- Akhirnya, DPR membentuk Panitia Khusus Penyelesaian Konflik Agraria pada 2 Oktober lalu. Pansus ini berisi 30 anggota DPR dari delapan partai politik. Harapannya, pansus dapat menangani 24 masalah struktural agraria yang mengakibatkan penjarahan tanah dan air secara sistematis.
- Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR yang memimpin rapat paripurna mengatakan, pembentukan pansus ini berdasarkan hasil rapat konsultasi pengganti rapat badan musyawarah DPR 1 Oktober 2025.
- Ketimpangan penguasaan tanah merupakan masalah lama negeri ini, dan makin parah pada era Presiden Joko Widodo hingga Presiden Prabowo Subianto. Mengutip indeks ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia, 1% kelompok elit menguasai 58% tanah, kekayaan alam, dan sumber produksi. Sementara, 99% penduduk berebut sisanya.
- Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA mengapresiasi pembentukan panitia ini. Selama ini, petani harus berhadapan dengan korporasi yang bersifat liberal dan kapitalistik dengan beking pemerintah berdalih pengembangan ekonomi. Kondisi ini, justru menimbulkan kemiskinan struktural lantaran lahan petani yang menjadi sumber penghidupan terampas.
“Tanah untuk rakyat, tanah untuk rakyat, tanah untuk rakyat.” Begitu teriakan massa dari organisasi tani dan masyarakat sipil saat aksi mengawal pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Penyelesaian Konflik Agraria di depan Gedung DPR, Jakarta, 2 Oktober 2025.
Terik siang tak membuat mereka gentar menyuarakan keresahan mengenai ketimpangan dan konflik agraria yang selama ini menjadi masalah tak berujung.
Mereka ingin memastikan para legislator dan presiden, benar-benar untuk kepentingan rakyat dan keadilan agraria lewat pembentukan Pansus Penyelesaian Konflik Agraria.
Para petani kompak mengenakan topi caping, khas petani, sambil menenteng poster tuntutan. Sejumlah spanduk berukuran besar juga bentangkan di depan pintu gerbang gedung parlemen.
“Tanah Untuk Rakyat, Bank Tanah Rampas Tanah Rakyat Hambat Reforma Agraria dan Kawal Pembentukan Pansus Penyelesaian Konflik Agraria.”
Desakan pembentukan pansus itu atas permintaan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan berbagai organisasi tani maupun masyarakat sipil saat peringatan Hari Tani Nasional 24 September lalu.
Saat perwakilan mereka audiensi di parlemen, DPR berjanji membentuk pansus.
“Kami menginginkan ada perubahan fundamental, perubahan paradigmatik, perubahan cara-cara negara mengurus agraria dan sumber-sumbernya kekayaan alam di seluruh wilayah tanah air,” kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA.

Harapannya, pansus dapat menangani 24 masalah struktural agraria yang mengakibatkan penjarahan tanah dan air secara sistematis.
Dewi bilang, mereka menginginkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan UUD 1945 Pasal 33 ayat 3. Bunyi pasal itu, “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” betul-betul dijalankan.
Selama puluhan tahun, masyarakat harus berhadapan dengan tabiat pemerintah yang selayaknya penjajah. Meskipun ada UUD 1945, katanya, pemerintah terus melakukan perampasan tanah dengan dalih pembangunan.
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5/1965 yang digemborkan pemerintah buat menghapus ketimpangan penguasaan tanah dan penyelesaian konflik agraria serta memberi keadilan bagi petani seakan tak berlaku.
Alih-alih kesejahteraan, pemerintah lantas memberikan karpet merah untuk korporasi menguasai lahan dan mengeksploitasi sumber daya alam, tanpa mempertimbangkan nasib masyarakat.
“Tanah rakyat terus dirampas. Kekayaan alam kita terus dieksploitasi dan dirusak dan monopoli penguasaan tanah dibiarkan,” kata Dewi.

Konflik agraria
Ketimpangan penguasaan tanah merupakan masalah lama negeri ini, dan makin parah pada era Presiden Joko Widodo hingga Presiden Prabowo Subianto.
Mengutip indeks ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia, 1% kelompok elit menguasai 58% tanah, kekayaan alam, dan sumber produksi. Sementara, 99% penduduk berebut sisanya.
Nusron Wahid, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sempat katakan, sekitar 46% lahan non-hutan dalam kuasa segelintir perusahaan hanya 60 keluarga.
Dari 70 juta hektar tanah non-hutan, sekitar 30 juta hektar dalam bentuk hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB) oleh sekitar 3.500 perusahaan. Mereka ini terafiliasi dengan 60 keluarga konglomerat di Indonesia.
“Kita ingin tidak ada lagi perampasan-perampasan tanah rakyat dari Aceh sampai Papua, kita menginginkan keadilan agraria itu betul-betul diwujudkan,” kata Dewi.
Dia juga menyinggung perampasan lahan yang masyarakat adat alami. Data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), hingga Agustus 2025, sebanyak 1.633 wilayah adat seluas 33,6 juta hektar telah teregistrasi.
Sayangnya, baru 320 wilayah adat seluas 6.3 juta hektar yang diakui secara hukum melalui peraturan atau keputusan kepala daerah.
Bahkan, kata Dewi, angka itu lebih kecil bila dibandingkan luas konsesi di wilayah adat yakni, 7,3 juta hektar.

Dia bilang, masalah ketimpangan lahan ini berdampak pada konflik agraria. Catatan KPA, selama 10 tahun terakhir (2015-2024), terjadi 3.234 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 7,4 juta hektar. Ia berdampak pada 1,8 juta keluarga yang kehilangan tanah, kehilangan mata pencaharian, dan masa depan.
“Bahkan, kriminalisasi terhadap petani dan para aktivis pejuang hak atas tanah terjadi 79 kehilangan nyawa karena mempertahankan tanahnya selama 10 tahun terakhir itu.”
Selama ini, petani harus berhadapan dengan korporasi yang bersifat liberal dan kapitalistik dengan beking pemerintah berdalih pengembangan ekonomi.
Kondisi ini, katanya, justru menimbulkan kemiskinan struktural lantaran lahan petani yang menjadi sumber penghidupan terampas.
“Kementerian-kementerian itu tidak serius mengurusi tanah-tanah untuk rakyat tidak serius melindungi petani, tidak serius melindungi masyarakat adat,” kata Dewi.
Badan Bank Tanah bentukan pemerintah untuk memastikan tanah bagi petani justru hanya jadi dalih. Kenyataan, justru cenderung mengabaikan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Bank tanah yang pemerintah anggap sebagai jalan keluar untuk reforma agraria malah makin rentan memunculkan konflik bagi petani, komunitas lokal maupun masyarakat adat.
Dewi bilang, Badan Bank Tanah yang mulanya masuk lewat RUU Pertanahan sempat KPA dan koalisi masyarakat sipil tolak. Badan ini tetap terbentuk lewat UU Cipta Kerja.
“Dalam aksi ini kami menuntut pembekuan Badan Bank Tanah. Karena kepentingannya bukan untuk reforma agraria, tapi menyediakan tanah untuk investor.”

Pansus terbentuk
DPR resmi mengesahkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Penyelesaian Konflik Agraria. Pengesahan pansus dalam rapat Paripurna VI masa sidang I 2025-2026 di Gedung Nusantara II DPR, Jakarta Pusat, 2 Oktober lalu.
Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR yang memimpin rapat paripurna mengatakan, pembentukan pansus ini berdasarkan hasil rapat konsultasi pengganti rapat badan musyawarah DPR 1 Oktober 2025. Dia pun meminta persetujuan kepada para legislator yang hadir dalam rapat.
“Terhadap tim pansus penyelesaian konflik agraria dan susunan keanggotaannya apakah dapat disetujui?” tanya Dasco.
Para legislator pun kompak menyetujui.
“Dengan demikian susunan tim pansus penyelesaian konflik agraria telah disahkan,” kata Dasco.
Pansus beranggotakan 30 orang.
Dewi mengapresiasi pembentukan pansus ini. Ia jadi kemenangan kecil karena selama ini rencana pembentukan selalu disabotase pihak-pihak yang tak ingin ada agenda reforma agraria.
“Kami akan terus mengawal dan memastikan bahwa kesepakatan political will dari DPR tidak berubah, tetap konsisten, dan tetap lurus.”
Dia mengingatkan, reforma agraria adalah agenda Presiden Prabowo dalam Asta Cita 2. Pansus ini, katanya, harus konsisten, bertanggung jawab dan mengawasi kementerian serta lembaga yang selama ini menjadi penghambat reforma agraria.
“Harus mencari solusi mendesakkan terobosan-terobosan kepada para menteri tidak boleh lagi alasan-alasan klasik misalnya soal tidak ada anggaran, ada ego sektoral, ada hambatan hukum itu tidak lagi bisa dilanjutkan.”
Akselerasi reforma agraria yang selama ini hanya menjadi tanggung jawab kementerian justru tidak bisa menjadi jalan keluar untuk penyelesaian konflik.
Sebaliknya, reforma agraria yang bertujuan untuk keadilan sosial bagi rakyat lantas kalah dengan kepentingan korporasi besar yang mendapat karpet merah oleh pemerintah.
Menurut Dewi, dengan pelbagai masalah yang muncul, reforma agraria tak bisa lagi Kementerian ATR/BPN atau Kementerian Koordinator Perekonomian tangani. Sebab, konflik agraria kerap berkaitan dengan BUMN.
“Jadi harus langsung dipimpin oleh presiden, kenapa harus oleh presiden? supaya menteri-menteri yang sengaja menghambat reforma agraria bisa langsung diganti.”
Dia mendesak Prabowo melek dengan segala persoalan agraria yang telah membuat masyarakat menderita.
Faktanya, monopoli penguasaan tanah oleh korporasi menyebabkan konflik agraria yang berdampak pada kemiskinan. Petani tak lagi sejahtera karena tanah terampas.
“Presiden harus memastikan, Presiden tidak boleh pilih kasih, Presiden tidak boleh menganaktirikan agenda tanah untuk rakyat Kalau memang mau kembali ke Pasal 33 ayat 3 yang sering disampaikan Prabowo dalam pidatonya.”

Akankah jawab keresahan petani?
Hesti Indriani dari Persaudaraan Petani Suryakencana Sukabumi (PPSS) mengatakan, selama ini petani tidak mendapatkan kepastian hak atas tanah untuk menggarap pertanian. Saat ini, PPSS menggarap lahan eks HGU PTPN 8 yang mencakup sekitar 187 hektar.
Mereka berjuang untuk hak atas tanah dan berupaya meningkatkan kesejahteraan petani melalui kegiatan agraris berkelanjutan, seperti budidaya alpukat,. Mereka mengelola lahan secara mandiri dan menguntungkan.
Dia bilang, keinginan petani sederhana, hanya ingin diberikan kejelasan hak atas tanah untuk bertani. Sebab, sebagian besar masyarakat Desa Suryakencana mengandalkan pertanian untuk hidup.
“Jadi kami yg menempati tempat tersebut bingung harus pergi kemana gitu jadi sebenarnya dari kami hanya ingin ada keadilan bagi petani.”
Hesti bilang, para petani resah karena ketidakpastian ini. Satu sisi, katanya, pemerintah mengizinkan petani menggarap tanah itu tetapi tak mendapat kepastian hak tanah. Mereka pun was-was, suatu saat dan tidak bisa bertani lagi.
“Petani ini kan punya regenerasi, anak dan cucu. Kalau tidak ada kejelasan, bagaimana nasib regenerasi petani?”
Dia pun tak habis pikir kepada pemerintah yang tidak berpihak kepada para petani. Padahal, petani merupakan pihak penopang perekonomian.
Meski ada regulasi yang mengatur hak petani, namun, katanya itu hanya angin segar saja. Pada kenyataannya, para petani hidup dalam ketidakpastian.
PPSS pun gusar ketika pemerintah justru memberikan hak atas tanah kepada korporasi ketimbang petani yang bertahun-tahun memperjuangkan hak atas tanah.
Padahal, kata Hesti, petani sudah mengajukan hak kepada pemerintah namun tidak kunjung ada kejelasan.
“Kalau kita menggunakan tanah tanpa kepastian, entah besok atau kapan bisa saja datang dari Bank Tanah atau dari pihak mana mengakui tanah garapan kami dan mengusir kami.”

Dia pun berharap dengan Pansus Penyelesaian Konflik Agraria, benar-benar mendorong para petani mendapatkan hak.
Senada Abay Haetami, Ketua Pergerakan Petani Banten (P2B) sampaikan. Dia bilang, anggota P2B di desa Gunung Anten, Lebak, Banteng memang sudah mendapat hak atas tanah komunal untuk menggarap pertanian setelah melewati jalan panjang perjuangan.
Pada Oktober 2023, Satuan Tugas LPRA pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyepakati objek 195 bidang tanah seluas 127 hektar untuk petani Gunung Anten, anggota P2B.
Lahan jadi 12 sertifikat tanah komunal atau sertifikat kepemilikan bersama.
Mereka berhasil menguasai lahan eks HGU PT The Bantam Preanger dan Rubber (Bantam). Perusahaan pengolahan karet ini menguasai HGU seluas 1.100 hektar di empat kecamatan yakni Cileles, Bojongmanik, Cimarga dan Kecamatan Leuwidamar.
Meski begitu, para petani masih mendapat gangguan, salah satunya dari ormas yang hendak menguasai lahan.
Satu sisi, penguasaan hak atas tanah ini, kata Abay, hanyalah sebagian kecil yang P2B peroleh. Masih banyak anggota P2B belum mendapat hak serupa.
“Anggota P2B bukan cuma di Gunung Anten. Masih banyak anggota kita yang bermasalah, baik dengan PTPN atau HGU eks perusahaan.”
Abay harap, dengan pansus, para petani bisa mendapat keadilan dan perlindungan.
*****
Hari Tani 2025: Kuasa Tanah Timpang, Konflik Agraria Terus Terjadi