Sanca kembang (Malayopython reticulatus) merupakan salah satu reptil paling menakjubkan di Asia Tenggara. Ular ini dikenal sebagai spesies ular terpanjang di dunia dan tersebar luas di hutan hujan Indonesia, Malaysia, hingga Filipina. Tubuhnya yang lentur dan berotot menjadikannya predator puncak yang mampu memangsa hewan lebih besar dari dirinya. Dalam banyak budaya di Asia, ular besar seperti sanca kembang sering dikaitkan dengan kekuatan dan misteri alam. Namun di balik citra itu, spesies ini juga menjadi fokus penelitian karena ukuran dan kemampuan biologisnya yang luar biasa.
Dari antara ribuan individu yang pernah diamati, satu nama menonjol di panggung dunia: Medusa. Seekor sanca betina berusia 21 tahun yang memecahkan rekor sebagai ular terpanjang yang hidup di penangkaran, dengan panjang mencapai 7,67 meter.

Medusa tidak berasal dari alam liar, dan tak hidup di Asia Tenggara, melainkan ditetaskan di penangkaran pada 13 Oktober 2004 di AS. Sejak kecil ia dipelihara oleh tim The Edge of Hell, atraksi rumah hantu milik Full Moon Productions di Kansas City, Missouri, Amerika Serikat. Medusa tumbuh dalam kondisi terkontrol dengan pakan teratur dan suhu stabil, hingga akhirnya dinobatkan secara resmi oleh Guinness World Records sebagai ular terpanjang yang hidup di penangkaran pada 12 Oktober 2011.
Pada saat pengukuran, Medusa memiliki panjang 7,67 meter dan berat sekitar 158,8 kilogram. Diperlukan 15 orang untuk mengangkat tubuhnya. Rekor ini menjadikan Medusa simbol kemampuan luar biasa sanca kembang untuk tumbuh hingga ukuran ekstrem.
Meski hidup jauh dari habitat asalnya di Asia Tenggara, Medusa menunjukkan kemampuan beradaptasi tinggi terhadap lingkungan. Di alam liar, ular ini hidup di hutan tropis, rawa, dan daerah berhutan di seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Mereka berperan penting mengendalikan populasi mamalia kecil dan burung. Namun, di balik kekaguman terhadap ukurannya, populasi liar ular ini terancam akibat perburuan, perdagangan kulit, dan hilangnya habitat.
Rekor Panjang dan Fakta Lapangan
Rekor Medusa bukan satu-satunya catatan luar biasa dalam sejarah sanca kembang. Pada 1912, seekor sanca dari Sulawesi dilaporkan memiliki panjang 10 meter. Jika benar, ular itu akan menjadi ular terpanjang yang pernah tercatat dalam sejarah. Namun, laporan tersebut berasal dari era kolonial dan tidak disertai bukti ilmiah atau dokumentasi foto, sehingga masih dianggap anekdot. Kasus lain muncul di Penang, Malaysia, pada 2018, ketika seekor sanca betina sepanjang 8 meter ditemukan saat bertelur di lokasi konstruksi. Ular itu mati tidak lama setelah ditangkap, menunjukkan sulitnya mempertahankan individu berukuran besar di alam liar yang kini semakin terdesak oleh aktivitas manusia.
Penelitian ilmiah memberikan pemahaman baru tentang faktor yang memengaruhi pertumbuhan ular ini. Studi “Morphological Variation of Malayopython reticulatus in Indonesia Population” yang dipublikasikan melalui Semantic Scholar menemukan adanya variasi ukuran tubuh dan karakter seksual antar populasi di Indonesia. Penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan, ketersediaan mangsa, suhu, dan tekanan ekosistem berperan besar dalam menentukan ukuran akhir ular. Populasi dari daerah dengan ketersediaan mangsa besar, seperti babi hutan atau monyet, cenderung memiliki individu berukuran lebih panjang dan berat dibanding populasi di wilayah dengan tekanan manusia tinggi.
Dalam penangkaran, seperti pada kasus Medusa, faktor lingkungan dan asupan gizi dapat dikontrol dengan baik. Ular diberi pakan secara rutin, suhu ruangan dijaga stabil, dan risiko penyakit dapat diminimalkan. Semua kondisi itu memungkinkan pertumbuhan maksimal tanpa gangguan. Sebaliknya, di alam liar, predator besar seperti sanca kembang harus bersaing dengan manusia, kehilangan habitat akibat deforestasi, dan menghadapi ancaman perburuan. Karena itu, ukuran ekstrem seperti Medusa jarang ditemukan di alam terbuka. Tekanan ekologis dan gangguan habitat membuat banyak sanca liar tidak sempat mencapai potensi maksimalnya, baik dari segi panjang tubuh maupun umur.
Ukuran luar biasa Medusa memperlihatkan apa yang bisa dicapai spesies ini ketika berada dalam lingkungan yang aman dan terkendali.
Umur Panjang dan Reproduksi Aseksual
Medusa kini berusia 21 tahun dan tetap sehat dalam perawatan manusia. Di alam liar, sanca kembang biasanya hidup 20 tahun, tetapi di penangkaran bisa mencapai lebih dari 30 tahun. Umur panjang dalam kondisi terkontrol memberi peluang bagi ilmuwan untuk meneliti fisiologi dan siklus hidup ular raksasa ini secara lebih mendalam.
Salah satu aspek biologi paling menarik dari sanca kembang adalah kemampuannya melakukan partenogenesis, atau reproduksi tanpa jantan. Kasus terkenal terjadi pada seekor sanca bernama Thelma di Kebun Binatang Louisville, Amerika Serikat. Pada 2012, Thelma menghasilkan enam anak tanpa pernah dikawinkan. Analisis genetik memastikan seluruh keturunannya berasal dari sel tubuh induk betina. Temuan ini menunjukkan adaptasi luar biasa yang memungkinkan ular bertahan di kondisi ekstrem ketika pejantan sulit ditemukan.

Fenomena partenogenesis membuka peluang riset genetika dan konservasi reptil. Namun, anak hasil reproduksi aseksual memiliki keragaman genetik rendah, yang dapat membatasi kemampuan adaptasi jangka panjang populasi. Karena itu, menjaga habitat alami dan keberagaman genetik tetap menjadi kunci pelestarian spesies ini.
Indonesia memiliki peran penting dalam menjaga kelangsungan sanca kembang. Negara ini merupakan salah satu habitat utama spesies tersebut, terutama di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Namun, tekanan terhadap populasi liar semakin besar. Hilangnya hutan akibat konversi lahan, perburuan, dan perdagangan kulit menjadi ancaman serius. Laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat ribuan kulit sanca kembang diekspor setiap tahun, sebagian besar untuk industri fesyen.