- Kecelakaan kerja terus berulang di kawasan industri nikel, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), di Morowali, Sulawesi Tengah. Insiden ini menambah panjang daftar tragedi yang menimpa para pekerja di pusat industri strategis nasional itu. Ironisnya, meski kecelakaan terus berulang, pemerintah terkesan diam.
- Berbagai organisasi masyarakat sipil dan lembaga advokasi buruh menilai, pemerintah pusat maupun daerah, terlalu lunak terhadap pelanggaran di kawasan industri itu. Alih-alih investigasi menyeluruh atau menindak tegas pelaku pelanggaran, tanggapan seringkali normatif tanpa tindakan nyata.
- SBIPE mencatat, sejak awal 2023-Mei 2025, sedikitnya 43 buruh meninggal dunia di kawasan IMIP karena berbagai insiden kerja, seperti ledakan tungku, kecelakaan listrik, kebakaran, kelelahan ekstrem, hingga tekanan target produksi yang tidak manusiawi.
- Richard F. Labiro, Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka, mengatakan, sepanjang usia IMIP, pemerintah tak serius menangani kasus kecelakaan sampai tuntas. Ironisnya, pemerintah justru memberikan penghargaan proper biru kepada IMIP dan 19 perusahaan tenan yang beroperasi di kawasan industri itu.
Kecelakaan kerja terus berulang di kawasan industri nikel, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), di Morowali, Sulawesi Tengah. Insiden ini menambah panjang daftar tragedi yang menimpa para pekerja di pusat industri strategis nasional itu. Ironisnya, meski kecelakaan terus berulang, pemerintah terkesan diam.
“Ini bukan kali pertama. Setiap kali ada kejadian, kami hanya diberi janji evaluasi. Kenyataannya, para buruh tetap menjadi korban,” kata Henry Foord Jebs, Ketua Serikat Buruh Industri, Pertambangan dan Energi (SBIPE) Morowali kepada Mongabay, Selasa (3/6/25).
Kecelakaan terbaru menewaskan setidaknya satu pekerja dan melukai beberapa orang karena tersengat listrik saat sedang mencuci truk akhir pekan lalu. Menurut informasi dari serikat buruh, sistem keselamatan kerja di kawasan industri itu sangat memprihatinkan. Pengawasan lemah dan prosedur keselamatan kerap terabaikan demi mengejar target produksi.
IMIP, digadang-gadang sebagai pusat pengolahan nikel untuk baterai kendaraan listrik, menarik investasi besar termasuk dari perusahaan Tiongkok. Keberadaan investasi asing ini dibayangi isu eksploitasi tenaga kerja, jam kerja panjang, upah rendah, dan kondisi kerja membahayakan.
“Pemerintah seolah menutup mata terhadap tragedi-tragedi ini. Padahal nyawa manusia yang jadi taruhannya,” kata Henry.
Berbagai organisasi masyarakat sipil dan lembaga advokasi buruh menilai, pemerintah pusat maupun daerah, terlalu lunak terhadap pelanggaran di kawasan industri itu. Alih-alih investigasi menyeluruh atau menindak tegas pelaku pelanggaran, tanggapan seringkali normatif tanpa tindakan nyata.
SBIPE mencatat, sejak awal 2023-Mei 2025, sedikitnya 43 buruh meninggal dunia di kawasan IMIP karena berbagai insiden kerja, seperti ledakan tungku, kecelakaan listrik, kebakaran, kelelahan ekstrem, hingga tekanan target produksi yang tidak manusiawi.
Sepanjang 2025, sudah ada delapan kasus kecelakaan kerja berdampak pada keselamatan dan kesehatan kerja (K3), dengan tujuh pekerja tewas. Tujuh orang yang meninggal dunia itu termasuk Yanser, operator dump truck, yang tersengat listrik 15 Mei 2025.
Rentetan kecelakaan kerja terus berulang di IMIP menjadikan industri nikel ini, seperti medan maut bagi pekerja yang bertaruh nasib disana. Sirine ambulance hampir setiap hari berbunyi mengangkut pekerja yang celaka akibat kerja. Nyawa seolah tak ada nilainya di mata manajemen IMIP.
Menurut Henry, angka kecelakaan kerja di IMIP tinggi karena orientasi perusahaan lebih ke produksi dan keuntungan. Sedang buruh terpaksa bekerja dengan jam kerja panjang, yang semakin memperburuk risiko kecelakaan.
Apa yang dikatakan Henry selaras dengan riset Rasamala Hijau Indonesia (RHI) dan Trend Asia dengan judul “Sengkarut Perburuhan Nikel di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP)” yang terbit pada September 2024. Roiset itu menyebut, kecelakaan kerja yang berulang di IMIP berakar pada sistem ketenagakerjaan yang tidak manusiawi.
Sistem itu ciptakan masalah seperti proses perekrutan yang tidak transparan, fleksibilitas mutasi buruh merugikan, dan beban kerja tinggi yang memaksa buruh mengambil lembur demi upah layak.
Riset itu juga menemukan, upah pokok buruh di IMIP berkisar Rp3.000.000–Rp3.100.000, masih di bawah upah minimum Kabupaten (UMK) Morowali Rp3.236.848. Biaya hidup di Morowali cukup tinggi, memaksa buruh menambah jam kerja.
Banyak buruh di IMIP terpaksa menggandakan jam kerja hingga 13 jam per hari demi memperoleh tambahan upah. Mereka pun jadi bisa menerima penghasilan bulanan Rp7.500.000-Rp8.000.000. Akibatnya, jam kerja panjang itu membatasi waktu buruh aktivitas lain termasuk istirahat.
Arko Tarigan, Juru Kampanye Energi Trend Asia menyatakan, kecelakaan kerja berulang di IMIP bukanlah sekadar “musibah”, melainkan bukti nyata dari kelalaian sistemik. Menurut dia, perusahaan-perusahaan di kawasan itu gagal memenuhi standar dasar perlindungan tenaga kerja.
Itu tercermin dari kecelakaan kerja terbaru 15 Mei 2025, yang menimpa Yanser di PT Baraq Cipta Karya. IMIP melemparkan tanggung jawab kepada tenan. IMIP, katanya, tidak menunjukkan keseriusan dalam penerapan sistem K3.
“Implementasi sistem (K3) di IMIP hingga kini masih belum menunjukkan perubahan berarti. Minimnya implementasi K3 berdampak pada meningkatnya potensi human error di tempat kerja. “Pada akhirnya, memicu berbagai insiden kecelakaan,” katanya kepada Mongabay, Rabu(4/6/25).
Kegagalan penerapan K3 tak hanya terjadi pada aspek teknis seperti pemeliharaan alat berat, instalasi listrik, dan pengelolaan bahan berbahaya, juga dalam pelatihan tenaga kerja.

Banyak pekerja lokal mengaku tidak pernah menerima pelatihan keselamatan secara rutin, padahal mereka di lingkungan berisiko tinggi.
Dalam penelitian dengan judul “Analisis Kelalaian Perusahaan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) terhadap Keselamatan Pekerja PT Indonesia Thingshan Stainless Stell (ITSS)” oleh Sur Fadila dan rekan-rekannya dari Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, sedikit memberikan penjelasan bagaimana kecelakaan kerja terus terjadi di IMIP karena K3 tidak berjalan baik.
Penelitian ini mengambil sampel dari kecelakaan kerja akibat ledakan smelter di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), IMIP, pada 24 Desember 2023. Peristiwa itu menewaskan 18 orang, terdiri dari 10 tenaga kerja Indonesia dan 8 tenaga kerja asing, serta melukai 33 pekerja lainnya.
Riset ini menemukan, para pekerja korban di peristiwa itu tidak menggunakan pakaian khusus atau alat pelindung diri (APD) sesuai standar saat bekerja. APD jauh dari standar keselamatan, dengan kualitas rendah, bahkan beberapa pekerja memakai APD berbahan denim/jeans yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan kerja.
Kondisi ini, makin buruk oleh kelalaian ITSS dalam penerapan K3. Ledakan tungku smelter juga menunjukkan ada kelonggaran pengawasan IMIP, yang seharusnya bertanggung jawab atas pengawasan kegiatan operasional di kawasan itu.
Adapun kelalaian dalam peristiwa ini tidak hanya terletak PT ITSS, juga IMIP yang gagal mengawasi penerapan standar K3 ITSS. Riset itu menyebut, kegagalan pengawasan itu menyebabkan sistem K3 tidak berjalan optimal.
Senada, Mohammad Taufik, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah. Penerapan sistem K3 di IMIP belum berjalan baik. Bahkan, katanya, K3 di IMIP sangat buruk, terbukti dari terus berulang kecelakaan kerja di area itu.
Opik, sapaan akrabnya, juga menyoroti penggunaan teknologi di kawasan IMIP yang menggunakan bahasa asing, terutama Tiongkok. Kondisi iru, menyulitkan buruh dalam memahami instruksi kerja jika tidak didampingi oleh juru bahasa.
“Penggunaan bahasa Tiongkok dalam setiap teknologi yang digunakan membuat buruh kesulitan memahami instruksi. Apalagi, dalam praktiknya mereka bekerja tanpa didampingi juru bahasa,” katanya.
Trend Asia juga menilai tingginya angka kecelakaan kerja di IMIP bukan semata-mata karena kesalahan pekerja, melainkan ketiadaan pengawasan dan audit yang semestinya pemerintah lakukan. Kurangnya keterlibatan negara dalam memastikan perlindungan buruh membuka ruang berbagai pelanggaran di tempat kerja.
Arko menjelaskan, kecelakaan kerja kerap karena berbagai faktor yang saling berkaitan. Salah satunya, kelalaian pekerja meskipun terlihat sebagai kesalahan individu, sejatinya terpicu jam kerja panjang dan melelahkan. Dalam kondisi kelelahan, risiko kecelakaan jauh lebih tinggi.
Selain itu, APD minim membuat buruh harus bekerja dalam kondisi praktik penggunaan alat atau mesin yang sudah tak layak pakai.
Penelitian Louisa Nobel Tan dan Rasji dari Universitas Tarumanagara Jakarta berjudul “Analisis Faktor Keselamatan dan Kesehatan Kerja Akibat Kecelakaan Kerja pada Pekerja Smelter” mengafirmasi apa Arko katakan. Penelitian itu menemukan, penyebab kecelakaan kerja pada pekerja smelter mencakup tiga aspek utama, manusia, lingkungan, dan sistem manajemen.
Dalam aspek manusia, kecelakaan kerja umumnya karena kurangnya pelatihan dan pemahaman terhadap prosedur keselamatan. Selain itu, kelelahan dan stres akibat jam kerja panjang dan tekanan tinggi juga berkontribusi, karena penurunan konsentrasi dan kewaspadaan, meningkatkan potensi kecelakaan.
Aspek lingkungan, katanya, seringkali melibatkan suhu ekstrem, bahan kimia berbahaya, dan penggunaan alat berat. Ketidakberesan dalam pengelolaan bahan berbahaya dapat menciptakan situasi berisiko tinggi yang menyebabkan cedera serius.
Selain itu, riset juga menyebutkan pencahayaan buruk dan ventilasi tidak memadai turut menciptakan lingkungan kerja tak aman di kawasan IMIP. Infrastruktur tidak terawat, seperti jalan akses rusak, ruang kerja sempit, serta peralatan berserakan juga jadi penyebab meningkatkan risiko kecelakaan.
Selanjutnya, aspek sistem manajemen juga berperan penting dalam kecelakaan kerja. Ketidakjelasan protokol keselamatan, dan kurangnya audit dan evaluasi rutin terhadap praktik keselamatan, menjadi penyebab hilangnya pengawasan terhadap potensi bahaya.

Pemerintah diam?
Kecelakaan kerja berulang, seakan lepas dari pantauan pemerintah. Dinas Ketenagakerjaan Sulawesi Tengah, Kementerian Ketenagakerjaan serta Kementerian Perindustrian seperti tidak bekerja untuk melakukan pengawasan, apalagi lakukan investigasi maupun memberikan sanksi.
Richard F. Labiro, Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka, mengatakan, sepanjang usia IMIP, pemerintah tak serius menangani kasus kecelakaan sampai tuntas. Ironisnya, pemerintah justru memberikan penghargaan proper biru kepada IMIP dan 19 perusahaan tenan yang beroperasi di kawasan industri itu.
IMIP adalah simbol agenda hilirisasi nikel Indonesia—proyek ambisius yang akan menjadikan Indonesia pusat produksi baterai kendaraan listrik dunia. Karena posisi strategis dan status proyek strategis nasional (PSN), kawasan ini mendapat perhatian dan prioritas khusus dari pemerintah pusat.
Pemerintah pusat maupun daerah tak berani memberikan sanksi kepada IMIP. Justru terus memberi ruang bagi IMIP untuk mengeksploitasi pekerja, tanpa moratorium produksi, tanpa audit publik, dan tak ada sanksi tegas.
“IMIP beserta tenant-nya tidak pernah memperbaiki sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Mereka membiarkan nyawa melayang setiap saat demi mengejar target kekayaan yang dinikmati segelintir orang,” kata Richard kepada Mongabay, Rabu (4/6/25).
Dia bilang, kondisi buruk K3 di IMIP mencerminkan kontradiksi fundamental sistem kapitalisme. Kebutuhan perusahaan memaksimalkan keuntungan tak sebanding dengan pemenuhan hak dasar buruh. Demi meraih keuntungan maksimal, katanya, IMIP menekan biaya perbaikan K3 dan mengorbankan standar keselamatan kerja.
“Singkatnya, keselamatan buruh menjadi hal sekunder dibandingkan kekayaan yang mereka raih.”
YTM menuntut pemerintah mengevaluasi buruknya SMK3 di IMIP, memperpendek jam kerja tanpa mengurangi upah buruh, serta menyusun regulasi yang berorientasi pada keadilan sosial dan perlindungan hak ketenagakerjaan.
Menurut Opik, untuk mengatasi persoalan kecelakaan kerja yang terus berulang, paling mendesak audit menyeluruh ke perusahaan-perusahaan smelter dalam IMIP. Audit ini, katanya, agar secara sistematis mengevaluasi efektivitas program K3 perusahaan.
Audit menyeluruh, katamya, perlu melibatkan serikat buruh, ahli, akademisi, serta jajaran pemerintahan terkait. Pendekatan kolaboratif penting agar proses audit berjalan transparan dan komprehensif.
Kalau ada pelanggaran, katanya, pemerintah harus memberikan sanksi tegas.
Opik juga meminta IMIP menghentikan sementara operasi produksi.
“Ketika capaian ekonomi menjadi prioritas tanpa memastikan standar K3 dijalankan, risiko kecelakaan kerja pun meningkat. Produktivitas tidak boleh dibayar dengan nyawa dan keselamatan pekerja.”
Arko juga meminta penghentian sementara produksi di IMIP untuk memberi ruang perbaikan sistem K3. Dia bilang, perlu tindakan tegas bagi pelaku usaha yang lalai dalam penerapan K3. Tanpa langkah itu, tidak ada bukti keseriusan pemerintah menangani persoalan K3 yang terus berulang hingga kini.
Penanganan kecelakaan kerja, katanya, tidak cukup hanya dengan pemberian santunan dari perusahaan.
Mongabay menghubungi Arnold Firdaus, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulawesi Tengah melalui pesan WhatsApp pada Selasa (3/6/25). Arnold minta Mongabay menanyakan masalah itu ke Benny, Kepala Seksi Pengawasan Kesehatan, Keselamatan, dan Lingkungan Kerja, UPT Pengawasan Ketenagakerjaan (Wasnaker) Wilayah II Sulawesi Tengah.
“Owh iyaa. Mohon maaf, bisa langsung ke Kepala UPT Wasnaker wilayah Morowali dan Morowali Utara, supaya lebih komprehensif dan detail penjelasannya,” katanya kepada Mongabay singkat, sembari memberikan nomor kontak Benny.
Mongabay menghubungi Benny dengan memberikan pertanyaan serupa. Benny sempat merespon dan meminta waktu kepada Mongabay menjawab semua pertanyaan Rabu siang (4/6/25). Setelah dihubungi kembali, Benny tak beri tanggapan hingga tulisan ini terbit.
Sebelumnya, Dedy Kurniawan, Media Relations Head IMIP mengatakan, bersama para tenant berusaha melaksanakan dan mematuhi manajemen K3 sesuai aturan yang berlaku.

*****
Pekerja Tewas di Kawasan Industri Nikel PT IMIP Terus Terjadi