- Secara evolusi, orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) telah berpisah dengan orangutan sumatera sejak 3 juta tahun lalu. Sebagai hasil adaptasi terhadap lingkungan tempat hidupnya, spesies ini hidup di ketinggian 300–1.300 mdpl.
- Secara genetik, orangutan tapanuli lebih dekat dengan orangutan kalimantan dibanding Sumatera. Saat ini mereka mendiami kawasan blok hutan yang ada di selatan Danau Toba.
- Di Ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara, --populasinya yang kurang dari 800 inidividu, terbagi menjadi dua metapopulasi yaitu Blok Barat dan Blok Timur, yang semakin terisolasi akibat pembangunan dan industri ekstraktif. Populasi ini berada di tengah ancaman utama yang berasal dari deforestasi, proyek PLTA, tambang emas, perkebunan, dan perburuan liar.
- Panut Hadisiswoyo pendiri Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre (OIC), menyebut alih-alih relokasi, konsep koeksistensi menjadi sangat penting, agar manusia dan satwa liar dapat hidup berdampingan dan menempati ruang hidup masing-masing.
Di jantung hutan Batang Toru, Sumatera Utara, hidup salah satu spesies kera besar paling langka di dunia, orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis). Spesies ini baru diakui secara ilmiah pada tahun 2017, namun keberadaannya telah lama menjadi bagian dari kisah ekologi dan budaya masyarakat di selatan Danau Toba.
Dengan populasi tak lebih dari 800 individu, orangutan tapanuli kini menempati posisi genting dalam daftar satwa paling terancam punah di bumi.
Bicara tentang orangutan di Sumatera Utara, maka sejak dua dekade lalu diskursus tentang orangutan dan keterancaman habitatnya tidak bisa dilepaskan dari Panut Hadisiswoyo, sosok yang menaruh perhatian besar terhadap pelestarian spesies ini.
Melalui Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) yang didirikannya dan kerja panjang di lapangan, ia menjadi saksi bagaimana perubahan bentang alam Batang Toru perlahan membentuk garis nasib bagi spesies yang hanya tersisa di satu sudut kecil bentang alam itu.
Dalam wawancara dengan Mongabay Indonesia di episode Bincang Alam yang diselenggarakan pada 4 September 2025 dalam tajuk ‘Mengenal Orangutan tapanuli: Si Primata Paling Langka di Dunia’ Panut menuturkan pandangannya tentang makna keberadaan orangutan tapanuli bagi ekosistem, manusia, dan masa depan konservasi di Indonesia.
Panut pun berbicara tentang tantangan menjaga spesies yang terisolasi, perjalanan panjang riset, hingga refleksi moral yang muncul dari hubungan manusia dengan alam.
Mongabay: Apa yang melatarbelakangi Anda mendirikan Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL-OIC)?
Panut Hadisiswoyo: Satu alasan utama saya mendirikan YOSL-OIC adalah karena saat itu belum ada sosok lokal yang benar-benar fokus dan peduli terhadap keberlangsungan populasi orangutan di Sumatera.
Saya merasa perlu mendorong lahirnya gerakan dari masyarakat sendiri untuk memahami dan melindungi spesies yang sebenarnya sangat dihargai di dunia, tetapi justru kurang diperhatikan di negeri sendiri.
Maka pada tahun 2001, saya mulai mengumpulkan sumber daya yang ada dan menggerakkan inisiatif lokal sebagai bentuk kebanggaan serta tanggung jawab untuk menyelamatkan orangutan.
Mongabay: Apa yang membuat isu konservasi orangutan saat itu masih kurang mendapat perhatian publik?
Panut Hadisiswoyo: Pada tahun 2001, Indonesia sedang mengalami puncak deforestasi, saat ketika banyak kawasan hutan dikonversi untuk pembangunan dan berbagai kepentingan lainnya.
Namun, isu tentang penderitaan orangutan akibat kehilangan habitat belum banyak mendapat perhatian publik, terutama karena terbatasnya media dan minimnya suara dari masyarakat lokal sendiri.
Saat itu, alih-alih dari lokal, perhatian terhadap orangutan lebih banyak datang dari peneliti asing, termasuk dari Belanda, Amerika, dan Inggris. Sementara keterlibatan peneliti maupun pejuang konservasi dari Indonesia sendiri masih sangat minim.
Mongabay: Apakah sejak awal YOSL-OIC berfokus pada satu jenis orangutan saja, atau juga mencakup tiga spesies orangutan di Indonesia?
Panut Hadisiswoyo: Dalam mengembangkan visi konservasi, maka fokus utama kami diarahkan kepada satu spesies sebagai dasar tujuan besar: yaitu menyelamatkan orangutan sumatera dan habitatnya agar dapat hidup berdampingan (koeksistensi) secara harmonis dengan masyarakat sekitar.
Kegiatan yayasan pun tidak melebar ke spesies lain seperti orangutan kalimantan. Untuk lokasi, kami berfokus pada Kawasan Ekosistem Leuser dan Batang Toru, yang kala itu masih dianggap sebagai habitat satu spesies orangutan.
Mongabay: Orangutan tapanuli baru dideskripsikan secara ilmiah pada tahun 2017. Bisa diceritakan proses ilmiah dibalik penetapan deskripsinya? Apa perbedaan utama spesies ini dengan orangutan sumatera?
Panut Hadisiswoyo: Keberadaan orangutan di selatan Danau Toba, tepatnya di kawasan Batang Toru atau Harangan Tapanuli, pertamakali dilaporkan dalam sebuah ekspedisi Belanda pada tahun 1930-an.
Penelitian lanjutan dilakukan pada 1997 yang semakin menegaskan keberadaan populasi orangutan di wilayah tersebut, yang kemudian dikenal dengan nama orangutan tapanuli karena habitatnya tersebar di tiga kabupaten: Tapanuli Selatan, Utara, dan Tengah.
Pemisahan kedua spesies ini sendiri terjadi sekitar 3,5 juta tahun lalu yang kemudian memicu perubahan dan adaptasi genetik, menjadikan orangutan tapanuli terpisah secara taksonomi dari orangutan sumatera.
Secara genetik, spesies ini justru lebih dekat dengan orangutan kalimantan, dengan perbedaan yang diperkirakan mulai terbentuk sekitar 700 ribu tahun lalu. Kondisi geografis yang terisolasi akibat letusan Danau Toba [sekitar 74 ribu tahun lalu] pun menyebabkan spesies ini harus beradaptasi terhadap perubahan vegetasi dan iklim.
Dari sisi ekologi, orangutan tapanuli sekarang hidup pada ketinggian antara 300 hingga 1.300 meter di atas permukaan laut, menjadikannya spesies dengan kemampuan adaptasi paling tinggi di antara seluruh orangutan di Indonesia.
Proses panjang ini menjadikan orangutan tapanuli sebagai spesies yang paling tangguh, mampu bertahan dalam keterisolasian ekstrem dan menunjukkan kemampuan luar biasa menyesuaikan diri terhadap perubahan habitatnya.
Menariknya, penelitian terbaru menemukan bahwa nenek moyang orangutan tapanuli dahulu juga menghuni dataran rendah dan wilayah gambut pesisir, seperti di daerah Lumut, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Kombinasi perubahan genetik, fisik, dan perilaku inilah yang kemudian menjadi dasar penetapan orangutan tapanuli sebagai spesies tersendiri.
Mongabay: Seperti apa perbedaan fisiologis antara orangutan tapanuli dan dua spesies orangutan lainnya di Indonesia?
Panut Hadisiswoyo: Secara fisiologis, orangutan tapanuli memiliki sejumlah ciri yang membedakannya dengan jelas dari spesies orangutan lainnya. Warna rambutnya lebih kekuningan dengan tekstur yang lebih tebal, terutama pada bagian kumis dan janggut yang tampak lebih lebat, sehingga memberi kesan gagah dan elegan.
Tengkoraknya berukuran lebih kecil, wajahnya cenderung datar, dan flange atau pipi lebarnya tampak lebih rata dibandingkan orangutan sumatera yang menonjol. Selain itu, ukuran gigi dan geraham orangutan tapanuli juga lebih besar.
Orangutan tapanuli, –seperti spesies orangutan lainnya, adalah satwa frugivora atau pemakan buah-buahan. Namun, jenis buah yang dikonsumsi berbeda karena variasi vegetasi di habitat Batang Toru yang berada di dataran tinggi.
Selain buah, orangutan tapanuli juga kerap memakan kulit kayu, kambium, dan pucuk daun, terutama saat musim buah berkurang. Mereka dikenal sangat adaptif dalam mencari sumber makanan alternatif, misalnya kulit batang dari pohon nangka atau cempedak yang banyak tumbuh di kawasan tersebut.
Kemampuan beradaptasi ini menunjukkan kecerdasan luar biasa orangutan tapanuli. Dengan struktur otak yang secara fisiologis mirip manusia, mereka mampu berpikir dan menemukan solusi ketika menghadapi kelangkaan pakan.
Mereka bersifat generalis, dapat memanfaatkan berbagai jenis sumber makanan untuk bertahan hidup di habitat yang menantang. Habitat mereka berada di kawasan Harangan Tapanuli atau daerah aliran sungai Batang Toru, yang menjadi sumber air utama bagi wilayah sekitar.
Kawasan ini bukan hanya penting secara ekologis, tetapi juga menjadi rumah terakhir bagi spesies orangutan paling terisolasi dan adaptif di Indonesia.
Mongabay: Bagaimana persebaran populasi orangutan tapanuli di Batang Toru saat ini, dan apa ancaman terbesar terhadap kelangsungan hidupnya?
Panut Hadisiswoyo: Orangutan tapanuli saat ini terbagi ke dalam dua kelompok utama atau metapopulasi, yaitu di Blok Barat dan Blok Timur di Ekosistem Batang Toru. Selain itu, terdapat kelompok kecil lain yang terpisah di Kecamatan Sipirog, di selatan Blok Barat.
Blok Barat sendiri mencakup wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Utara, sedangkan Blok Timur berada di sebagian wilayah Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara.
Total populasi orangutan tapanuli diperkirakan tidak lebih dari 800 individu, yang terbagi dalam tiga kelompok besar, sekitar 500 individu di Blok Barat, 150 di Blok Timur, dan sekitar 40 di wilayah selatan antara Blok Barat dan Gunung Sibuabuali.
Kondisi ini menunjukkan tingkat fragmentasi yang tinggi akibat kombinasi faktor alami, pembangunan infrastruktur, dan ekspansi industri ekstraktif.
Ekosistem Batang Toru memiliki luas sekitar 240.000 hektar, namun hanya sekitar 170.000 hektar yang dikategorikan sebagai habitat penting orangutan, atau key biodiversity area yang diakui secara global.
Wilayah ini memiliki kompleksitas tata kelola karena terbagi ke dalam fungsi kawasan berbeda, seperti hutan lindung, hutan produksi, kawasan konservasi, serta area penggunaan lain (APL) milik masyarakat dan pemerintah daerah.
Di tengah keterbatasan ruang ini, tekanan terhadap habitat orangutan tapanuli sangat besar. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berkapasitas 510 megawatt di wilayah dengan kepadatan populasi tinggi menyebabkan fragmentasi habitat dan terputusnya jalur jelajah alami.
Selain itu, kehadiran tambang emas, proyek panas bumi, serta ekspansi perkebunan eukaliptus untuk industri kertas semakin memperparah degradasi lanskap Batang Toru.
Situasi ini menjadikan konservasi orangutan tapanuli sebagai tantangan besar yang memerlukan strategi berkelanjutan, kolaboratif, dan konsisten di tengah tekanan kuat dari berbagai kepentingan industri.
Mongabay: Bagaimana dengan tingkat reproduksi orangutan tapanuli sendiri?
Panut Hadisiswoyo: Orangutan memiliki kemampuan reproduksi yang secara biologis mirip dengan manusia. Ketika mencapai usia sekitar 12 tahun, betinanya sudah dapat melahirkan, karena pada usia tersebut mereka mulai mengalami siklus menstruasi.
Namun, perilaku reproduksi orangutan jauh lebih kompleks dan unik. Spesies ini menunjukkan tingkat keibuan yang luar biasa; seekor betina hanya akan kembali bereproduksi setelah anak sebelumnya benar-benar mandiri, biasanya pada usia 6 hingga 8 tahun.
Selama masa itu, induk betina sepenuhnya fokus merawat, melatih, dan melindungi anaknya, bahkan menolak mendekat pada jantan lain.
Dengan umur hidup yang bisa mencapai 50–60 tahun, seekor orangutan betina hanya mampu melahirkan sekitar tiga hingga empat kali sepanjang hidupnya. Pola reproduksi yang sangat lambat ini menjadikan populasi orangutan sangat rentan terhadap gangguan.
Kehilangan satu anak akibat perburuan biasanya juga berarti hilangnya satu induk, karena anak hanya bisa diambil dengan membunuh ibunya. Penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya 1% betina dalam populasi dapat berdampak signifikan terhadap kelangsungan spesies secara keseluruhan.
Karena itu, temuan studi tentang siklus reproduksi yang lambat dan pola asuh intensif menjadi faktor penting yang membuat konservasi orangutan, –termasuk orangutan tapanuli, sangat menantang.
Mongabay: Apakah orangutan tapanuli dan orangutan sumatera memiliki wilayah jelajah yang bisa bersinggungan, dan apakah keduanya dapat berpotensi kawin di alam liar?
Panut Hadisiswoyo: Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) dan orangutan sumatera (Pongo abelii) telah terpisah sejak sekitar tiga juta tahun lalu, yang lalu memperkuat isolasi genetik keduanya.
Pemisahan ini membuat populasi di selatan Danau Toba, terutama di Batang Toru, berkembang secara mandiri hingga menjadi spesies tersendiri.
Saat ini, kedua populasi tersebut tidak lagi memiliki keterhubungan alami, meskipun secara geografis area terdekat antara Pakpak Barat, Humbang Hasundutan, hingga Tapanuli Tengah menunjukkan kemungkinan adanya jalur historis yang dulu pernah menghubungkan mereka.
Beberapa temuan lapangan menunjukkan keberadaan individu orangutan di perbatasan wilayah seperti Adian Koting dan Lumut, yang secara genetik terbukti sebagai individu orangutan tapanuli murni. Hal ini menunjukkan bahwa secara evolusioner, spesies ini pernah memiliki rentang sebaran yang lebih luas.
Secara teoritis, jika koridor ekologis berhasil dipulihkan, potensi pertemuan antara kedua spesies masih mungkin terjadi. Dalam kondisi tertentu, perkawinan antarspesies (hibridisasi) dapat terjadi karena kesamaan genetik dan taksonomi, meski keduanya kini dikategorikan sebagai spesies yang berbeda secara ilmiah.
Mongabay: Apakah masih ada celah penelitian terkait orangutan tapanuli yang perlu dikaji lebih lanjut?
Panut Hadisiswoyo: Penelitian mengenai perilaku orangutan tapanuli hingga kini masih terbatas jika dibandingkan dengan orangutan sumatera. Beberapa temuan menunjukkan bahwa spesies ini memiliki kemampuan adaptasi tinggi dalam memilih makanan.
Namun, aspek perilaku lain seperti kebiasaan membuat sarang, interaksi antara induk dan anak, serta pola pergerakan dalam wilayah jelajah (home range) masih memerlukan penelitian lebih mendalam.
Data genetik dan spasial pun belum selengkap yang dimiliki dari populasi orangutan di Ketambe, Suaq, atau Soraya di Ekosistem Leuser.
Karena itu, Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (OIC) terus berupaya mendorong riset lanjutan melalui program beasiswa penelitian, untuk memperkaya pemahaman ilmiah dan mendukung strategi konservasi yang lebih tepat bagi orangutan tapanuli.
Mongabay: Apakah memungkinkan orangutan tapanuli dipindahkan ke tempat lain? Apakah mereka akan tetap mampu bertahan hidup di habitat baru?
Panut Hadisiswoyo: Relokasi atau translokasi bukanlah solusi utama, melainkan pilihan terakhir ketika individu benar-benar terisolasi atau terluka. Sebab meskipun orangutan mampu beradaptasi, habitat baru belum tentu mendukung kelangsungan hidup mereka dalam jangka panjang.
Dalam konteks konservasi, keberlanjutan populasi sangat bergantung pada viabilitas, jumlah individu minimum dalam satu blok habitat untuk menjaga stabilitas genetik, dan mencegah perkawinan sedarah (inbreeding). Jika populasi terlalu kecil, risiko genetik akan meningkat dan keturunannya menjadi lemah.
Secara ilmiah, satu blok hutan idealnya menampung setidaknya 250 individu agar populasi tetap sehat dan berkelanjutan. Fragmentasi dan perburuan tidak hanya menghancurkan ekosistem, tetapi juga dapat menimbulkan penderitaan bagi individu orangutan, terutama induk yang rela mati demi melindungi anaknya.
Setiap upaya relokasi pun harus melalui kajian saintifik dan etika yang matang, termasuk penghormatan terhadap “hak hidup” orangutan di habitat aslinya. Karena pertanyaan dasarnya adalah: “Mengapa spesies ini harus dipindahkan?” Ini adalah akibat tekanan dari aktivitas manusia seperti tambang, PLTA, atau proyek panas bumi.
Hingga kini, belum ada rencana program eks-situ khusus untuk orangutan tapanuli. Beberapa individu yang pernah disita dari pemeliharaan ilegal dulu telah direhabilitasi di SOCP dan sempat dilepasliarkan di Jambi, sebelum diketahui bahwa sebagian di antaranya merupakan orangutan tapanuli.
Kasus ini menunjukkan perlunya penanganan ekstra hati-hati, agar setiap tindakan konservasi tidak justru mengancam integritas genetik spesies langka ini.
Mongabay: Bagaimana Anda melihat tantangan konservasi dalam upaya menjaga kelestarian orangutan tapanuli saat ini?
Panut Hadisiswoyo: Ancaman terhadap orangutan tapanuli saat ini sangat serius. Selain kehilangan habitat akibat deforestasi dan pembangunan, praktik perburuan dan perdagangan ilegal juga terus terjadi.
Permintaan pasar, terutama dari India melalui jalur penyelundupan Sumatera Utara–Aceh–Thailand, mendorong peningkatan perburuan di lapangan. Beberapa kasus penyelamatan masih ditemukan hingga tahun ini, seperti tiga individu yang berhasil diamankan di perbatasan Malaysia–Thailand pada Mei lalu.
Fenomena ini menunjukkan masih adanya jaringan perdagangan satwa liar yang aktif, melibatkan oknum-oknum yang memelihara atau memperjualbelikan orangutan karena daya tarik fisiknya yang dianggap “lucu” saat masih kecil.
Mongabay: Bagaimana masyarakat bisa berkontribusi untuk menyelamatkan orangutan tapanuli agar spesies ini tetap lestari?
Panut Hadisiswoyo: Setiap orang, –tanpa kecuali, memiliki hak dan tanggung jawab yang sama untuk ikut melindungi orangutan sebagai bagian penting dari keanekaragaman hayati dan pertahanan ekologi bangsa.
Menjaga kelestarian orangutan berarti menjaga hutan, yang pada dasarnya juga menjaga peradaban, ketahanan pangan, dan keamanan dari bencana alam.
Hutan tidak hanya terdiri dari pohon, tetapi juga kehidupan lain yang saling bergantung untuk menopang ekosistem dan kehidupan manusia.
Masyarakat dapat berperan aktif dengan cara-cara sederhana, seperti mendukung gerakan konservasi, menyuarakan isu orangutan melalui media sosial, berpartisipasi dalam aksi penyadaran, dan yang terpenting, tidak berperilaku merusak lingkungan.
Adapun hak hidup orangutan mencakup keberadaan habitat yang utuh dan tidak terfragmentasi. Perburuan hampir selalu berujung pada kekerasan dan trauma, yang melemahkan daya tahan dan kesejahteraan mereka.
Karena itu, konsep koeksistensi menjadi sangat penting, manusia dan satwa liar harus hidup berdampingan dengan saling menghormati ruang hidup masing-masing. Memberi hak hidup bagi orangutan berarti menjaga martabat peradaban manusia itu sendiri.
Foto utama: orangutan tapanuli dewasa dan anaknya yang ditemukan di Lumut, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
*****
Berdasarkan Jejak Genetik, Orangutan Tapanuli Adalah Jenis Tertua dari Genus Orangutan
Kredit
