- Lebih sebulan Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR mengesahkan Panitia Khusus (Pansus) Penyelesaian Konflik Agraria, dalam rapat Paripurna pada 2 Oktober lalu. Hingga kini, kinerja pansus itu tak terdengar di telinga publik.
- Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menagih janji kinerja pansus yang terbentuk sesuai kesepakatan antara petani dengan pimpinan DPR pada peringatan Hari Tani Nasional, 24 September lalu.
- Rocky Pasaribu, Direktur Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) mengatakan, seharusnya pansus bisa menjadi terobosan politik untuk menyelesaikan akar persoalan agraria yang terjadi secara struktural. Selama ini, penyelesaian konflik agraria hanya bertumpu pada Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), tim lintas sektor yang dibentuk berdasarkan Perpres 86/2018. Bambang Purwanto, anggota Pansus Penyelesaian Konflik Agraria mengatakan, pansus akan menggelar rapat perdana untuk menetapkan ketua. Meski begitu, pansus sudah aktif mengumpulkan pelbagai persoalan agraria di lapangan, seperti konflik masyarakat dengan korporasi, Kementerian Kehutanan dengan Kementerian ATR/BPN, antara korporasi dengan kehutanan, hingga sengketa wilayah desa dengan kawasan hutan.
- Bambang Purwanto, anggota Pansus Penyelesaian Konflik Agraria mengatakan, pansus akan menggelar rapat perdana untuk menetapkan ketua. Meski begitu, pansus sudah aktif mengumpulkan pelbagai persoalan agraria di lapangan, seperti konflik masyarakat dengan korporasi, Kementerian Kehutanan dengan Kementerian ATR/BPN, antara korporasi dengan kehutanan, hingga sengketa wilayah desa dengan kawasan hutan.
Lebih sebulan Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR mengesahkan Panitia Khusus (Pansus) Penyelesaian Konflik Agraria, dalam rapat Paripurna pada 2 Oktober lalu. Hingga kini, kinerja pansus itu tak terdengar di telinga publik.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menagih janji kinerja pansus yang terbentuk sesuai kesepakatan antara petani dengan pimpinan DPR pada peringatan Hari Tani Nasional, 24 September lalu.
Dia bilang, pansus yang beranggotakan 30 orang dari delapan fraksi DPR itu, hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda bekerja untuk menindaklanjuti aspirasi rakyat ihwal percepatan penyelesaian konflik agraria.
“Belum ada tanda pansus bekerja untuk mendorong langkah-langkah percepatan pelaksanaan reforma agraria sekaligus mengevaluasi kinerja kementerian atau lembaga yang sering menjadi penghambat penyelesaian konflik agraria,” katanya dalam konferensi pers, Minggu (16/11/25).
Rocky Pasaribu, Direktur Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) mengatakan, seharusnya pansus bisa menjadi terobosan politik untuk menyelesaikan akar persoalan agraria yang terjadi secara struktural.
Selama ini, penyelesaian konflik agraria hanya bertumpu pada Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), tim lintas sektor yang dibentuk berdasarkan Perpres 86/2018.
Menurut Rocky, keberadaan GTRA tak membuat agenda reforma agraria menjadi mudah. Justru birokrasi eakin panjang dan berbelit hingga membuat macet penyelesaian konflik.
“Kami selalu dipingpong antara pemerintah kabupaten, provinsi hingga pemerintah pusat.”
Dia bilang, banyak masyarakat adat yang sudah mendapatkan surat keputusan (SK) pengakuan hutan adat, tetapi belum bisa menguasai penuh tanah dan wilayah adat mereka karena panjangnya birokrasi.
“Satu kasus untuk Pandumaan-Sipituhuta saja kami butuh 13 tahun untuk menyelesaikannya, sehingga kita tidak bisa lagi fokus kasus per kasus untuk penyelesaian konflik agraria,” katanya.
Kinerja buruk GTRA juga dikeluhkan Sugeng Petrus, Ketua Serikat Tani Mandiri Cilacap. Dia menyebut, gugus tugas itu justru mengukuhkan klaim Perhutani di atas tanah garapan masyarakat.

Sugeng berharap, pansus dapat menyelesaikan konflik petani dengan Perhutani itu. Juga mengevaluasi dua lembaga negara, yakni Perhutani dan PTPN.
“Kelembagaan yang ada saat ini justru kontraproduktif dengan penyelesaian konflik agraria.”
Adapun tugas pokok pansus ialah mengidentifikasi konflik agraria struktural yang melibatkan lembaga negara dan korporasi besar.
Lalu, pansus bertugas mengevaluasi dan mengawasi kinerja lembaga negara di bidang agraria seperti Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kehutanan, Bank Tanah, Perhutani, PTPN, Kementerian Dalam Negeri, BUMN, hingga TNI/Polri yang kerap dilibatkan dalam konflik agraria.
Pansus juga bertugas mengurai tumpang-tindih regulasi dan kewenangan, serta memediasi penyelesaian konflik dengan memanggil pemerintah pusat maupun daerah.
Kemudian, menghadirkan perusahaan, memfasilitasi dialog masyarakat terdampak, hingga mengeluarkan rekomendasi penyelesaian kasus.
Pansus juga berkewajiban mendorong percepatan reforma agraria, dengan fokus utama yakni, redistribusi tanah, legalisasi tanah bagi petani kecil, pengakuan tanah masyarakat adat, penyelesaian kawasan hutan yang tumpang-tindih, hingga verifikasi hak guna usaha (HGB) dan hak guna usaha (HGU) bermasalah.
Pansus juga diminta mendorong pemerintah membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional (BPRAN), sebagai lembaga pemegang mandat reforma agraria menggantikan GTRA yang dianggap gagal.
Rizky Anggriana Arimbi, Koordinator KPA Wilayah Sulawesi Selatan menegaskan, pembentukan BPRAN mendesak untuk menyelesaikan konflik agraria.
“Penyelesaian konflik, terutama berkaitan dengan PTPN dan melibatkan BUMN, Kementerian Keuangan dan ATR/BPN, hanya BPRAN yang dapat mengurainya, karena dipimpin oleh presiden.”

Konflik tak berujung
KPA mencatat, enam bulan pertama 2025, sedikitnya terjadi 114 konflik agraria di lahan seluas 266.097 hektar dengan 96.320 keluarga terdampak. Artinya, ada satu kasus agraria dalam dua hari.
Dewi menyebut, konflik masih terus terjadi sejak pansus dibentuk awal Oktober lalu. Misal, kasus antara Masyarakat Adat Tano Batak dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Dalam dua bulan terakhir, perusahaan terus menghancurkan tanaman dan akses jalan masyarakat, juga lakukan intimidasi dan kekerasan.
“Di Aceh Utara, konflik agraria antara masyarakat Cot Girek dengan PTPN IV terus memakan korban masyarakat,” ujar Dewi.
Konflik juga terjadi di Kabupaten Dairi, Sumut. Sebanyak 35 masyarakat dilaporkan oleh PT GRUTI karena menolak perampasan tanah dan kerusakan lingkungan.
Menurut Rocky Pasaribu, setahun terakhir terdapat 30 orang ditersangkakan di Sumut karena kasus agraria, 15 orang antara lain, dibawa ke pengadilan. Ketua Adat Ompu Umbak Siallagan Sorbatua Siallagan, misal, pada Maret 2024 ditangkap dan diadili.
Sorbatua dituduh menduduki dan membakar kawasan hutan dalam konsesi TPL. Padahal, lahan itu tanah ulayat mereka.
Dia bilang, meskipun Sorbatua bebas di tingkat Kasasi, kriminalisasi bagi masyarakat adat masih terus terjadi. Apalagi, komunitas adat belum sepenuhnya pemerintah akui. SK Masyarakat Hukum Adat dari Kemendagri belum membuat warga punya hak penuh atas tanahnya.
Sementara itu, di daerah Pulongbangkeng, Kabupaten Takalar, Sulsel, konflik agraria di lahan tebu yang melibatkan badan usaha milik negara sering menyebabkan bentrokan antara warga dengan polisi.
Rizky mengatakan, dalam sebulan terakhir, setidaknya 20 petani kena kriminalisasi, dua orang jadi tersangka. Konflik ini sudah berlangsung sejak akhir 1970-an, bermula dari pengambilalihan tanah warga untuk jadi lahan tebu.
“Sampai sekarang warga masih trauma dengan perampasan tanah. Konflik agraria juga menyebabkan jumlah petani gurem bertambah menjadi 13.000 orang,” katanya.

Pansus segera kerja?
Dewi mendesak pansus segera bekerja menyelesaikan konflik agraria struktural. Pansus bisa memulai dengan menyelesaikan 865 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) seluas sekitar 1,7 juta hektar.
Lokasi itu, merupakan konflik agraria struktural yang terjadi selama puluhan tahun, dikuasai dan garapan 2,4 juta jiwa.
Dia berharap, pansus dapat melahirkan terobosan politik dan diskresi hukum untuk mengatasi kegagalan pelaksanaan reforma agraria selama ini.
Persoalan-persoalan itu antara lain, diskresi hukum hambatan reforma agraria di PTPN dan Perhutani. Lalu, alasan klasik para menteri soal ego-sektoral antar lembaga yang menghambat reforma agraria.
“Tutupan hutan, ketiadaan anggaran atau alasan teknokrasi seperti clear and clean yang selalu menjadi senjata ampuh kementerian untuk menghambat reforma agraria.”
Dia juga meminta pansus melibatkan organisasi rakyat dalam setiap langkah kerjanya agar sejalan dengan aspirasi Hari Tani Nasional 2025.
Dewi desak juga menteri dan pimpinan lembaga terkait reforma agraria, tidak mengeluarkan keputusan yang berpotensi memperparah krisis agraria.
Untuk sementara waktu, sambil menunggu pansus, menteri harus menghentikan penerbitan izin dan hak konsesi perkebunan, kehutanan, tambang.
Juga, menghentikan pengadaan tanah bagi proyek strategis nasional (PSN), kawasan ekonomi khusus (KEK), bank tanah, food estate, dan Ibukota Negara Nusantara (IKN), yang menyebabkan konflik agraria dan kerusakan alam.
“Lalu, konsesi dan proyek pengadaan tanah yang tumpang tindih dengan tanah rakyat segera dikembalikan dalam kerangka reforma agraria,” ujar Dewi.
Bambang Purwanto, anggota Pansus Penyelesaian Konflik Agraria mengatakan, pansus akan menggelar rapat perdana untuk menetapkan ketua. “Agenda akhir tahun ini sangat padat, tapi pansus segera rapat untuk menetapkan ketua,” katanya, saat dihubungi via pesan, Senin (17/11/25).
Meski begitu, kata Anggota Komisi IV DPR ini, pansus sudah aktif mengumpulkan pelbagai persoalan agraria di lapangan, seperti konflik masyarakat dengan korporasi, Kementerian Kehutanan dengan Kementerian ATR/BPN, antara korporasi dengan kehutanan, hingga sengketa wilayah desa dengan kawasan hutan.
“Ketika persoalan sudah terkumpul bisa mempercepat kerja pansus,” ucap Purwanto, yang ditugaskan menjadi pansus menggantikan rekannya, Hinca Pandjaitan oleh Fraksi Partai Demokrat.
Mongabay juga mengkonfirmasi kinerja pansus kepada anggota lain, di antaranya: Iman Sukri (Fraksi PKB), Dede Yusuf (Fraksi Demokrat), Rajiv dan Viktor Laiskodat (Fraksi NasDem), serta Jazuli Juwaini (Fraksi PKS). Mereka tak menjawab hingga berita ini terbit.
*****