karena berpendapat berbeda saat mengambil keputusan. Ada hakim yang menyebut tidak berwenang mengadili perkara, ada yang tidak mempersoalkan mengambil kewenangan.
“Mestinya, dari fakta-fakta hukum persidangan praperadilan, PN Soasio bisa mengambil keputusan untuk membatalkan seluruhnya status tersangka warga Maba Sangaji, dan tidak menerima satupun atau sebagian tuntutan dari polisi,” katanya kepada Mongabay pasca sidang.
Dari putusan praperadilan ini, kata Wetub, menandakan preseden buruk yang terus berulang kepada masyarakat adat yang mempertahankan tanah dan memperjuangkan lingkungan yang sehat.

Kekerasan simbolik negara
Eko Cahyono, peneliti Sajogyo Institute menilai penggunaan istilah “premanisme” oleh aparat kepolisian terhadap warga Maba Sangaji yang menolak aktivitas tambang nikel sebagai bentuk kekerasan simbolik negara terhadap rakyat.
“Baru kali ini narasi premanisme dipakai kepolisian terhadap warga yang mempertahankan tanahnya. Saya tidak melihat misalnya di kasus Maumere–padahal keras, sampai melibatkan senjata, tetapi narasi premanisme tidak dipakai,” katanya, kepada Mongabay.
Dia menduga, narasi ini sengaja dipilih karena tengah populer dan diasosiasikan dengan kasus Hercules. Masalahnya, pelabelan tersebut justru menyesatkan, kata Eko, karena warga yang disebut “preman” sejatinya sedang menjaga tanah ulayat mereka dari ekspansi tambang nikel.
“Menurut saya, penggunaan kata premanisme ini penipuan fakta sebenarnya. Karena kalau disebut preman, maka jaga pasar, jaga parkir, jaga aset-aset yang nggak jelas kepemilikannya pasti muncul–sementara yang dijaga masyarakat itu tanahnya sendiri. Itu penipuan dan pemutarbalikan fakta yang sangat serius,” kata Eko.
Narasi preman juga polisi pakai untuk menggiring opini publik, seolah-olah preman itu musuh masyarakat, sampah masyarakat, atau musuh negara.
Dengan begitu, katanya, bisa membenarkan tindakan aparat. Padahal label “premanisme” terhadap warga penolak tambang sekadar melegitimasi kekerasan terhadap masyarakat adat. Polisi menyeragamkan perjuangan hak atas tanah dan ruang hidup seperti premanisme.
Dia khawatir, narasi premanisme membuat kekerasan aparat boleh secara sosial, bahkan dianggap wajar. Masyarakat dianggap preman. Kalau persepsi publik sudah terbentuk, katanya, maka perjuangan agraria sama dengan kriminal dan masyarakat akan kehilangan legitimasi haknya.
“Mari kita balik logika ini. Kalau premanisme adalah tindakan menggunakan segala cara demi keuntungan, siapa yang lebih pantas disebut preman? Rakyat yang mempertahankan tanah, atau negara dan korporasi yang mencaplok tanah rakyat dengan izin negara?” tanyanya.

Eko berpendapat, pola kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang menolak tambang sebagai bentuk kelanjutan pendekatan keamanan yang diwariskan sejak Orde Baru. Reformasi, kata Eko, tak mengubah banyak. Pendekatan keamanan tetap dominan dalam penyelesaian konflik agraria.
Pasca lahirnya UU Cipta Kerja, katanya, ekspansi tambang dan proyek-proyek infrastruktur makin masif dan cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
Dia juga mengkritik kecenderungan negara melegalkan kebijakan yang merugikan rakyat hanya karena disebut ada dasar hukumnya.
“Itu yang saya sebut mistisisme hukum. Padahal, hukum seharusnya diuji, apakah adil atau tidak. Kalau tidak, harus ditarik kembali, dievaluasi perizinan perusahaan. Dari mana izin itu, izin yang diberikan benar apa nggak? karena akarnya disitu. Ketidakadilan struktural itu karena dimulai dari negara yang memberikan perizinan.”
Kriminalisasi terhadap Masyarakat Maba Sangaji juga bertentangan dengan prinsip negara hukum, keadilan sosial, dan perlindungan hak masyarakat adat sebagaimana Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 Lalu, UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Putusan MK No.32/2012, dan UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menyatakan, penyalahgunaan sistem hukum pidana untuk mengkriminalisasi dan merepresi masyarakat saat ini mencapai level sangat mengkhawatirkan.
Selama Januari-Mei 2025, Amnesty mencatat 40 dari 88 pembela HAM yang kena serang adalah masyarakat adat. Angka ini dia sebut melebihi jumlah masyarakat adat yang mendapat serangan selama 2024 yaitu 22 orang dari total 287 pembela HAM yang mengalami serangan di tahun itu.
“Jelas, negara gagal melindungi pembela HAM di Indonesia. Namun, jauh dari upaya negara untuk mengatasi dan mencegah serangan ini, aparat penegak hukum malah terus memilih pendekatan represif, bukan persuasif, termasuk stigmatisasi masyarakat adat sebagai ‘preman’,” kata Usman dari keterangan pers akhir Mei lalu.
Melky mengatakan, stigmatisasi hukum–pasal karet yang polisi gunakan–adalah alat sistematis negara untuk menghilangkan legitimasi perjuangan masyarakat adat.
Dia katakan, upaya mengubah narasi perlawanan menjadi tuduhan kriminal adalah cara licik untuk menghapus legitimasi perjuangan masyarakat adat.
“Menyebut mereka [warga] sebagai “preman” bukan hanya penghinaan terhadap identitas kolektif mereka, juga menutupi kenyataan mereka pemilik sah tanah dan hutan yang kini terjarah perusahaan tambang,” katanya.
Masyarakat adat, bukan pelaku kriminal, melainkan pelindung lingkungan dan warisan leluhur yang telah menjaga keseimbangan ekologi jauh sebelum negara dan industri hadir.
“Melabeli mereka sebagai preman adalah bagian dari strategi negara dan korporasi untuk mendelegitimasi perlawanan yang sah, justru berakar kuat pada hak-hak konstitusional dan moral.”
Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) juga mengecam keras penggunaan fasilitas perusahaan tambang oleh aparat keamanan negara–baik TNI maupun Polri–dalam upaya represif terhadap Masyarakat Adat Maba Sangaji.
Menurut Alam, tindakan itu tidak hanya mencederai prinsip netralitas institusi negara, juga memperlihatkan keberpihakan yang terang-terangan terhadap kepentingan korporasi tambang. Juga, mengabaikan hak-hak konstitusional warga negara untuk menyampaikan pendapat, mempertahankan ruang hidup, dan menjalankan praktik-praktik pengelolaan wilayah adat secara berkelanjutan.
“Penggunaan fasilitas perusahaan–seperti kendaraan, peralatan, hingga akomodasi–oleh aparat keamanan dalam operasi represif, merupakan bentuk kolusi antara korporasi dan negara yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi,” kata Syamsul, Mei lalu.
PPMAN mendesak, Komnas HAM dan Ombudsman mengusut tuntas keterlibatan aparat dalam konflik pertambangan ini, termasuk dugaan pelanggaran HAM dan penyalahgunaan wewenang terhadap masyarakat adat Maba Sangaji.
Sebagaimana tercantum dalam Standar Norma dan Pengaturan Nomor 7 tentang Hak Asasi Manusia atas Tanah dan Sumber Daya Alam Komnas HAM 2021, bahwa negara wajib menetapkan kebijakan untuk mengalokasikan wilayah selaras antar sektor sebagai penunjang kehidupan layak dan menjamin keseimbangan ekologis.
Negara, katanya, juga wajib melindungi keberlanjutan dan keadilan sosial ekologis masyarakat dengan cara moratorium izin-izin dan konsesi di wilayah-wilayah yang memiliki pelanggaran HAM tinggi.
Negara, katanya, wajib memastikan tidak ada keterlibatan aparat keamanan (polisi dan militer) dalam bisnis eksploitasi tambang, baik berizin maupun tidak. Juga dalam bisnis pengamanan baik secara langsung dengan dasar pengamanan objek vital–di luar tugas dan kewenangannya)–, termasuk pengamanan tidak langsung yang berpotensi melemahkan aspek pengawasan dan penegakan hukum terkait eksploitasi pertambangan,” catat Komnas HAM.

Bermasalah
Andri Gunawan Wibisana, pakar hukum lingkungan Universitas Indonesia, menilai penangkapan dan pelabelan “premanisme” terhadap sebelas warga adat Maba Sangaji adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan hak atas lingkungan hidup yang bersih.
Dia mengatakan, masyarakat adat kerap kali tidak memiliki pengakuan formal atas tanah dan hutannya. Namun, ketiadaan sertifikat atau dokumen legal format tidak serta merta menghilangkan hak mereka.
“Pengakuan itu tidak harus sertifikat, tidak harus perda atau SK kepala daerah, terpenting ada pengakuan historis, termasuk dari kesultanan, soal keberadaan masyarakat adat tersebut,” katanya kepada Mongabay.
Kriminalisasi masyarakat adat yang memperjuangkan hak atas lingkungan bukan semata soal hukum pidana, melainkan pertarungan nilai. “Ini bukan soal rebutan properti. Ini soal masyarakat mempertahankan hutan, lingkungan, dan budaya mereka. Itu bagian dari hak asasi manusia,” katanya.
Penggunaan pasal dalam UU Minerba, seperti Pasal 162, untuk menjerat warga penolak tambang, bermasalah dan telah beberapa kali ditolak oleh pengadilan.
Dalam dua kasus sebelumnya, seperti di Torobulu, Sulawesi Tenggara, pengadilan menolak pasal itu dan membebaskan warga. “Ini bisa dikategorikan sebagai SLAPP [strategic lawsuit against public participation], atau gugatan untuk membungkam dan menghukum warga yang menolak tambang,” katanya. Dia merujuk perlindungan hukum terhadap pembela lingkungan dalam Pasal 66 UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dia menekankan, perjuangan warga mempertahankan hutan merupakan bentuk pembelaan hak atas lingkungan konstitusi jamin. Hak ini, katanya, lebih tinggi kedudukanya dibanding hak menambang yang tidak diatur dalam konstitusi.
“Jangan narasi “premanisme” dijadikan alat untuk menstigma warga. Ini adalah perjuangan atas hak konstitusional,” kata Andri.
Dia menyebut, tindakan warga menghadang aktivitas tambang justru harus dibaca sebagai bentuk perlawanan terakhir setelah berbagai upaya damai tidak direspons, seperti pengiriman surat dan permintaan audiensi.
Andri juga menyoroti alat bukti aparat dalam penangkapan warga. Salah satunya, anak panah, yang menurut warga tidak pernah dibawa saat aksi.
“Kalau memang warga tidak pernah membawa, dan itu dijadikan bukti, ya itu harus dicurigai sebagai fabrikasi,” katanya.
Andri menekankan, pengadilan negeri atau kejaksaan seharusnya menghentikan perkara terhadap warga penolak tambang. Dia merujuk , pada Jaksa Agung No.8/2022 dan Peraturan Mahkamah Agung No.1/2023, yang menjadi panduan dalam menangani kasus pembela lingkungan.
“Semua unsur untuk penghentian perkara terpenuhi. Ini bukan aksi pertama, melainkan puncak dari rangkaian upaya damai yang diabaikan. Maka kejaksaan seharusnya tidak membawa ini ke pengadilan.”
Dia menilai, konflik antara warga dan perusahaan tambang menunjukkan kelemahan negara dalam mengakui dan melindungi hak masyarakat adat. Kalau analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) tidak ada, atau bermasalah, itu pelanggaran serius.
“Tapi jika Amdal ada dan warga tetap menolak, maka prosesnya patut dipertanyakan. Masyarakat adat terdampak tidak dilibatkan.”
Semestinya, kata Andri, pemerintah daerah paling aktif mengakui keberadaan masyarakat adat. “Pengakuan ini bisa melalui riset sejarah dan pengakuan turun temurun.”
Dia juga mengkritik pemerintah pusat yang terlalu agresif mendorong industri tambang tanpa memperhitungkan kerusakan jangka panjang.
*****