- Industri nikel meninggalkan kerusakan hutan bagi sosial dan lingkungan. Tak hanya keanekaragaman hayati yang hilang, kini masyarakat dihadapkan pada pencemaran, bencana dan konflik laten.
- Masyarakat adat yang melawan dan bersuara untuk mempertahankan tanah malahan dikriminalisasi. Mereka dijerat hukum secara sewenang-wenang.
- Ekspansi tambang nikel, dari hulu hingga hilir mengancam kehidupan masyarakat lokal. Suku seperti Tobelo Dalam misalnya yang dipaksa keluar hutan, kehilangan tradisi dan ruang hidup mereka. Padahal mereka adalah penjaga hutan.
- Limbah industri wilayah pesisir juga menyebabkan air laut tercemar. Bahkan ikan-ikan di perairan tersebut terkontaminasi zat beracun.
Gemerlap mobil listrik ‘nol karbon’ terus menggelora di dunia, seolah menjadi simbol masa depan. Tapi di balik itu, industri nikel yang menjadi bahan utama baterai listrik menyisakan luka bagi lingkungan dan masyarakat. Banyak jejak karbon dan luka ekologis yang belum sembuh hingga hari ini.
Salah satunya, industri nikel di Maluku Utara yang menyebabkan kerusakan lingkungan, bencana, dampak sosial ekonomi hingga kriminalisasi warga. Berdasarkan data Climate Rights International, hutan tropis yang hilang akibat industri nikel di Halmahera, Maluku Utara mencapai 5.300 hektar.
Tak hanya kehilangan keanekaragaman hayati, kehilangan hutan menyebabkan bencana banjir lumpur hingga merampas ruang hidup masyarakat. Salah satunya, masyarakat adat O’Hongana Manyawa yang selama ini menjaga hutan Halmahera.

Aktivitas industri nikel pun turut mencemari lingkungan hingga mengancam biodiversitas laut. Ada tiga wilayah perairan yang terindikasi tercemar, yakni Teluk Buli, Teluk Weda dan Pulau Obi. Merkuri dan logam berat mencemari pesisir dan mengancam kesehatan masyarakat. Mereka juga semakin sulit mendapatkan makanan karena pesisir dan hutan habis karena industri nikel.
Tak jarang banyak warga melakukan perlawanan yang berujung pada kriminalisasi. Padahal selama ini mereka menjaga laut dan hutan sebagai bagian dari hidupnya. Perlawanan mereka tak hanya bercerita tentang perut tapi hak hidup dan keberlanjutan lingkungan bagi anak cucu.
Bagaimana cerita masyarakat yang terus melawan sebagai akibat kerusakan yang ditimbulkan dari industri nikel? Berikut beberapa cerita dari lapangan:
1. Masyarakat Adat Wayamli boikot perusahaan yang merusak hutan

Warga Desa Wayamli, Halmahera Timur memblokir aktivitas tambang nikel PT Sambaki Tambang Sentosa (STS). Ini karena mereka memasuki wilayah adat tanpa adanya izin dan sosialisasi kepada masyarakat setempat. Masyarakat mendesak adanya transparansi perizinan yang sah.
Sebelumnya, PT STS telah merusak lahan adat seluas lebih dari 20 hektar dan beroperasi tanpa izin. Kebun sagu warga pun diserobot untuk proyek pembangunan jetty atau pelabuhan sekaligus penempatan penampungan ore nikel.
Hingga kini, masyarakat masih terus memperjuangkan hak dan menolak perampasan wilayah adatnya.
2. Kriminalisasi warga Maba Sangaji yang menjaga hutannya

Pada Mei 2025, 11 warga Maba Sangaji ditangkap saat menggelar ritual adat sebagai bentuk protes terhadap perusahaan tambang nikel PT Position. Ritual dilakukan untuk menghentikan aktivitas pertambangan yang diduga telah membongkar hutan adat dan mencemari sungai Sangaji.
Perusahaan menuduh tindakan tersebut mengganggu aktivitas pertambangan dan menuduh mereka membawa senjata tajam tanpa hak saat menyusuri hutan. Warga bilang senjata itu menjadi peralatan untuk bertahan hidup selama mereka di hutan.
Tim advokasi masyarakat menilai kasus ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan yang ingin mempertahankan ruang hidupnya. Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang pun menilai bahwa perusahaan PT Position melakukan tambang ilegal karena tidak melibatkan warga Maba Sangaji.
Selama persidangan berlangsung keluarga korban warga Maba Sangaji mencari keadilan ke Jakarta. Mereka melapor kepada Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Komisi Yudisial untuk membebaskan tahanan tanpa syarat dan meminta perlindungan.
Baca selengkapnya: Kriminalisasi warga yang melawan tambang terus terjadi
3. Masyarakat Tobelo Dalam yang tersingkir dari wilayahnya

Masyarakat adat O’Hongana Manyawa menjadi salah satu masyarakat pesisir di Teluk Weda, Halmahera Timur. Kini mereka menghadapi ancaman akibat ekspansi tambang nikel. Hutan merupakan tempat mereka bertumbuh dan berlindung.
Mereka juga dikenal sebagai penjaga hutan karena hidup berkelompok secara nomaden dan teritorial di dalam hutan Halmahera. Biasa orang sebut juga Suku Tobelo Dalam. Hutan mereka diapit oleh dua perusahaan tambang nikel yaitu PT Wana Kencana Mineral (WKM) dan PT Arumba Jaya Perkasa (AJP).
Kedua perusahaan tersebut membuat ruang hidup masyarakat Tobelo Dalam tergerus. Meski perusahaan tambang memberikan bantuan seperti membuat pemukiman di desa tapi justru mengancam kelestarian budaya adat yang telah ada. Menurut mereka, pemukiman dibentuk hanya untuk menyingkirkan warga Tobelo agar tidak masuk ke hutan lagi.
Padahal hutan adat sudah menjadi bagian dalam kesehariannya. Mereka mendesak pemerintah dan perusahaan mengakui hak atas tanah adat mereka.
4. Jejak racun di proyek hilirisasi nikel

Tak hanya di hulu, luka tambang nikel pun terasa hingga ke hilir. Sebelum ada kawasan industri nikel, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), pada Agustus 2018, hasil tangkapan nelayan masih banyak. Kini itu hanya harapan. Limbah nikel yang dibuang ke laut membuat air laut menjadi coklat dan telah terkontaminasi.
Hasil riset kolaboratif Nexus3 Foundation bersama Universitas Tadulako (Untad) menemukan seluruh sampel di Teluk Weda mengandung merkuri dan arsenik. Penelitian ini mengambil 16 sampel ikan segar di Desa Gemaf, Weda Utara dan Desa Lelilef. Semua ikan berasal dari perairan Teluk Weda yang menjadi wilayah tangkapan utama masyarakat. Empat diantaranya melebihi ambang batas maksimum arsenik, sisa lainnya di bawah ambang. Meski ini berisiko tinggi terhadap kesehatan masyarakat.
Pada 2007, penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI menyebutkan konsentrasi arsenik pada ikan di Teluk Weda 20x lebih tinggi. Adapun penelitian ini awalnya menjadi permintaan Weda Bay Nickel saat itu. Tapi masyarakat di sekitar Teluk Weda tak memiliki pilihan.
Baca selengkapnya: Nasib Warga Pesisir Kala Hilirisasi Nikel Masuk
5. Perjuangan warga Wawonii mengambil tanah adat kembali

Tak hanya di Maluku, masyarakat pesisir di Kecamatan Wawonii Tenggara, Sulawesi Tenggara menghadapi pencemaran lingkungan salah satunya krisis air bersih. Berdirinya perusahaan PT Gema Kreasi Perdana (GKP) membuat sungai, laut, dan sumber air rumah warga menjadi keruh.
Lumpur yang bercampur dengan air bersih memaksa warga membeli air galon. Kondisi ini mengganggu kehidupan sehari-hari. Para nelayan juga menghadapi hal yang sama yaitu harus menunda melaut karena pencemaran laut.
GKP menyangkal pencemaran tersebut. Warga terus melawan dan mendesak penghentian tambang nikel di Wawonii. Putusan Mahkamah Agung pun membatalkan persetujuan izin pertambangan GKP karena bertentangan dengan berbagai kondisi di lapangan. Pengadilan menegaskan kewajiban negara untuk menjamin lingkungan hidup yang sehat sebagai bagian dari hak asasi masyarakat.
(******)
*Nastiti Kris Saputri meruakan mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Nasti pernah bergabung bersama dengan pers mahasiswa Teras Pers. Dia sangat senang mencoba hal baru karena menjadi tantangan tersendiri untuknya.
Mahkamah Agung Batalkan Izin Pakai Kawasan Hutan PT GKP di Wawonii