- Korban banjir di Sumatera terus bertambah setiap harinya. Hingga hari ini, Jumat (19/12/2025), 1.072 orang meninggal, 186 masih belum ditemukan dan 7.000 orang luka-luka. Sementara itu, 147.236 rumah rusak, 1.600 fasilitas umum rusak, dan 52 kabupaten dan kota terdampak.
- Hasil studi CELIOS, dampak kerugian ekonomi bencana banjir Sumatera periode November 2025 diproyeksi senilai Rp68,67 triliun. Angka ini mencakup kerusakan rumah penduduk, fasilitas umum, hingga lahan produksi dan pertanian.
- Busyro Muqoddas, Mantan pimpinan KPK periode 2010-2015 menegaskan bencana hebat yang terjadi di Sumatera merupakan potret state capture corruption. Korupsi ini dilakukan secara sistematis oleh kelompok yang berkepentingan, baik politisi, pejabat, maupun pengusaha melalui kebijakan yang menguntungkan kelompoknya. Alih-alih untuk kepentingan rakyat.
- Feri Amsari, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas mengatakan bencana di Sumatera disebabkan kalkulasi politik yang tidak cermat dan ketidakpatuhan kepada Undang-Undang Dasar 1945. Sejumlah organisasi masyarakat sipil juga mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menetapkan status darurat bencana sebelum korban jiwa bertambah semakin banyak.
Korban bencana hidrometeorologi di Sumatera pada November 2025 terus bertambah . Hingga Jumat (19/12/25), 1.072 orang meninggal dunia, 186 hilang dan 7.000 orang lagi luka-luka. Sekitar 147.236 rumah dan 1.600 fasilitas umum rusak, dan 52 kabupaten/kota terdampak.
Hasil studi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menghitung kerugian ekonomi dari bencana mencapai Rp68,67 triliun. Angka itu mencakup kerusakan rumah penduduk, fasilitas umum, hingga lahan pertanian. Secara spesifik, kerugian di Aceh mencapai Rp2,2 triliun, Sumatera Utara 2,07 triliun, dan Sumatera Barat Rp2,01 triliun.
Busyro Muqoddas, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2010-2015 mengatakan, bencana di Sumatera merupakan potret state capture corruption. Korupsi ini berlangsung sistematis oleh kelompok berkepentingan, baik politisi, pejabat, maupun pengusaha melalui kebijakan yang menguntungkan kelompoknya. Alih-alih untuk kepentingan rakyat.
“Tragedi kemanusiaan di tiga provinsi di Sumatera ini merupakan korupsi state capture corruption. Dilakukan dengan cara political corruption, dalam bentuk membuat Undang-undang yang melegalkan sesuatu yang ilegal,” katanya usai Sarasehan Korupsi dan Darurat Iklim di Semarang, Kamis (18/12/25).

Dia menilai, praktik korupsi ini sudah berlangsung lama dalam bentuk proyek strategis nasional (PSN). Dia bilang, tidak bisa menyalahkan faktor alam dan iklim atas bencana ini. Sebab, ada faktor pengambilan kebijakan salah melalui pemberian ruang untuk eksploitasi secara besar-besaran.
“Ini hilirisasi political corruption melalui izin usaha pertambangan dan proyek-proyek lain sejenis. Yang memberikan izin siapa? Ya pemerintah pusat, korelasinya jelas ada,” katanya.
Lemahnya posisi KPK dia nilai berperan dalam kerusakan alam di Indonesia. UU Nomor 19/2019 era Presiden Joko Widodo yang saat ini berjalan sudah menghilangkan independensi lembaga antirasuah itu dan menempatkan di bawah eksekutif.
Dia bilang, penanganan kasus oleh KPK saat ini sangat rentan tersusupi kepentingan politik. Peran strategis KPK dalam mencegah dan mengawasi proyek-proyek besar menjadi sangat lemah. Akibatnya, lingkungan makin rusak yang ujungnya menyengsarakan rakyat.
“Tak ada lembaga negara independen yang bisa melakukan penindakan, seperti KPK dulu,” katanya.

Status ‘bencana nasional’
Meski korban bertambah setiap hari dan kerusakan parah, pemerintah belum juga menetapkan status sebagai bencana nasional. Busyro menyayangkan sikap presiden yang bersikukuh mampu atasi dampak bencana kali ini, meski fakta di lapangan menunjukkan lain, warga makin menderita.
“Sampai hari ini, presiden belum memutuskan itu. Padahal, makin hari warga makin menderita.”
Danang Widoyoko, Sekjen Transparency International Indonesia mengatakan, bencana di Sumatera karena deforestasi . Hal ini terlihat dari banyak gelondongan kayu antara lain berlabel yang terbawa arus. Pemandangan itu jelas menandakan ada peran manusia sangat besar dalam musibah ini.
“Lagi-lagi ini persoalan tata kelola dan masalah korupsi. Faktor manusia dalam hal ini korupsi maka ini jadi bencana dengan dampak kerusakan besar,” katanya.
Dia mendesak, pemerintah segera melakukan tanggap darurat bencana nasional atas nama kemanusiaan. Jika tidak, korban akan makin banyak.
Feri Amsari, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas mengatakan, bencana di Sumatera akibat kalkulasi politik yang tidak cermat, terutama ketidakpatuhan kepada UU Dasar 1945.
“Mereka tak sanggup bertanggung jawab. Kalau ditetapkan sebagai bencana nasional, seluruh penanggulangan akan dipusatkan kepada pemerintah pusat sementara uang pemerintah pusat sedang tak ada,” katanya.
Hal ini terbukti dengan ada pemangkasan anggaran penanggulangan bencana untuk program lain. Dia bilang, pemerintah salah kalkulasi dan perhitungan.
Selain itu, katanya, ada konsekuensi yang harus pemerintah jalankan ketika tetapkan status bencana nasional, yakni, evaluasi terhadap kebijakan lingkungan hidup.
“Kita tahu ini bukan karena peristiwa alam tapi akibat ulah dari orang yang berdasarkan dari kebijakan negara. Karena itu negara harus melakukan evaluasi dan keberanian mencabut izin dan melakukan upaya reboisasi dan penanaman kembali hutan-hutan.”
Amsari juga soroti penanganan bencana di Sumatera sangat mengecewakan. Alih-alih fokus pada penanganan para korban, pemerintah sibuk dengan gimmick politik tak penting. Dia pun mendesak pemerintah segera tetapkan status bencana nasional agar bantuan internasional dapat tersalurkan untuk para korban.
“Status bencana nasional harus segera diumumkan. Kita itu terbuka mestinya dibantu sebagai mitra. Ini kan negara-negara ASEAN dan warga dunia. Apa salahnya menerima bantuan? Ini bukan meruntuhkan kewibawaan negara atau seorang pemimpin menerima bantuan,” katanya.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti Celios, Transparency International Indonesia, Trend Asia, LHKP Muhammadiyah, Patriot Semarang dan Lingkar Kajian Kolaboratif mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menetapkan status darurat bencana nasional. Mereka menuntut:
1. Mengusut tuntas korporasi penyebab bencana ekologis, khususnya di Sumatera.
2. Menetapkan moratorium izin pertambangan dan perkebunan baru secara nasional.
3. Melarang keterlibatan aparat negara sebagai backing kepentingan korporasi.
4. Menghentikan kriminalisasi terhadap aktivis HAM dan lingkungan.
5. Menetapkan status Darurat Kemanusiaan Nasional atas bencana ekologis.
6. Mengevaluasi dan mencopot pejabat negara yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan.
Tanggapan pemerintah
Teddy Indra Wijaya, Menteri Sekretaris Kabinet menaggapi desakan para pihak agar pemerintah menetapkan status bencana nasional atas musibah di Sumatera.
“Di hari kelima, Bapak Preisden kesana. Dan saat ini Bapak Presiden sudah ke Aceh tiga kali, ke enam kabupaten. Ke Sumatera Utara dua kali. Sumatera Barat dua kali, masing-masing empat kabupaten. Bapak Wapres juga demikian, dua kali kesana. Masih aja,” jelasnya.
Sejak hari pertama, pemerintah bersama warga sudah bersama-sama berjuang keras bagaimana ini segera pulih. “Kedua, masih ada pihak-pihak yang terus saja membahas status bencana nasional. Jadi gini, bencana ini ada di 3 provinsi, ketiganya terdampak. Tapi mungkin satu dua minggu ini, semua fokusnya hanya ke Aceh,” jelasnya.
Menurut Teddy, sejak 26 November, pemerintah pusat sudah melakukan penanganan skala nasional di tiga provinsi tersebut dengan melakukan mobilisasi besar-besaran. Ada lebih dari 50 ribu personel TNI-Polri berangkat ke Sumatera untuk membantu penanganan. “Semua ini akan menggunakan dana pusat. Rp60 triliun sudah dikeluarkan berangsur untuk membangun kembali.”

Akui deforestasi
Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup mengakui deforestasi sebagai salah satu pemicu bencana besar di Sumatera. Kini, kementerian ini fokus pada sanksi administrasi dan gugatan perdata kepada perusahaan yang melanggar aturan dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Sedangkan pidana akan Bareskrim tangani.
“Ya (deforestasi di Sumatera). Ada perubahan tutupan dari hutan menjadi tidak hutan dengan luasan tertentu,” katanya di Universitas Diponegoro Semarang, Selasa (16/12/25).
Saat ini, ada beberapa perusahaan di daerah aliran sungai (DAS) Batang Toru di Sumatera Utara (Sumut) tengah jalani pemeriksaan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Dia bilang, deforestasi di DAS Batang Toru sangat serius.
Dari luas sekitar 340.000 hektar, tutupan hutan hanya sekitar 38%. KLH merencanakan audit seluruh perusahaan di tiga provinsi itu, mulai Sumut, Sumbar dan Aceh.
Menurut Hanif, ada tiga faktor utama yang memperparah bencana di Sumatera, yakni, faktor antropogenik akibat ulah manusia, geomorfologi atau bentuk permukaan bumi, dan hidrometeorologi. Ketiganya saling berkaitan.
“Kita berada di daerah tropis. Kemudian kita merupakan daerah kepulauan. Sehingga dengan demikian kita merupakan negara yang sangat riskan dengan perubahan iklim ini.”
*****