- Pemerintah berkomitmen menyelesaikan konflik antara Kelompok tani Padang Halaban Sekitarnya (KTHPS) dengan perusahaan sawit PT Sinar Mas Agro Resources and Technology. Kali ini, mereka akan menempatkan hak asasi manusia (HAM) sebagai landasan utama penyelesaian sengketa lahan.
- Mugianto, Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), menyampaikan hal itu saat berdialog dengan kelompok masyarakat petani di Padang Halaban, Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara, Sabtu (17/5/2025). Ia menyatakan akan menindaklanjuti aduan warga bersama kementerian terkait, seperti ATR/BPN, Polri, dan BUMN.
- Misno, Ketua KTPHS, berharap Kementerian HAM bisa membantu mereka dapatkan kembali hak-hak mereka yang terampas. Dia pun memaparkan sejarah desa yang mereka tinggali.
- Quadi Azam, Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan (SIKAP), menyatakan, Kementerian HAM perlu menunjukkan upaya konkret dalam mendorong perusahaan di Padang Halaban untuk memiliki science of humanity ataupun science of business. Juga, perspektif HAM yang jelas
Pemerintah berkomitmen menyelesaikan konflik antara Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya (KTHPS) dengan perusahaan sawit, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART). Kali ini, mereka akan menempatkan hak asasi manusia (HAM) sebagai landasan utama penyelesaian konflik lahan ini.
Mugianto, Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), menyampaikan itu saat berdialog dengan kelompok masyarakat petani di Padang Halaban, Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara, Sabtu (17/5/25). Dia menyatakan, akan menindaklanjuti aduan warga bersama kementerian terkait, seperti Kementerian ATR/BPN, Polri, dan Kementerian BUMN.
“Tak boleh ada intimidasi terhadap warga dalam menyelesaikan konflik atas hak akan tanah garapan di Padang Halaban ini,” katanya.
Meski kementerian tidak berhubungan langsung dengan isu pertanian, tetapi kedatangannya untuk mendengarkan keluhan masyarakat. Harapannya, bisa memberikan masukan dan solusi dalam penyelesaian konflik berlarut ini.
Menurut dia, konflik yang terjadi merupakan masalah kemanusiaan. Maka penyelesaian harus dengan langkah baik bagi semua pihak, harus tanpa kekerasan dan intimidasi.
Dia bilang, masalah Padang Halaban sudah publik ketahui secara umum, bahkan sampai ke dewan hak asasi manusia PBB di Jenewa. Meski demikian, dia berharap penyelesaian tidak perlu sampai berlarut jauh ke Jenewa.
“Kami akan mencari jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah ini ke depannya. Dalam persoalan HGU (hak guna usaha), akan berupaya sebisa mungkin mencari jalan terbaiknya. Tetapi kita harus patuh terhadap aturan hukum yang berlaku.”
Misno, Ketua KTPHS, berharap Kementerian HAM bisa membantu mereka dapatkan kembali hak-hak mereka yang terampas. Dia pun memaparkan sejarah desa yang mereka tinggali.
Masih terang dalam ingatannya saat dia, ayahnya, serta ratusan warga yang merupakan eks pekerja perkebunan perusahaan asing membangun kampung lima tahun pasca kemerdekaan Indonesia. Para pengusaha perkebunan meninggalkan lahan-lahan mereka lalu keluar dari Indonesia.
Setelah itu, pemerintah menginstruksikan para pekerja yang ditinggalkan begitu saja untuk membangun perkampungan dan menempatinya.
“Kakek dan nenek serta orang tua saya bersama dengan ratusan eks pekerja perkebunan mulai membangun perkampungan ini untuk menjadi tempat tinggal dan ruang berteduh di hari tua,” katanya, nyaris menangis.
Saat itu, pemerintah memberikan surat tanda kepemilikan tanah pada masing-masing warga. Total luas wilayah mencapai kurang lebih 3.000 hektar. Masyarakat yang menetap di wilayah itu pun mendirikan enam desa sebagai pemukiman.
Beberapa tahun kemudian, pemerintah kembali meminta dan mengumpulkan surat-surat itu dengan dalih akan memperbaharuinya. Namun, tidak pernah ada pengembalian surat tersebut. Warga pun justru kena usir dari areal lahan itu.
“Kami diusir paksa dari desa yang kami bangun dengan susah payah. Mesti begitu, kami terus berjuang walau hanya mampu menguasai kembali lahan seluas 83,5 hektar saja.”
Saa ini, ada sekitar 320 kepala keluarga yang menghuni lahan 83,5 hektar yang menjadi objek sengketa antara perusahaan dan warga KTPHS tersebut. Warga yang tergabung dalam kelompok tani telah menetap dan mengolah lahan tersebut selama 16 tahun untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Perlu bukti konkret
Quadi Azam, Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan (SIKAP), menyatakan, Kementerian HAM perlu menunjukkan upaya konkret dalam mendorong perusahaan di Padang Halaban untuk memiliki science of humanity ataupun science of business. Juga, perspektif HAM yang jelas.
“Bagaimana mendorong kebijakan berpihak kepada penegakan, pemenuhan serta pemulihan hak asasi manusia di lokasi konflik tersebut dan pada umumnya di semua wilayah konflik di Sumatera Utara maupun Indonesia,” katanya pada Mongabay, Sabtu (18/5/25).
Menteri HAM, patut mengawal dengan membuat kajian konkret, baik di wilayah konflik Padang Halaban, maupun di wilayah lain seperti Gorila, di Pematang Siantar. Saat ini, kelompok tadi di wilayah itu juga berkonflik dengan PTPN IV ihwal hak atas tanah garapan.
Untuk itu, pemerintah harus bisa memastikan uji tuntas pemenuhan dan pemulihan HAM sebagaimana mandat UN Guiding Principle on Business and Human Rights. Di dalamnya, termuat beberapa hal yang bisa menguji pendekatan yang bisnis pakai.
Misal, apa yang perusahaan bisa lakukan dalam menghormati hak-hak asasi manusia, bagaimana perusahaan menyelesaikan dampak pelanggaran hak asasi atau bagaimana memutus rantai pelanggaran hak asasi supaya tidak berkelanjutan. Juga, bagaimana upaya perusahaan dengan dorongan aktif pemerintah dorong memutus pelanggaran hak asasi. Panduan ini bisa pemerintah pakai dan turunkan lebih jelas dalam kebijakan internal Kementerian HAM, sehingga dapat mendorong semua pihak menaatinya.
“Walaupun di sisi lain ada putusan hukum, tetapi ini berkaitan dengan hal lebih luas, yaitu masa depan penegakan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia di Indonesia. Bagaimana menjalankan proses bisnis di era pemerintahan Prabowo, tentu harapannya ada perbedaan dalam hal pendekatan-pendekatan penyelesaian konflik di akar rumput.”
Menteri HAM juga dia minta mengoordinasikan hal ini pada kementerian lain yang berkaitan dengan perusahaan negara supaya mereka memberikan solusi konkret, bukan malah ego sektoral. Supaya ada penyelesaian konflik terhadap perusahaan swasta maupun negara.
Azam bilang, kegagalan dalam menangani pelanggaran atau potensi pelanggaran HAM di lingkaran bisnis akan membuat percuma keberadaan Kementerian HAM di era Prabowo. Kementerian anyar ini cuma pencitraan di tingkat global akan komitmen HAM, tetapi tidak ada praktik konkret mengatasi persoalan yang ada.
Untuk mencegah itu, Kementerian HAM bisa memantau konflik-konflik agraria lewat Kanwil HAM.
“Kanwil HAM di wilayah Sumut bisa berkoordinasi dengan gubernur dan Kanwil yang ada kaitanya dengan agraria seperti ATR/BPN.”
Sumut memiliki Peraturan Gubernur Sumatera Utara tentang Gugus Tugas Daerah Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Regulasi ini mencantumkan langkah mendorong penyelesaian perusahaan-perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat, atau berpotensi dalam rantai perusahaannya melanggar hak asasi.

*****
Asa Petani Padang Halaban Ingin Hidup Tenang di Tanah Harapan