- Petani kakao Indonesia menghadapi masalah serius seperti pohon yang sudah menua, serangan hama, serta penurunan kualitas tanah, yang menyebabkan hasil panen jauh dari potensi maksimal.
- Penelitian menunjukkan bahwa beralih dari sistem pertanian monoklonal ke multiklonal, dengan menggunakan berbagai jenis klon yang kompatibel, dapat meningkatkan produktivitas kakao hingga 50%.
- Program pelatihan yang diberikan kepada petani membantu mereka mengadopsi praktik pertanian yang lebih berkelanjutan. Petani yang dilatih kemudian membagikan pengetahuan mereka kepada komunitas lain.
- Keberhasilan masa depan industri kakao Indonesia bergantung pada kolaborasi antara petani, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya untuk menciptakan kebijakan dan lingkungan yang mendukung keberlanjutan.
Pagi baru saja merangkak di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, ketika langkah-langkah kecil mulai terdengar di antara barisan pohon kakao. Di sebuah lahan riset milik Mars Symbioscience Indonesia (MSI), para petani, peneliti, dan jurnalis berkumpul, mengamati pohon-pohon yang tumbuh rapi di bawah naungan langit yang bersih.
Tempat itu, Mars Cocoa Research Station (MCRS), bukanlah kebun biasa. Ia menjadi bagian dari upaya panjang mengembalikan kejayaan kakao Indonesia, yang dalam dua dekade terakhir semakin tertinggal dari negara-negara lain.
Sebagai salah satu penghasil kakao terbesar dunia, Indonesia menghadapi berbagai permasalahan yang mengancam produksi kakao. Pohon-pohon milik para petani, rata-rata sudah menua, serangan hama dan penyakit, hingga menurunnya kualitas tanah yang berdampak pada turunnya produktivitas.
“Petani kita banyak yang masih menggunakan pohon kakao yang sudah menua. Tidak heran kalau hasil panen mereka sangat rendah,” kata Agus Purwantara, Station Manager MCRS Pangkep, Rabu (23/4/25).

Masalah lain, adalah serangan hama seperti cocoa pod borer atau penggerek buah kakao dan black pod disease atau penyakit busuk yang sebabkan buah kako menghitam. Hama-hama ini menghancurkan buah kakao yang seharusnya menjadi harapan utama petani untuk mendapatkan penghasilan.
Ditambah lagi, katanya, dengan perubahan iklim yang mempengaruhi pola cuaca dan musim, hingga banyak petani terpaksa bergantung pada teknik pertanian yang sudah usang dan kurang efisien. Hasilnya, petani kako terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan ketidakpastian ekonomi.
MSI melalui fasilitas riset mereka di Pangkep dan Tarengge, Luwu Timur, berupaya mencari solusi atas persoalan itu. Lembaga ini tidak hanya fokus pada perbaikan teknis dan ilmiah juga pemberdayaan petani agar mereka dapat mengubah praktik pertanian mereka menjadi lebih modern dan berkelanjutan.
Melalui berbagai riset yang melibatkan pemuliaan tanaman, pengelolaan hama terpadu, serta perbaikan kualitas tanah, MSI berharap dapat menciptakan ekosistem kakao yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan di Indonesia.
Salah satu temuan utama dari riset ini adalah pentingnya beralih dari sistem pertanian monoklonal (menggunakan satu jenis klon kakao) ke sistem multiklonal (menggunakan berbagai jenis klon yang kompatibel). Penerapan monoklonal oleh para petani, terbukti tidak efektif karena klon-klon tersebut sulit melakukan penyerbukan secara mandiri. Akibatnya, hasil panen menjadi sangat rendah.
“Praktik multiklonal bertujuan mengoptimalkan hasil panen kakao dengan memastikan kompatibilitas genetik antar klon. Setidaknya tiga klon yang kompatibel dan maksimal 60% dari klon ini harus disebar secara merata serta ditanam berdekatan agar proses penyerbukan dapat terjadi secara optimal,” jelas Agus.
Hasil riset di Pangkep, penggunaan sistem multiklonal dapat meningkatkan produktivitas kakao hingga 50%. Ini adalah peningkatan signifikan, mengingat banyak petani di Indonesia hanya bisa mengharapkan sedikit dari pohon kakao mereka.

Berdayakan petani
Petani pun dapat pendidikan dan pelatihan. Melalui Mars Cocoa Academy dan Cocoa Development Centers di Luwu Raya, Sulawesi Selatan, mereka dapat pelatihan tentang praktik pertanian yang lebih baik dan lebih modern.
Petani yang sudah dapat pelatihan kemudian menjadi cocoa doctor atau agripreneur yang berbagi pengetahuan mereka kepada komunitas lain. Mereka tidak hanya membantu meningkatkan hasil panen, juga mengajarkan cara mengelola hama, meningkatkan kesehatan tanah, serta mengelola tanaman kakao secara lebih berkelanjutan.
“Saat ini ada sekitar 300 cocoa doctor. Mereka yang sudah mendapatkan pelatihan ini bisa menjangkau 100-200 petani lainnya di desa mereka. Ini upaya berkelanjutan untuk membantu memperbaiki sektor pertanian kakao di Indonesia,” kata Jeffrey Haribowo, Indonesia Corporate Affairs Director Mars.
Untuk mencapai keberlanjutan perkebunan kakao, kata Jeffrey, perlu kolaborasi antara semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah. Masa depan Indonesia, katanya, tidak hanya bergantung pada riset atau inovasi teknologi, juga penciptaan lingkungan yang mendukung bagi petani.
Pemerintah, berperan besar dalam menyediakan kebijakan yang mendukung industri kakao secara keseluruhan. “Dengan membangun pemahaman bersama tentang tantangan dan peluang di industri kakao, serta menciptakan lingkungan pendukung yang memadai bagi petani, kita dapat memperkuat sektor kakao di Indonesia,.”
*****