- Keberadaan orangutan tapanuli di hutan gambut Desa Lumut Maju, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, memperluas peta persebaran satwa langka ini yang sebelumnya diyakini hanya hidup di Batang Toru.
- Penemuan ini menjadi petunjuk penting bagi kajian evolusi dan konservasi karena menunjukkan wilayah jelajah spesies tertua dari genus Pongo ini pernah jauh lebih luas.
- Berdasarkan analisis genetik dari penelitian yang diterbitkan di Current Biology (2017), garis keturunan orangutan tapanuli telah berpisah sejak 3,4 juta tahun lalu dari nenek moyang orangutan sumatera yang membuat mereka merupakan spesies paling purba di antara seluruh orangutan di dunia.
- Letusan vulkanik Toba sekitar 74.000 tahun lalu diduga menjadi salah satu peristiwa penting yang memisahkan populasi orangutan purba.
Temuan orangutan tapanuli di kawasan hutan gambut Desa Lumut Maju, Kecamatan Lumut, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara, atau sekitar 32 km arah barat dari Batang Toru membawa kajian ilmiah yang menarik.
Onrizal, pengajar sekaligus peneliti ekologi hutan tropis dan konservasi keanekaragaman hayati di Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara (USU), mengatakan pada tahun 2000-an para peneliti telah mendapatkan informasi perihal keberadaan kelompok orangutan yang berada di pinggir pantai Tapanuli.
“Namun, tim tidak pernah menemukan orangutan langsung, hanya temukan sarang,” jelas Onrizal (Senin, 6/10/2025). “Temuan ini sangat menarik, karena sebelumnya para ahli hanya memperkirakan orangutan terancam punah ini hanya ada di Batang Toru.”
Fragmentasi habitat orangutan saat ini oleh manusia telah membuat spesies tersebut terpisah dari kelompok utamanya. Meski demikian di masa lampau, populasi orangutan pun pernah terpisah karena sebab faktor alam.
“Dulu hutannya menyatu, sehingga orangutan menyebar. Tetapi letusan vulanik Toba 74.000 tahun lalu telah memisahkan mereka,” ungkap Onrizal. Keterpisahan ini membuat orangutan membentuk habitatnya masing-masing dan mengalami jalur evolusi berbeda.
Onrizal menjelaskan, secara genetik orangutan tapanuli mendekati orangutan kalimantan. Namun, bentuk tubuhnya mendekati orangutan sumatera.

Dalam sebuah laporan ilmiah di Current Biology tahun 2017 berjudul “Morphometric, Behavioral, and Genomic Evidence for a New Orangutan Species” para ahli menjelaskan secara genetika, garis keturunan orangutan tapanuli telah berpisah sekitar 3,4 juta tahun lalu dari nenek moyang orangutan sumatera.
“Artinya, orangutan tapanuli adalah garis keturunan tertua di seluruh genus orangutan dan yang pertama menetap di Sumatera, ketika masih menjadi dataran Sundaland,” terang Onrizal, mengutip laporan Nater et al.
Laporan itu juga menjelaskan, dua spesies yang sebelumnya dikenal, yaitu orangutan sumatera dan kalimantan, justru terpisah jauh lebih belakangan, sekitar 674 ribu tahun lalu.
Dari populasi kuno inilah, sebagian orangutan kemudian menyebar ke utara dan barat, membentuk populasi di Pulau Sumatera dan Kalimantan yang dikenal sekarang.
Melalui analisis DNA dari 37 individu orangutan yang berasal dari seluruh wilayah persebaran, termasuk Sumatera bagian utara, selatan Danau Toba, dan Kalimantan, para ilmuwan menemukan bahwa populasi di Batang Toru memiliki jejak genetik paling kuno.

Dalam jurnal tersebut, dijelaskan bahwa orangutan pertama kali memasuki wilayah Asia Tenggara melalui daratan yang kini menjadi Sumatera bagian selatan, atau sekarang Tapanuli.
“Dari populasi purba inilah, sebagian individu menyebar ke utara Danau Toba dan membentuk orangutan sumatera lalu ke timur Danau Toba menjadi orangutan kalimantan.”
Para ahli juga melakukan penelitian DNA mitokondria atau yang diwariskan dari orangutan betina dibandingkan dengan kromosom Y yang diwariskan dari orangutan jantan. Hasilnya, terjadi perbedaan.
“DNA betina menunjukkan bahwa pemisahan antara populasi orangutan di Batang Toru dan populasi lain sudah terjadi sekitar 3,4 juta tahun lalu. Namun, DNA jantan menunjukkan bahwa gen mereka masih saling bercampur hingga sekitar 430 ribu tahun lalu,” katanya.
Artinya, jantan cenderung lebih sering berpindah wilayah dibanding betina, sehingga membawa gen antarpopulasi.
“Tetapi percampuran itu berhenti total pada akhir zaman es terakhir, ketika habitat di antara wilayah-wilayah itu terpecah.”
Namun, sejak sekitar 10–20 ribu tahun lalu, tidak ada lagi pertukaran gen antara populasi yang ada di Batang Toru dan populasi orangutan sumatera. Habitat di antara keduanya berubah menjadi ladang, danau, dan permukiman, menyebabkan mereka terisolasi sempurna.
“Sejak saat itu, orangutan tapanuli berjalan di jalur evolusinya sendiri dan menjadi spesies unik, dengan ciri fisik, suara, dan perilaku yang berbeda,” ungkap riset tersebut.

Spesies Kera Besar Ketiga di Indonesia
Orangutan tapanuli atau Pongo tapanuliensis merupakan satu dari tiga spesies orangutan yang ada di Indonesia. Sebelum menjadi spesies tersendiri, para ilmuwan hanya mengenal dua jenis orangutan di Indonesia, yaitu orangutan sumatera dan orangutan kalimantan.
Primata ini dipisahkan dari saudaranya orangutan sumatera (Pongo abelii) sejak tahun 2017, setelah ditemukan adanya perbedaan genetik baik dengan orangutan sumatera maupun dengan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus).
Orangutan tapanuli memiliki ciri fisik yang berbeda dengan dua saudaranya, yaitu, orangutan sumatera, maupun orangutan kalimantan. Tengkorak dan tulang rahang orangutan tapanuli lebih halus, rambutnya tebal dan keriting, serta orangutan tapanuli jantan memiliki jenggot menonjol dengan bantalan pipi datar yang dipenuhi oleh rambut halus berwarna pirang.
Ciri utama orangutan kalimantan jantan memiliki bantalan pipi melebar sehingga wajahnya membulat. Sementara orangutan sumatera jantan mempunyai bantalan pipi yang menggelambir ke bawah dan mempunyai wajah yang oval.
Orangutan tapanuli diketahui menyukai makanan seperti biji aturmangan (Casuarina Ceae), buah sampinur tali (Podocarpaceae) dan agatis (Araucariaceae) yang sebelumnya, tidak pernah tercatat sebagai jenis pakan orangutan.
Sejak ditemukan, jumlah populasi orangutan tapanuli diperkirakan hanya sekitar 800 individu. Bahkan, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) langsung menetapkan statusnya terancam Kritis atau Critically Endangered dalam Red List of Threatened Species.
Sebelumnya juga disebutkan, orangutan tapanuli yang statusnya sangat terancam punah itu, hanya ditemukan di ketinggian 300-1.300 meter dari permukaan laut di bentang alam Hutan Batang Toru.

Dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Utara Nomor: 2 Tahun 2017 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017-2037 menjelaskan tentang kawasan hutan alam Batang Toru memiliki luas 240.985,21 hektar, yang terbagi kawasan konservasi hutan lindung seluas 147.771,82 hektar. Lalu, kawasan penyangga berupa hutan produksi terbatas, hutan produksi dan areal penggunaan lain seluas 94.213,39 hektar.
Bagi para peneliti, penemuan populasi orangutan di Lumut bisa menjadi titik balik dalam strategi konservasi orangutan tapanuli. Jika terbukti memiliki keragaman genetik tersendiri, maka populasi ini bisa menjadi “bank genetik” penting untuk menjaga keberlanjutan spesies.
Dengan temuan terbaru, kelompok orangutan tapanuli yang hidup di kawasan hutan sekunder di Lumut, di bagian barat pantai Sumatera Utara, para peneliti sedang menganalisis apakah kelompok ini masih bisa bertahan dalam jangka panjang atau harus direlokasi, di tengah rapuhnya keseimbangan ekosistem hutan tropis Sumatera.
Jika tidak segera dijaga, sejarah evolusi jutaan tahun itu bisa berakhir dalam satu generasi manusia.
Referensi
Nater, Alexander, et al. “Morphometric, behavioral, and genomic evidence for a new orangutan species.” Current Biology 27.22 (2017): 3487-3498. https://doi.org/10.1016/j.cub.2017.09.047
*****