Dengan memakai dalih demi menguatkan ‘ketahanan pangan’ dari ancaman krisis pangan, Pemerintah Indonesia menggeber proyek pengembangan pangan skala besar food estate. Pemerintahan Presiden Joko Widodo memulai dengan menetapkan beberapa daerah sasaran antara lain Kalimantan Tengah, Sumatera Utara dan Papua. Ketika pandemi COVID 19 melanda, makin memperkuat alasan pemerintah merealisasikan proyek itu. Mulai proses di Kalimantan Tengah di area gambut eks pengembangan lahan gambut (PLG), proyek pembukaan lahan gambut satu juta hektar untuk pangan yang gagal era Presiden Soeharto. Berbagai kalangan mengkritik rencana yang berisiko itu, dari rentan ciptakan masalah lingkungan sampai ancam kehidupan masyarakat adat, lokal dan petani yang hidup di sana. Alhasil, proyek gagal lagi. Lahan-lahan gambut yang sudah terbuka terbengkalai, ada yang jadi semak belukar, ada yang jadi kebun sawit dan lain-lain. Buka lagi di Sumatera Utara, menuai banyak masalah di lapangan alias tak sukses juga. Bukan setop atau mengevaluasi proyek pangan ini, pemerintah malah buka mega proyek food eatate yang berlabel proyek strategis nasional ini di Merauke, Papua. Era Pemerintahan Prabowo Subianto pun terus melanjutkan dan memperkuat proyek ini. Hutan yang menjadi ruang hidup dan sumber segala bagi masyarakat adat di Papua ini mulai berubah bentuk. Bentang alam yang berisiko kekayaan hayati, flora fauna yang tak hanya ‘supermarket’ juga budaya bagi masyarakat adat di sana bersiap jadi tanaman lain. Tak hanya soal kerusakan lingkungan, proyek ‘ketahanan’ pangan ala pemerintah ini pun berisiko besar menghilangkan sumber-sumber pangan masyarakat adat Papua di Merauke, yang hidup dari alam. Kedaulatan pangan masyarakat adat Papua di Papua Selatan ini sesungguhnya sedang terancam. Sebenarnya, food estate ini untuk siapa?