- Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) memusnahkan sekitar 19,32 hektar kebun sawit di kawasan konservasi, Taman Nasional Gunung Leuser di Tenggulun, dan 10 hektar kebun karet di Bahorok, Langkat, Sumatera Utara, Pengelolaan Taman Nasional (PTN) Wilayah III Stabat BBTNGL, pada 4 September lalu. Masyarakat sipil pun mengingatkan agar penanganan satgas humanis pada masyarakat dan tak ragu menyasar perusahaan-perusahaan nakal.
- Dody Tri Winarto, Komandan Satgas PKH, menyebut setidaknya ada 300 hektar sawit di Tenggulun dan 30 hektar di Batang Serangan yang akan mereka musnahkan.
- Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menyebut, pemerintah kerap melakukan ketimpangan penegakan hukum. Menganggap masyarakat adat yang sudah hidup di dalam hutan sebelum penetapan kawasan dengan perusahaan yang mencaplok kawasan hutan.
- Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, terpisah menyebut pentingnya dialog dengan petani kecil yang memiliki lahan di bawah 5 hektar yang terpaksa menanam sawit dalam kawasan hutan. Menurutnya, hal itu karena pengawasan pemerintah yang lemah.
Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) memusnahkan sekitar 19,32 hektar kebun sawit di kawasan konservasi, Taman Nasional Gunung Leuser di Tenggulun, dan 10 hektar kebun karet di Bahorok, Langkat, Sumatera Utara, Pengelolaan Taman Nasional (PTN) Wilayah III Stabat BBTNGL, pada 4 September lalu. Masyarakat sipil pun mengingatkan agar penanganan satgas humanis pada masyarakat dan tak ragu menyasar perusahaan-perusahaan nakal.
Dody Tri Winarto, Komandan Satgas PKH, menyebut, setidaknya ada 300 hektar sawit di Tenggulun dan 30 hektar di Batang Serangan yang akan mereka musnahkan.
“Kita mengapresiasi masyarakat yang kooperatif dan bersedia menyerahkan lahan sawit yang ditanam dalam Taman Nasional Gunung Leuser kepada negara, hingga dapat mempercepat pemulihan fungsi hutan konservasi di TNGL,” katanya di area pemusnahan di Tenggulun.
Dia bilang, tak boleh lagi ada tanaman produksi di area yang mereka bersihkan tetapi harus menanam tanaman keras atau tanaman kehutanan untuk kehidupan satwa di dalamnya. Harapannya, bisa merestorasi dan mengembalikan ekosistem semula wilayah itu tahun ini.
Sejauh ini, katanya, Satgas PKH sudah mengambil alih 3,1 juta hektar kawasan hutan yang berubah jadi sawit atau tanaman produksi oleh korporasi atau perorangan.
“Lahan dan kebun sawit yang ditanam dengan tidak benar sudah berhasil kita tertibkan seluas 3,1 juta hektar di Indonesia termasuk yang di Tenggulun ini,” katanya.
Langkah-langkah persuasif dan dialogis mereka kedepankan bukan mengedepankan penindakan hukum. “Kalau kooperatif kita terima tetapi apabila melawan atau menolak mengembalikan lahan dijadikan kebun sawit ke negara lagi, maka akan ada tindak pidana, penegakan hukum dijalankan.”
Dalam mengambil alih kawasan hutan yang menjadi sawit atau karet, Satgas PKH menggunakan asas ultimum remedium, yang memposisikan pidana sebagai langkah alternatif atau terakhir. Namun, dia sudah mengantongi nama-nama yang memanfaatkan kawasan hutan secara ilegal.
Rudianto Saragih Napitu, Direktur Penindakan Pidana Kehutanan Kementerian Kehutanan, menyebut, sawit yang mereka musnahkan di blok hutan Tenggulun berada dalam kuasa beberapa pihak. Sudah dua yang bersedia mengembalikan secara sukarela, PT SSR seluas 0,63 hektar dan AS seluas 18,69 hektar, 13 Agustus lalu.
Sedangkan, lahan yang jadi kebun karet di blok hutan Rembah Waren dan Paten Kuda milik masyarakat dan sudah mereka serahkan 28 April lalu.
“Ada seorang lagi pemilik kebun sawit ilegal yang masih belum bersedia menyerahkan lahan itu kembali ke negara. Kita masih terus berkomunikasi. Apabila tidak mau menyerahkan secara sukarela, maka akan dilakukan penindakan hukum kepadanya.”

Satwa mulai kembali?
Subhan, Kepala BBTNGL, mengungkapkan sekitar 971 hektar kawasan hutan TNGL di blok Tenggulun sudah terdegradasi. Sekitar 311 hektar sudah berhasil negara kuasai kembali.
Dulunya, blok itu merupakan habitat harimau, gajah, dan orangutan Sumatera. Setelah beralih fungsi jadi kebun sawit, satwa-satwa pun menghilang.
Pasca pemusnahan sawit-sawit ilegal, katanya, petugas yang berpatroli bersama mitra konservasi di blok itu menemukan jejak harimau Sumatera dan beberapa cakaran. Juga, feses si belang dan gajah Sumatera. Petugas juga melihat sarang orangutan di pohon-pohon yang berdekatan dengan kebun sawit.
“Ada secercah harapan, satwa-satwa kunci dari taman nasional bisa berkembang biak di sini,” katanya.

Pendekatan berkeadilan
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengingatkan strategi jangka benah bagi masyarakat yang sudah beraktivitas di dalam kawasan hutan. Konsepnya menghutankan kembali kawasan bersawit setelah satu daur.
Penanganan terhadap masyarakat pun harus hati-hati. Menurut dia, perlu memastikan siapa masyarakat yang menguasai lahan di sana. Apakah masyarakat adat, masyarakat lokal, atau masyarakat yang perusahaan mobilisasi dan perambah dari luar kawasan.
“Perlu dibuat tipologi dalam penanganan masalahnya.”
Dia khawatir, keterlibatan militer yang kental dalam Satgas PKH membuat pendekatan penyelesaian pun militeristik. Proses-proses partisipatif dan dialogis khawatir terpinggirkan dalam penertiban kawasan hutan.
Rio menilai, penegakan hukum tegas pada perusahaan-perusahaan besar. Sampai saat ini, Satgas PKH belum menyita aset-aset perusahaan besar itu.
“Jangan hanya menyasar masyarakat kecil saja.”
Dia mengingatkan, dalam tindakan pemerintah harus berkeadilan. Pemerintah, katanya, kerap melakukan ketimpangan dalam penegakan hukum. Dengan menganggap masyarakat adat yang hidup di dalam hutan sebelum penetapan kawasan dengan perusahaan yang mencaplok kawasan hutan.
“Semua dipukul sama rata. Masyarakat yang sudah tinggal di dalam kawasan hutan sejak dahulu, tidak diberi kesempatan untuk melihat sejarah dalam pengelolaan kawasan hutan,” kata Rio, sapaan akrabnya pada Mongabay Kamis (11/9/25).
Kalau sampai begitu, katanya, bisa terjadi ketidakadilan penegakan hukum. Masyarakat jadi cemburu terhadap perlakuan istimewa pemerintah terhadap perusahaan.
Padahal, catatan Greenpeace, ada 3,12 juta hektar kebun sawit dalam kawasan hutan dan mayoritas perusahaan-perusahaan yang kuasai. Meski sudah ada pemutihan lewat Undang-undang Cipta Kerja, tetapi pemerintah belum bisa menyelesaikannya.
Parahnya, kebun-kebun sawit itu malah berpindah pengelolaan ke Agrinas. Padahal, pemerintah harus memulihkan kawasan itu, dan mempidana perusahaan yang menanam sawit.
“Apabila bicara tentang keadilan hukum, masyarakat kecil yang menanam sawit dalam kawasan hutan ditindak tetapi perusahaan-perusahaan besar mendapatkan keistimewaan.”
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, menyebut pentingnya dialog dengan petani kecil yang memiliki lahan di bawah lima hektar yang terpaksa menanam sawit dalam kawasan hutan.
Dialog penting, katanya, untuk mencari solusi terbaik atas kondisi mereka. Menurutnya, solusinya bukan dengan melakukan penebangan hingga habis, tetapi bisa dengan perhutanan sosial atau model lain, terutama untuk petani kecil, bukan yang menguasai lahan jumlah besar.
“Kalau untuk pengusaha besar, ini wajib ditagih denda kemudian disita dan direstorasi atau mengembalikan menjadi hutan,” katanya, Kamis (11/9/25).
Dia juga mengingatkan, tiga mandat satgas yang termaktub dalam Peraturan Presiden 5/2025, yaitu mengambil denda, penguasaan kembali atau pengambil alihan dan restorasi atau pemulihan.
Karena itu, dia menantang pengalihan sawit-sawit dalam kawasan hutan pada Agrinas. Menurut dia, hal ini sama saja dengan mengganti pemain yang merusak hutan.
Untuk itu, perlu mendesak dan mengejar skenario restorasi atau penghutanan kembali kawasan bersawit yang satgas PKH tertibkan.
“Jangan sampai yang dikasih titipan sawit ini malah terus memanfaatkannya jadi kebun sawit. Itu tidak menyelesaikan persoalan.”

*****