- Dukuh Topak, Desa Sumberrejo, Kecamatan Donorojo, Jepara, Jawa Tengah, menolak tambang hadir di wilayah mereka. Pasalnya, kehadiran aktivitas yang mengeruk batuan andesit itu bisa memengaruhi mata air yang selama ini jadi andalan warga memenuhi kebutuhan mereka.
- Muhari, Ketua RT 01 Dukuh Topak, menyebut, warga pun khawatir akan potensi bencana yang timbul. mereka melihat sendiri tiga rumah warga Dukuh Tempuran yang masih satu desa terkena longsor dan banjir dari area tambang di atasnya.
- DLH Jepara menyebut kewenangan perizinan berada di Pemprov Jateng. Tapi, mereka mengupayakan titik temu dan solusi masalah ini. Hermawan Oktavianto, Kepala Bidang Penataan, Perlindungan, dan Pengelolaan Lingkungan DLH Jepara, menyebut, pihaknya pernah mengecek langsung lokasi penambangan dan sekali menerima audiensi warga.
- Ahmad Solihin, pemilik CV Senggol Mekar yang menambang di Dukuh Topak, menerima protes warga. Menurutnya, hal itu merupakan reaksi kekhawatiran semata akan sesuatu yang belum terjadi.
Dua ekskavator tergeletak mati di pinggir Jalan Dukuh Topak, Desa Sumberrejo, Kecamatan Donorojo, Jepara, Jawa Tengah, buah dari perlawanan warga yang menolak kehadiran tambang di perbukitan dengan kemiringan cukup terjal di wilayah itu. Tiga mata air yang biasa warga gunakan terancam aktivitas tambang.
Jarak antara ekskavator dan mata air sekitar 200 meter, di antara keduanya terdapat papan informasi yang mencantumkan izin usaha pertambangan dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jateng. Kawasan itu nampak sudah tertata, lahan terlalu miring sudah rata. Terdapat pembangunan jalan dari bawah menuju atas.
Pembangunan jalan itu untuk jalur ekskavator. Di atas bukit ada satu ekskavator lagi, tapi penataan lahan ini berhenti karena warga protes.
Warga Dukuh Topak menolak proyek tambang batuan andesit dan material urug lainnya sejak akhir 2024 memuncak sejak April hingga sekarang karena suara warga tak berespon.
Mereka menilai, aktivitas ini mengancam mata air. Sepanjang waktu, kebutuhan air tercukupi dari sana. Tiga sumber kehidupan warga ini tak pernah berhenti mengalir, kualitasnya juga terus terjaga dan selalu jernih.
Tak hanya warga Dukuh Topak, Dukuh Pendem di dekatnya juga menggunakan mata air itu. Saat kemarau, seluruh warga Desa Sumberrejo juga mengambil air dari sana, termasuk dari Desa Clering, tetangganya.
Selain kebutuhan sehari-hari, mata air juga mereka gunakan untuk ribuan hektar lahan pertanian. Dari Sungai Silugonggo yang turut menampung air dari sumber ini..
Bagi warga Dukuh Topak, aktivitas tambang bukan hal baru. Sudah banyak pengerukan terjadi di tetangga mereka yang masih satu desa. Dampaknya, dari banjir, longsor, hingga kekeringan terjadi di dukuh lain yang jadi lokasi tambang.
Ada lima padukuhan di Desa Sumberrejo. Tiga sudah kena tambang, yang pertama, sejak 2015. Pengalaman buruk dari kegiatan yang tak ramah lingkungan itu jadi alasan lain penolakan warga Topak dan Pendem.
Perkiraan luasan pertambangan sekitar 3,5 hektar. Area ini berdekatan dengan pemukiman warga. Jarak rumah paling dekat dengan lokasi tak sampai 20 meter. Kondisi lahan berbukit dan terjal berisiko meningkatkan longsor dan banjir.
Apalagi area paling atas bukit yang masuk wilayah tambang berfungsi sebagai daerah tangkapan air hujan. Kalau hancur, air hujan akan mengalir deras ke pemukiman warga.
“Kalau begitu pasti enggak cuman air, juga material limbah tambang, terutama lumpur dan takutnya batuan besar lainnya bisa jatuh ke rumah warga,” jelas Muhari, Ketua RT 01 Dukuh Topak, 9 April lalu.
Kekhawatiran warga Topak bukan tanpa dasar, mereka melihat tiga rumah warga Dukuh Tempuran–masih satu desa–terkena longsor dan banjir dari area tambang di atasnya. “Enggak cuma rusak, pekarangan warga terdampak ini juga jadi habis, tidak bisa ditanami karena tertimbun material itu,”katanya.
Besaran ganti rugi rumah rusak juga terbilang kecil. Biaya memperbaiki rumah lebih besar dari ganti rugi hingga warga terdampak makin rugi.
“Kami tetap menolak meski sudah dijanjikan ada ganti rugi jika terjadi bencana.”
Kencana juga terjadi di Dukuh Alang-alang Ombo, masih di Desa Sumberrejo. Satu rumah hancur karena tanah longsor dari tambang di atasnya awal 2025 .
“Ganti ruginya Rp15 juta, padahal biaya pembangunan lebih dari Rp75 juta. Lahan yang dibangun rumah tertimbun longsor dan tidak bisa diolah artinya kerugian ganda.”
Ancaman bencana tergolong tinggi di Sumberrejo, terutama sejak 2021. Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Jepara menyadari, terlihat dari rilis yang mereka buat. Namun, katanya, tak ada keseriusan dan keberpihakan pada warga yang terus mengalami peningkatan ancaman bencana. Pertambangan makin memperparah situasi.
Penilaian itu berdasarkan hasil audiensi ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Sekretariat Daerah (Sekda) Jepara. “Sangat tidak memuaskan dari hasil audiensi itu, pemerintah lebih mendukung tambang padahal sudah kami sampaikan kerawanan bencana ini,” katanya, kecewa.

Intimidasi dan kriminalisasi
Muhari menyebut, lebih 90% warga menolak tambang. Puluhan warga sudah tiga kali unjuk rasa, ke Pemerintah Desa Sumberrejo, lalu DLH, dan Sekda Jepara.
Warga yang menolak tambang malah menerima intimidasi. Sejumlah orang tak dikenal pernah menyambangi rumahnya, karena memimpin penolakan.
“Saya langsung hubungi warga lain yang kemudian banyak yang datang ke rumah, lalu orang-orang suruhan pemilik tambang ini pergi.”
Rombongan orang tak dikenal yang mendatangi rumah Muhari bukan sekali terjadi. Setiap datang, mereka minta dia dukung proyek tambang itu. Penyampaiannya dengan paksaan, tak sedikit juga dengan ancaman, mulai dari menakut-nakuti dengan kekerasan, hingga mistis, terutama santet.
“Saya diamkan saja, saya tahu itu hanya gertakan biar kami takut. Tapi kami tetap tidak takut, lebih menakutkan kehilangan sumber air dan potensi bencana.”
Bukan hanya Muhari yang mendapat intimidasi. Warga lain yang menolak proyek tambang pun jadi sasaran. Juga pemilik lahan yang masuk pertambangan.
Dia bilang, intimidasi sudah berlangsung lama. Lebih dari dua tahun lalu makelar jual-beli tanah kerap mendatangi warga.
“Mereka rata-rata didatangi lebih dari 13 kali, padahal sudah menyatakan tidak menjual lahannya, tapi karena malas berurusan dengan mereka akhirnya banyak yang jual.”
Kriminalisasi terjadi pada dua orang warga yang kena tuduh menahan ekskavator. Padahal, mereka tidak pernah memegang alat berat itu.
Wahyudi, mendapat surat dari kepolisian ihwal pelaporan itu April lalu. “Tapi saya enggak datang ke Polres Jepara, ini cuma gertakan supaya penolakan berhenti,” jelas pria 40 tahun itu.
Ketua RT 02 Dukuh Topak ini menjelaskan, tuduhan memelintir fakta. “Saya waktu itu hanya meminta sopir ekskavator untuk meratakan gundukan tanah di pinggir jalan dekat Sungai Silugonggo, mereka nggak mau, terus ya udah enggak ada masalah.”
Permintaan itu dia sampaikan supaya bantaran Sungai Silugonggo tidak mudah longsor karena gundukan tanah di atasnya. “Mereka juga enggak punya hak untuk membuang material ke bantaran sungai, maksud kami baik tapi kok dibuat masalah.”

Pendangkalan sungai
Warga tidak pernah memberikan izin Sungai Silugonggo jadi tempat pembuangan material tanah dari penataan lahan tambang. Menurut Wahyudi, banyak tanaman warga di bantaran sungai, seperti kopi, pisang, sengon hingga mangga. Panen rutin dan jadi tambahan pemasukan.
Awalnya, mereka menanam supaya bantaran sungai tak mudah ambrol saat arus deras. Juga jadi benteng alam supaya lumpur di atas tidak jatuh dan mendangkalkan sungai saat hujan.
Namun, katanya, pendangkalan sungai makin bertambah tiap tahun. “Dulu itu kedalamannya lebih dari dua meter, sekarang cuma setengah meter.”
Pertambangan ada sejak 2016, jadi satu faktor utama pendangkalan Sungai Silugonggo. Material tambang mengalir ke area bawah, terbawa air sampai ke sungai.
Jika tambang di Dukuh Topak terealisasi, dia prediksi pendangkalan akan makin masif. Sebab, lokasi tak sampai 20 meter dari Sungai Silugonggo.
Rukmana, yang menanam kopi, pisang, hingga mangga di bantaran sungai, menyebut, penambang membabat dan menimbun tanaman tanpa izin. Dia rugi jutaan rupiah atas kejadian itu.
“Tanaman kopi ada 50 batang, umurnya sudah lebih dari empat tahun, sudah rutin berbuah yang tiap bulan hasil penjualannya Rp1 juta.”
Perempuan 55 tahun ini menanam di bantaran Sungai Silugonggo untuk mengantisipasi makin tergerusnya daerah aliran air. “Karena kalau terus tergerus jalan ini bisa ikut ambrol juga, saya juga izin warga lain juga untuk menanam ini, tapi kok malah dibabat dan ditimbun begitu,” katanya.
Dia juga memenuhi kebutuhan harian air dari mata air yang terancam ini. Mulai dari masak, mandi, hingga mencuci. Setidaknya 150 liter air habis untuk seluruh anggota keluarganya.
Mata air itu dia rawat sejak kecil. Mulai dari membersihkan sumber air dari dedaunan dan tanah dari atas, hingga lumut-lumut, rutin dia lakukan.
“Warga luar wilayah kami saja rutin memakai ini, kadang ada yang dijual juga meski kami gratiskan ambilnya, kalau mata air ini mati kehidupan kami akan bagaimana?”

Banyak kejanggalan, RTRW perkebunan jadi tambang?
Pemerintah Jateng memberikan izin pertambangan lewat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu. Padahal, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jepara mencantumkan Desa Sumberrejo sebagai kawasan perkebunan.
Bukan hanya ketidaksesuaian peruntukan. Masalah juga timbul karena ada kejanggalan perizinan. Sunglip, warga Dukuh Topak, mendapati nama dan tandatangannya dalam daftar persetujuan proyek tambang.
“Padahal saya tidak pernah tanda tangan persetujuan, ternyata setelah dicek dokumen itu dimanipulasi, kop surat yang judulnya penolakan ditutup lalu diganti jadi persetujuan.”
Bahkan, sejumlah warga Dukuh Topak yang mendapat bantuan sosial beras di Kecamatan Donorojo, pernah kena tipu. Foto mereka saat menerima beras itu berganti narasi menjadi persetujuan pertambangan, seolah perusahaan tambang berikan beras.
Sunglip bilang, dia mengetahui berbagai manipulasi itu kala melihat sejumlah dokumen dari perangkat pemerintahan. “Yang paling parah lagi ada dugaan pemalsuan tanda tangan jual beli tanah.”
Pemalsuan akta jual beli tanah itu dia lihat di dokumen pengurusan pengelolaan lingkungan dari pertambangan. Ada lebih dari tiga orang pemilik tanah yang proses jual belinya belum rampung, tetapi tertulis sudah beralih kepemilikan, dan dengan tanda tangan tidak sesuai kartu tanda penduduknya.
Dia pun memverifikasi dugaan tersebut ke penjual tanah bersangkutan. “Saya tanya yang bersangkutan ternyata tidak pernah tanda tangan seperti itu, berbeda juga bentuknya, dan penjualan juga belum 100% rampung.”
DLH Jepara menyebut kewenangan perizinan berada di Pemerintah Jateng. Mereka mengupayakan titik temu dan solusi masalah ini. Hermawan Oktavianto, Kepala Bidang Penataan, Perlindungan, dan Pengelolaan Lingkungan DLH Jepara, mengatakan, pernah mengecek langsung lokasi penambangan dan sekali menerima audiensi warga.
“Kami mencoba pertemukan antara warga penolak dan perusahaan tambang, memang sampai sekarang belum ada titik temunya, kewenangan kami hanya sebatas itu.”
Perusahaan tambang, katanya, pernah menawarkan pembangunan sumur bor sebagai solusi mata air yang terancam tetapi warga tak mau menerima.
“Soal jalan rusak akibat tambang juga dijanjikan akan diperbaiki perusahaan bersangkutan.”
Pemkab Jepara, akan mengupayakan aktivitas pertambangan di Dukuh Topak karena sudah ada izin yang mereka berikan.
“Jangan sampai muncul persepsi yang izin malah tidak bisa beroperasi, sedangkan yang tak berizin atau ilegal malah bebas beroperasi.”
Ahmad Solihin, pemilik CV Senggol Mekar yang menambang di Dukuh Topak, menerima protes warga. Menurut dia, hal itu merupakan reaksi kekhawatiran semata akan sesuatu yang belum terjadi.
“Kekhawatiran warga yang protes ini kami hargai karena itu hak mereka, bahkan kami fasilitasi solusi meski kejadian yang ditakutkan belum terjadi,” kayanya pada Mongabay.
Solusi yang mereka tawarkan adalah pembangunan sumur bor untuk memastikan sumber air warga terpenuhi. “Kapasitasnya cukup untuk masyarakat luas.”
Dia pun mendorong warga melapor ke kepolisian terkait tudingan intimidasi.
“Jika ada bukti, silakan laporkan. Jangan bikin framing yang tidak-tidak.”
Solihin bilang, perusahaannya memiliki izin lengkap atas pertambangan itu. Hingga, warga yang merasa ada kejanggalan seharusnya berani melapor dan melampirkan bukti pelanggaran.
“Jangan sampai tambang ilegal malah banyak terjadi, lalu kami yang legal punya izin malah sulit seperti ini.”

*****