Ketimpangan kuasa tanah begitu besar di Indonesia hingga menciptakan berbagai persoalan, salah satunya, konflik agraria dan sumber daya alam. Tanah-tanah di negeri ini, banyak dalam kuasa negara dan skala besar, sedang rakyat terhimpit. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 17,25 juta keluarga petani hanya menguasai tanah di bawah 0,5 hektar. Pendapatan harian petani gurem hanya sekitar Rp50.000. Sejak 60 tahun lalu, sebenarnya Indonesia sudah punya UU Pokok Agraria (UUPA) 5/1960 berlaku di Indonesia. Regulasi yang lahir pada era Presiden Sukarno ini semula bertujuan menghapus ketimpangan penguasaan tanah warisan kolonial dan menjamin keadilan bagi petani. Sayang sekali, hingga kini ketimpangan kuasa tanah makin jomplang. Masyarakat adat/lokal, termasuk petani banyak kehilangan ruang hidup mereka. Konflik agraria pun terjadi di berbagai penjuru Indonesia antara masyarakat dengan perusahaan maupun negara. Catatan KPA, selama 10 tahun terakhir (2015-2024), terjadi 3.234 letusan konflik agraria seluas 7,4 juta hektar. Ia berdampak pada 1,8 juta keluarga kehilangan tanah, kehilangan mata pencaharian, dan masa depan. Konflik agraria dan sumber daya pun menahun tak ada penyelesaian berarti, muncul kasus-kasus baru ketika penguasaan tanah skala besar terus terjadi melalui berbagai investasi dan proyek skala besar atas nama pembangunan. Akankah ada keseriusan pemerintah untuk benar-benar menjalankan reforma agraria untuk memberikan keadilan agraria kepada rakyatnya yang selama ini terpinggirkan?