- Kementerian Kehutanan mengidentifikasi sekitar 1,9 juta hektar perhutanan sosial akan masuk proyek hutan cadangan pangan, dengan sekitar 1,1 juta hektar akan tanam padi gogo.
- Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengkritik rencana tanam padi gogo di perhutanan sosial. Ide itu, katanya, tidak berdasar penelitian kuat dan cenderung dipaksakan tanpa kajian ekologis maupun sosial memadai. Proyek hutan cadangan pangan di perhutanan sosial bisa mengulangi kegagalan proyek pangan serupa.
- Mufida, peneliti dari FIAN Indonesia mengatakan, proyek inijelas berwatak top-down dan tidak partisipatif mengulangi pola pengembangan proyek pangan seperti skema food estate selama ini. Mulai dari proses identifikasi lokasi, penentuan luas lahan, jenis tanaman pangan, hingga pilihan model budidaya, semua tanpa melibatkan masyarakat sebagai aktor utama.
- Selain prediksi gagal dan memicu konflik agraria, proyek cadangan pangan di perhutanan sosial juga berisiko tinggi menyebabkan deforestasi baru, meskipun pemerintah mengklaim akan menggunakan sistem agroforestri. Faktanya, sebagian besar wilayah itu masih bertutupan hutan baik, hingga sulit membayangkan penanaman tanaman pangan tanpa membuka hutan terlebih dahulu.
Kementerian Kehutanan mengidentifikasi sekitar 1,9 juta hektar perhutanan sosial akan masuk proyek hutan cadangan pangan, dengan sekitar 1,1 juta hektar akan tanam padi gogo.
Proyek ini merupakan bagian dari program strategis seluas 20,6 juta hektar yang digagas oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran, mencakup hutan cadangan untuk kebutuhan pangan, energi, dan air.
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengkritik rencana tanam padi gogo di perhutanan sosial. Ide itu, katanya, tidak berdasar penelitian kuat dan cenderung dipaksakan tanpa kajian ekologis maupun sosial memadai. Proyek hutan cadangan pangan di perhutanan sosial bisa mengulangi kegagalan proyek pangan serupa.
“Proyek-proyek food estate yang selama ini saja banyak gagal, apalagi jika padi gogo ditanam di perhutanan sosial yang memiliki kompleksitas lebih tinggi,” katanya.
Data Kementerian kehutanan, hingga Agustus 2024, luas perhutanan sosial di Indonesia lebih 8 juta hektar. Model ini adalah sistem pengelolaan hutan secara lestari melibatkan masyarakat lokal atau masyarakat adat untuk meningkatkan kesejahteraan, menjaga keseimbangan lingkungan, serta memperkuat dinamika sosial dan budaya.
Skema perhutanan sosial pemerintah terdiri atas lima bentuk pengelolaan, yaitu, hutan desa, hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), hutan adat, dan skema Kemitraan. Hingga kini, sekitar 1,3 juta keluarga dan terdapat 138 komunitas masyarakat adat terlibat aktif dalam pengelolaan perhutanan sosial di berbagai wilayah Indonesia.
Dari 8 juta hektar perhutanan sosial, 1,9 juta hektar melalui Surat Keputusan (SK) definitif, akan jadi bagian dari proyek cadangan pangan. Dari luas itu, sekitar 389.406 hektar dinilai sesuai tanam padi gogo.
Selain itu, dari sekitar 3,7 juta hektar lahan perhutanan sosial yang masih indikati– belum ada surat keputusan–, sekitar 755.932 hektar juga dinilai cocok untuk padi gogo. Jadi, luas perhutanan sosial yang dianggap cocok untuk padi jenis ini sekitar 1.145.338 hektar.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai, proyek hutan cadangan pangan yang akan mengalihkan fungsi hutan untuk padi gogo merupakan langkah keliru. Rencana ini berisiko mengulangi kegagalan proyek-proyek serupa seperti food estate yang sebelumnya pemerintah jalankan dan gagal.
Proyek pangan seperti gagasan Pemerintahan Prabowo-Gibran ini, katanya, bukan pertama kali. Pada 2010, pernah ada proyek serupa dengan nama Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke seluas 1,2 juta hektar. Proyek ini pun gagal.
Pada 2011, Pemerintah Indonesia juga pernah membuat proyek food estate bernama Delta Kayan Food Estate (DeKaFe) di Bulungan, Kalimantan Utara. Di lahan 50.000 hektar, pemerintah menanam kedelai, jagung, kopi, sawit, cabai, cokelat, kelapa, hingga karet. Dampak kerap banjir dan lahan tidak sesuai, proyek itu juga gagal.
Tahun 2020 juga, Pemerintah Indonesia kembali lagi membuat proyek food estate di Kalimantan Tengah di bekas proyek pengembangan pangan satu juta hektar lahan gambut era Orde Baru dengan komoditas padi seluas 30.000 hektar. Lagi-lagi proyekitu pun gagal.
Ironisnya, pada 2021, pemerintah kembali membuat proyek food estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah dengan menanam gandum dan singkong 31.000 hektar. Proyek gagal dan gagal lagi.
Rio, sapaan akrabnya, menyatakan, untuk menjawab kebutuhan pangan, pemerintah seharusnya mengoptimalkan lahan subur di luar kawasan hutan, bukan memaksakan proyek di perhutanan sosial. Dia juga menegaskan pentingnya melibatkan petani, bukan korporasi, serta melindungi wilayah pangan lokal yang ada.
“Perhutanan sosial masih memiliki fungsi hutan yang besar. Jika ditanami padi gogo secara monokultur, fungsi ekologis hutan akan tergerus.”
Fokus utama perhutanan sosial, kata Rio, seharusnya memperkuat fungsi hutan, bukan melemahkan lewat praktik yang berisiko merusak.
Rencana penanaman padi gogo di 1,1 juta hektar perhutanan sosial dia nilai berisiko tinggi, bisa memicu konflik agraria dan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) per Juli 2024 menyebut, PSN telah menyebabkan 134 konflik agraria dengan luas konflik mencapai 571.000 hektar.
Situasi, akan makin buruk kalau korporasi terlibat. Keterlibatan industri, katanya, hanya akan menjadikan proyek ini berorientasi pada keuntungan ekonomi, bukan perlindungan hutan atau kepentingan masyarakat. Artinya, selain meningkatkan eskalasi konflik, proyek ini bisa memicu bencana ekologis.
Walhi mencatat, antara 2015-2022, negara mengalami kerugian Rp101,2 triliun dampak bencana hidrometeorologi oleh perubahan lanskap ekosistem penting seperti hutan. Walhi juga memprediksi, risiko kerugian negara mencapai Rp3.000 triliun kalau proyek pembukaan 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi terus lanjut.
“Proyek hutan cadangan pangan berpotensi menjadi sumber konflik baru dan menggerus sistem pangan lokal. Saya melihat proyek ini menyimpan kepentingan terselubung untuk merampas tanah milik masyarakat,” kata Rio.

Ancam deforestasi
Selain prediksi gagal dan memicu konflik agraria, proyek cadangan pangan di perhutanan sosial juga berisiko tinggi menyebabkan deforestasi baru, meskipun pemerintah mengklaim akan menggunakan sistem agroforestri. Faktanya, sebagian besar wilayah itu masih bertutupan hutan baik, hingga sulit membayangkan penanaman tanaman pangan tanpa membuka hutan terlebih dahulu.
Data Forest Watch Indonesia (FWI) 2025 menunjukkan, hutan alam tersisa sebesar 80,1 juta hektar. Dari jumlah itu, hutan konservasi yang berfungsi sebagai kawasan perlindungan keanekaragaman hayati tersisa 16,2 juta hektar. Sedang hutan lindung yang berperan ekologis menjaga keseimbangan lingkungan tersisa 22,3 juta hektar.
Adapun hutan produksi yang selama ini menjadi sasaran berbagai bentuk eksploitasi, mulai dari pembalakan hingga alih fungsi lahan kini hanya 41,5 juta hektar. Angka-angka ini menggambarkan betapa kritis kondisi hutan di Indonesia. Seharusnya, menjadi perhatian utama dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan.
Tak hanya mencatat kondisi hutan alam yang makin menyusut, FWI juga menyoroti deforestasi di perhutanan sosial. Pada 2017-2023, tercatat lebih 351.000 hektar hutan hilang di kawasan-kawasan yang seharusnya terkelola lestari oleh masyarakat. Menariknya, periode antara 2017-2021, menjadi fase paling kritis, di mana deforestasi mencapai angka 324.000 hektar.
Deforestasi di perhutanan sosial itu mencerminkan makin menyempitnya ruang hutan alam untuk menjalankan fungsi ekologis dan sosialnya. Hal itu dapat terjadi karena di banyak tempat, perhutanan sosial justru ditunggangi korporasi dan elit-elit pemilik tanah dalam skala besar.
Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI, menilai, proyek hutan cadangan pangan di perhutanan sosial mencerminkan disorientasi dan inkonsistensi dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Proyek ini, katanya, berisiko mendorong deforestasi besar-besaran.
“Belum ada proyek hutan cadangan pangan saja, deforestasi sudah terjadi. Apalagi, jika proyek ini tetap jalan tanpa pertimbangan matang,” katanya kepada Mongabay, 20 Mei lalu.
Tak hanya itu, rencana menanam padi gogo di perhutanan sosial juga bertentangan dengan berbagai komitmen Indonesia. Seperti, perlindungan keanekaragaman hayati, pengurangan emisi dalam kerangka nationally determined contributions (NDC), juga pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sebagaimana amanat dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD).
Dia juga menyoroti, kebijakan ini bertolak belakang dengan target FoLU Net Sink 2030 yang justru menekankan pengurangan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan, sebagaimana Kementerian Kehutanan canangkan. Proyek ini juga akan menggerus pangan lokal di setiap daerah itu.
“Rencana menanam padi gogo di perhutanan sosial bisa jadi tidak sesuai kultur budidaya tanaman masyarakat setempat. Sebab, hampir setiap wilayah di Indonesia memiliki pangan lokal sendiri, seperti sagu di Papua.”
Sejalan dengan temuan FIAN Indonesia, yang menunjukkan, produksi pangan monokultur dan dalam skala besar justru mendorong kelangkaan sumber pangan. Padahal, hutan selama ini menjadi sumber pangan melimpah sekaligus wilayah cadangan pangan bagi masyarakat. Namun, fungsi itu makin hilang karena alih fungsi hutan dan lahan.
Mufida, peneliti dari FIAN Indonesia, menilai, konsep agroforestri dalam proyek hutan cadangan pangan perlu lihat lebih mendalam. Tak cukup hanya menerima klaim bahwa agroforestri adalah model pengelolaan yang ramah lingkungan. Untuk itu, katanya, perlu kajian menyeluruh untuk memastikan praktik sejalan dengan prinsip keberlanjutan dan tak merugikan masyarakat.
“Pertanyaannya, seperti apa kondisi tegakan pohon atau tipe hutan di lokasi-lokasi perhutanan sosial yang menjadi sasaran pengembangan padi gogo ini? Apakah struktur vegetasi memungkinkan penerapan agroforestri ideal?” katanya kepada Mongabay, 21 Mei 2025.
Selama perhutanan sosial tidak berada di hutan lindung, budidaya tanaman sela seperti padi gogo masih bisa menggunakan input kimia, termasuk pupuk fosfor (P). Masalahnya, dalam praktik, tanaman sela harus mampu bersaing untuk mendapatkan cahaya matahari karena tegakan pohon cukup rapat dapat menghambat penetrasi cahaya langsung ke tanaman bawah.
Penelitian tentang budidaya padi gogo dalam sistem agroforestri dengan tegakan pohon sengon, jadi referensi Mufida. Dari sana menunjukkan, meskipun pohon sengon membantu meningkatkan kesuburan tanah melalui fiksasi nitrogen (N), budidaya padi gogo tetap memerlukan tambahan pupuk fosfor (P) untuk tumbuh optimal.
Berarti, walaupun terbungkus dalam narasi keberlanjutan, proyek ini tetap bersandar pada model pertanian skala luas yang padat input dan dalam kendali korporasi baik aspek benih, lahan, bahan kimia, hingga tenaga kerja.
Kondisi ini, katanya, mengaburkan tujuan awal perhutanan sosial sebagai bentuk pengelolaan berbasis masyarakat, dan membuka ruang dominasi aktor-aktor besar dalam rantai pasok pangan nasional.
“Melihat kondisi tersebut, patut dipertanyakan: industri agrokimia mana yang akan mendapat ‘jatah’ dari proyek besar ini—mulai dari benih hingga input kimia? Meskipun dikemas dalam konsep agroforestri, proyek ini tetap menggunakan sistem produksi padi gogo skala luas yang bergantung pada lahan, benih yang dikendalikan korporasi, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja.”
Bukan hanya itu, kata Mufida, penelitian itu memperlihatkan, rendahnya intensitas cahaya di bawah tegakan sengon meningkatkan potensi gabah hampa pada padi gogo.
Sederhananya, kalau pemerintah menargetkan produksi padi gogo tinggi di wilayah perhutanan sosial, harus mengurangi bahkan bisa jadi menghilangkan tegakan pohon yang menghalangi masuknya cahaya matahari.
Dengan demikian, upaya mengejar produksi padi gogo di wilayah perhutanan sosial atas nama ketahanan pangan justru berisiko mendorong alih fungsi hutan dan memicu gelombang deforestasi baru. Proyek ini cenderung lebih menguntungkan industri besar ketimbang memperkuat kemandirian petani atau komunitas lokal.
Meskipun diklaim sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan berbasis agroforestri dan perhutanan sosial, katanya, secara struktural proyek ini masih bergantung pada model produksi korporasi. Ia dapat mengulang pola lama, masyarakat hanya jadi tenaga kerja, sedang nilai tambah ekonomi oleh industri hulu dan hilir yang menguasai rantai pasok.
“Yang diuntungkan justru korporasi, masyarakat atau petani justru terpinggirkan dari wilayah kelola mereka sendiri,” ujar Mufida.

Tak partisipatif, bagaimana nasib warga?
Sebenarnya, sebelum proyek hutan cadangan pangan, skema perhutanan sosial sudah menuai kritik. Skema ini dinilai belum mampu mendorong kelestarian lingkungan maupun kemandirian ekonomi masyarakat dari sektor hutan.
Setelah dapat izin perhutanan sosial, kata Anggi, tak ada upaya serius pemerintah meningkatkan kapasitas masyarakat sebagai pemegang izin baik dalam kelembagaan, pengelolaan kawasan, maupun pengelolaan usaha. Inilah yang menjadi akar persoalan inkonsistensi di tingkat tapak.
“Di tingkat tapak, implementasi skema perhutanan sosial justru menunjukkan anomali, karena tidak sejalan dengan tujuan utamanya.”
Jadi, kata Anggi, skema perhutanan sosial ini “bermasalah” karena tidak ada dukungan kelembagaan yang kuat, kemampuan pengelolaan kawasan memadai, maupun kapasitas usaha di tingkat tapak. Ironisnya, dalam kondisi seperti ini, pemerintah justru mendorong penanaman padi gogo di perhutanan sosial alih-alih memperkuat fondasi dasar pengelolaannya terlebih dahulu.
FIAN Indonesia juga mengkritik skema perhutanan sosial yang tidak menyentuh akar persoalan konflik tenurial dan tidak bisa dianggap sebagai bagian dari reforma agraria sejati.
Skema ini, kata Mufida, hanya memberikan akses terbatas untuk mengelola kawasan hutan dengan berbagai ketentuan yang tidak partisipatif dan masih dominan logika kontrol negara atas tanah.
“Akses tersebut pun dibatasi ketentuan-ketentuan administratif yang seringkali tidak disusun secara partisipatif. Relasi kuasa antara negara dan masyarakat sekitar kawasan hutan tetap tidak setara sejak awal proses program ini berjalan,” katanya.
Dalam penelitian Mufida, menemukan, perhutanan sosial pada dasarnya bentuk pseudo common property, yaitu, sistem yang tampak seolah-olah melepaskan kontrol negara atas tanah kepada masyarakat, kenyataan hak tetap berada di bawah rezim negara. Masyarakat, hanya dapat hak kelola terbatas, tanpa jaminan legal atas kepemilikan tanah itu sendiri.
Kondisi inilah yang menjelaskan mengapa pemerintah merasa berwenang untuk secara sepihak menunjuk 1,9 juta hektar lahan perhutanan sosial sebagai lokasi proyek pengembangan agroforestri pangan, tanpa harus melibatkan pemegang hak kelola dalam proses pengambilan keputusan.
Proyek ini, kata Mufida, jelas berwatak top-down dan tidak partisipatif mengulangi pola pengembangan proyek pangan seperti skema food estate selama ini. Mulai dari proses identifikasi lokasi, penentuan luas lahan, jenis tanaman pangan, hingga pilihan model budidaya, semua tanpa melibatkan masyarakat sebagai aktor utama.
Lebih ironis lagi, katanya, obyek perhutanan sosial yang akan tanam padi gogo dikelola lebih satu juta keluarga. Namun, keberadaan mereka tidak jadi pertimbangan utama dalam perencanaan proyek.
Ini menunjukkan pengabaian terhadap prinsip dasar reforma agraria sejati, pengakuan, perlindungan, dan redistribusi hak atas tanah kepada rakyat.
Bayangkan, kata Mufida, mereka yang selama ini mengelola lahan perhutanan sosial akan menghadapi risiko sama seperti terjadi dalam proyek food estate di Sumatera Utara. Warga menjadi buruh di atas lahan yang mereka rawat dan kelola bertahun-tahun.
Dalam konteks proyek padi gogo, katanya, para petani di perhutanan sosial berisiko meninggalkan sistem budidaya yang mereka kembangkan mandiri. Contoh, mereka yang menanam kapulaga di sela tegakan pohon sebagai bagian dari strategi agroekologi berbasis kearifan lokal akan berubah ke padi gogo.
“Kini, mereka yang sebelumnya memiliki otonomi sebagai pesanggem atau petani mandiri justru dihadapkan pada kemungkinan menjadi buruh tani dalam proyek food estate. Mereka akan mengerjakan sesuatu yang tidak mereka rancang, tidak mereka pilih, dan tidak mereka kuasai.”
Dia bilang, posisi petani akan bergeser dari pengelola aktif menjadi tenaga kerja pasif dalam proyek pemerintah yang berwatak top-down.
“Lebih dari sekadar kehilangan kendali atas tanah, petani juga akan kehilangan posisi tawar, kehilangan martabat, dan kehilangan perlindungan ekologis. Proyek ini sendiri berpotensi gagal dan merusak kawasan hutan yang selama ini mereka rawat.”
Menurut Mufida, masalah mendasar yang seharusnya jadi fokus penyelesaian adalah penggusuran petani sebagai aktor utama dalam produksi pangan. Pendekatan pemerintah saat ini, katanya, justru mempercepat proses itu.
Melalui skema-skema proyek seperti food estate dan agroforestri pangan, katanya, petani tak lagi sebagai subjek utama, tereduksi menjadi buruh tani. Bahkan seringkali tanpa upah layak, dalam model pertanian kontrak atau kemitraan semu yang tidak berpihak kepada mereka.
Alih-alih memperkuat posisi petani, pendekatan ini meminggirkan mereka dari pengambilan keputusan atas tanah, jenis tanaman, sistem budidaya, hingga distribusi hasil.
Dalam banyak kasus, katanya, kemitraan hanya menjadi pembenaran administratif atas pengambilalihan kontrol produksi oleh negara dan korporasi.
Lebih jauh lagi, persoalan ketersediaan bahan pangan tidak akan pernah benar-benar terjawab selama pemerintah tetap terjebak dalam paradigma sempit yang mengagung-agungkan produksi padi sebagai satu-satunya tolok ukur ketahanan pangan.
Menurut dia, paradigma itu tidak hanya usang, juga berbahaya karena mengabaikan pentingnya diversifikasi dan keanekaragaman pangan, yang sejatinya jauh lebih relevan dengan upaya mewujudkan kedaulatan pangan dan kelestarian ekologi.
“Seharusnya, yang dilakukan adalah mengidentifikasi sistem pangan lokal yang sudah ada, lalu memberikan fasilitasi agar sistem tersebut semakin kuat dan berdaya. Bukan justru membawa proyek dari luar dan memaksakan ambisi yang tidak lahir dari kebutuhan masyarakat.”
*******