- Jejeran cerobong asap pemurnian pabrik nikel terlihat jelas di pusat Kabupaten Bantaeng menuju Bulukumba. Warga mengenal tempat itu pabrik nikel PT Huadi Group (Huadi), yang merupakan Kawasan Industri Bantaeng (KIBA). Di tengah mega proyek itu, ada para pekerja yang menjadi motor beroperasinya pabrik. Dari cerita mereka terungkap, kondisi kerja terlebih para pekerja perempuan yang menyedihkan.
- Pekerja perempuan, terutama yang hamil tak ada waktu jeda saat bekerja. Beberapa cerita dari para pekerja perempuan yang mengalami keguguran, bahkan ada yang sampai tiga kali.
- Sebagian buruh yang alami pemutusan hubungan kerja (PHK) kemudian tergabung dalam Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) KIBA untuk menentang kesewenangan itu.
- Junaid Judda, Ketua Serikat SBIPE, mengatakan, buruh seharusnya menjadi pilar penting dalam perusahaan. Mereka juga mencari keadilan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Pengadilan Negeri Makassar.
Jejeran cerobong asap pemurnian pabrik nikel terlihat jelas di pusat Kabupaten Bantaeng menuju Bulukumba. Warga mengenal tempat itu pabrik nikel PT Huadi Group (Huadi).
Lokasi itu merupakan Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), masuk dalam daftar proyek strategis nasional (PSN) era Presiden Joko Widodo dan lanjut di Pemerintahan Prabowo Subianto. Sejak 2018, tungku smelter sudah beroperasi.
Di tengah mega proyek itu, ada para pekerja yang menjadi motor beroperasinya pabrik. Dari cerita mereka terungkap, kondisi buruh terlebih para pekerja perempuan yang menyedihkan.
Seperti Nengsi, bekerja di bagian control room PT Huadi Wuzhou Nickel Industry, sejak 5 Oktober 2021 dan diberhentikan pada 7 Agustus 2025.
Selama bekerja, dia menghadapi kondisi kerja sungguh melelahkan karen buruh perempuan tak mendapatkan cuti layak.
“Tidak masuk kerja, berarti potong upah. Itu prinsip kerja di dalam (KIBA),” katanya.
Setiap bulan Nengsi mendapatkan upah Rp2 juta dan naik jadi Rp3,5 juta. Pada Juni 2024, dia menikah dengan Nurdiyanzah juga buruh tenaga las (welder).
Pada hari pernikahan, perusahaan memberikan cuti tiga hari dan tidak berbayar. Nengsi menerima dan kembali masuk bekerja.
Beberapa bulan setlah itu dia hamil dan bekerja seperti biasa. Dia tak menyangka, jika paparan debu dan panas tiap waktu bisa membuatnya kelelahan.
Sepekan berlalu dari hasil tes kehamilan, perutnya terasa sakit. Ketika pulang ke rumah dia pendarahan.
“Satu minggu saya pendarahan. Lalu periksa ke RS Bantaeng, dokter bilang saya keguguran itu bulan delapan (Agustus 2024),” katanya.
“Dokter bilang usia kandungan saya dua minggu.”
Rasanya dunia seperti runtuh. Bersama pasangannya, mereka kembali program hamil. Lalu mendapati hasil testpack bergaris dua. Nengsi hamil lagi.
Hamil kedua, membuatnya lebih hati-hati. Ketika bekerja dia berusaha menjaga pola makan dengan sehat. Tak pernah melepaskan masker. Hingga usia kandungan satu bulan, tiba-tiba saat jam kerja malam, perut kembali melilit dan sakit.
Segala macam bayangan muncul di kepalanya, dia begitu takut. Benar saja, dia kembali keguguran pada Desember 2024.
Di RS, dokter memberikan obat pembersih dan tak menjalani prosedur kuret tetapi disarankan menunda kehamilan hingga enam bulan.
Pasangan itu tetap bersikukuh. Sembari terus bekerja, Nengsi hamil lagi.
Nurdiyanzah, memintanya banyak istirahat dan tidak kelelahan. “Tapi itu kan tidak mungkin, karena kita kerja memang begadang. Waktu tidur kurang. Mana bisa,” kata Nengsi.
Kehamilan ketiga makin baik. Tubuh mulai menampakkan perubahan. Nengsi kadang-kadang merasa mual. Dia acapkali mengelus perut dan berdoa untuk terus kuat bersama janinnya.
Tiba-tiba, ketika jadwal kerja malam, dia merasakan perut kesakitan. “Itu sekitar jam satu (01.00), perutku sakit sekali. Jadi saya jalan ke klinik dan diperiksa, lalu ambil obat untuk meredakan nyeri,” katanya.
“Setelah minum obat, perut mulai baikan. Saya kembali ke control room bekerja. Tapi waktu pulang ke rumah paginya, saya mau kencing dan lihat ada darah.”
“Kalau ingat semua itu, saya kadang-kadang gemetar.”

Nengsi kembali keguguran ketiganya April 2025.
Hal sama juga dialami, Nurhasanah. Perempuan 29 tahun ini juga bekerja sebagai control room.
Aldi, suaminya, cerita. Hari ketika mereka berdua bekerja di jadwal malam, Nurhasanah mengabari, kalau perut sakit dan ada bercak darah.
Dia beristirahat sesaat, lalu lanjut bekerja. Aldi sudah mulai tak tenang karena istrinya tak boleh pulang.
Pagi ketika jam kerja usai, dia membonceng istrinya menuju rumah sekitar 30 menit perjalanan.
Di RS Banyorang, Nurhasanah ditangani dan dinyatakan harus prosedur kuret. Dia dirawat selama empat hari baru bisa pulang.
Dokter memberi surat sakit agar Nurhasanah beristirahat total selama 10 hari.
Surat sakit itu kemudian dia kirim ke HRD perusahaan. Perusahaan tak menerima surat dan menyatakan surat itu tidak sah.
Dua perwakilan perusahaan mengunjungi rumahnya dan melihat sendiri keadaannya tetapi tetap minta Nurhasanah masuk kerja.
Dia pun kembali bekerja. Sekitar enam bulan kemudian, dia hamil lagi. Aldi dan keluarga besarnya berembuk.
“Saya tidak mau istri keguguran lagi, kalau terus masuk kerja,” kata Aldi.
“Kalau perempuan hamil di perusahaan, jam kerja tetap saja sama. Tidak ada itu keringanan.”
Juni 2025, beberapa hari setelah perayaan Idul Adha, Nurhasanah mengajukan pengunduran. Kini, usia kandungannya menjelang delapan bulan.
“Kami senang. Di keluarga istri ini adalah cucu pertama,” kata Aldi.

Tanpa kontrak?
Mahdat M, bekerja sebagai fisioterapi di RS Daerah Jeneponto. Dia dapat tawaran masuk jadi tenaga kesehatan di Klinik Huadi.
Pasangan itu berdiskusi dan mengikuti saran Rita. Alasannya sederhana, di Jeneponto, statusnya sebagai pegawai honorer yang upah kadang rapel selama tiga bulan.
“Awalnya kami pikir, gaji di perusahaan sesuai UMR, nyatanya tidak,” kata Irham, suami Mahdat.
Dia bilang, upah pertamanya Rp2,5 juta. Tanpa surat perjanjian kerja. “Jadi saya diminta ke klinik saja, ketemu dokter penanggung jawab, langsung mulai bekerja,” katanya.
Dia ingat betul 25 Februari 2022, menjadi hari pertama melihat kawasan pemurnian nikel itu secara dekat.
Di KIBA ada lima perusahaan beroperasi, masing-masing PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia, PT Huadi Wuzhou Nickel Industry, PT Huadi Yatai Nickel Industry, PT Huadi Yatai Nickel Industry II, PT Hanseng New Material dan PT Unity.
Di kawasan itu, ada ribuan buruh bekerja dengan hanya satu klinik kesehatan.
Di klinik, berlaku tiga jadwal kerja dengan lima orang tenaga kesehatan. Inilah yang Mahdat bilang sungguh melelahkan.
“Setiap shift, kami bekerja selama 12 jam. Bahkan, antara 2022-2023, kadangkala shift kerja sampai 24 jam.”
Mahdat tak punya pilihan selain bertahan. Upah bulanan menjadi alasan utama karena angsuran perumahan Rp1 juta setiap bulan.
Pada akhir 2023, seorang dokter klinik melayangkan protes karena menilai upah terlalu kecil dengan jam kerja yang lama.
Kisruh terdengar keluar. Irham, ketua serikat buruh melalui melakukan pendampingan, tetapi kemudian berhenti. Serikat perusahaan bekukan.
Dokter itu kemudian mengundurkan diri. Setelah pengunduran diri, menejemen Huadi membuat surat kontrak kerja ke tenaga kesehatan di klinik.
“Jadi sejak Februari 2022 hingga November 2023, saya bekerja tanpa kontrak, hanya lisan,” kata Mahdat.
Cerita tak jauh beda juga Alim, mantan buruh Huadi alami.
Alim yang bekerja di divisi tungku selama tiga tahun. Dia mengatakan, di tempat kerjanya, ada enam orang tidak punya kontrak kerja. “Jadi, mereka kerja melalui perjanjian lisan.”
Kemudian, Mahdat mendapatkan kontrak sekitar November 2023 dan berlaku selama enam bulan. Upah naik menjadi Rp3,4 juta. Selanjutnya naik jadi Rp4,2 juta, terakhir Rp6,2 juta.
Setelah masa berlaku kontrak itu selesai April 2024, tidak ada lagi pembaharuan kontrak. Mahdat terus bekerja.
Hingga terjadi gelombang PHK. Dia salah seorang yang akan diberhentikan, meski perusahaan memberikannya pilihan.
“Pak Muhlis itu HRD Huadi, panggil saya masuk ruangannya. Di meja sudah ada surat pernyataan dan ada juga dokumen perjanjian bersama,” kata Mahdat.
“Saya lihat surat penyataan terus saya foto. Pak Muhlis menunjuk-nunjuk saya, dia bilang, ‘kalau mau berhenti banyak yang mau masuk’. Tandatangan saja surat pernyataannya.’ Itu dia bilang ke saya.”

Mahdat berkeras, tak ingin membubuhkan tandatangan di surat pernyataan. Dia mau membaca isi surat perjanjian bersama terlebih dulu. Muhlis tak mengizinkan.
“Akhirnya saya memilih di PHK,” katanya.
Saya menghubungi Muhlis, tetapi tak ingin berkomentar. “Minta maaf, soalnya bukan kapasitas saya untuk memberikan keterangan apapun terkait perusahaan.”
Dia menyarankan ke pejabat perusahaan yang lebih tinggi. Salah satunya, Lily Dewi Candinegara, Direktur Huadi Bantaeng Industrial Park (HBIP).
Lily bilang melalui pesan pendek, jika konsen kerjaannya saat ini adalah hubungan dengan asosiasi, karena berkantor di Jakarta. Detail mengenai konflik dan hal teknis di Bantaeng, sudah tidak begitu dia pahami.
Pada Senin, (3/10/25) November 2025, Mongabay kembali menghubungi Muhlis dan meminta konfirmasi. Jawabannya tetap sama, tak bisa berkomentar.
“Aduh, saya kurang tau juga, karena saya hanya seputar internal perusahaan saja,” jawabnya singkat.
Di Huadi, ketika gelombang PHK terjadi, perusahaan memberikan pilihan. PHK dengan pesangon dan perjanjian bersama dengan upah per bulan Rp1,5 juta selama enam bulan untuk kemudian bisa lanjut atau tidak.
Mahdat dapat uang pemberhentian Rp15 juta yang dalam klausul surat penghentian perusahaan disebut kompensasi.
Dia tak tahu, apakah nilai itu sudah sesuai atau tidak. “Sekarang teman-teman melalui serikat SBIPE (Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi) ini berjuang untuk mendapatkan hak.”

Gugatan buruh
Mahdat, Alim, Nengsi, dan Aldi Subhan, sebagian kecil dari ribuan buruh yang mendapatkan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Mereka kemudian tergabung dalam Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) KIBA untuk menentang kesewenangan itu.
Ketika mereka bekerja merasa kerja 12 jam sehari itu normal.
“Saya kira 12 jam kerja itu normal. Dan perusahaan kasi kami upah dan bonus. selama bergabung dengan SBIPE, saya jadi tahu kalau itu seharusnya diupah lembur,” kata Nengsi.
“Jadi selama empat tahun saya bekerja di Huadi, saya merasa diperbudak,” kata Alim.
Akhirnya pada Juli 2025, protes ratusan buruh di depan Kantor PT Huadi Nickel Alloy. Mereka bertahan selama 16 hari.
Junaid Judda, Ketua Serikat SBIPE, mengatakan, buruh seharusnya menjadi pilar penting dalam perusahaan.
“Ini semua yang seharusnya didapatkan buruh, kesehatan, upah layak, keselamatan kerja, seperti tak dipedulikan,” katanya.
Para buruh juga mendatangi Bupati Bantaeng, DPRD, hingga instansi di Sulawesi Selatan.
Mereka juga mencari keadilan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Pengadilan Negeri Makassar.
Buruh diwakili Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar ikuti proses sidang selama beberapa pekan.
“Di persidangan terungkap, jika Huadi Group telah melanggar batas jam kerja. Para buruh tidak dibiarkan mengambil cuti yang memang haknya. Ini benar-benar tidak manusiawi,” kata Ansar, advokat publik LBH Makassar.

Lingkungan buruk
Cerobong asap pabrik pemurnian nikel di KIBA tak pernah berhenti. Debu halus dari sisa pembakaran menyelimuti kampung di sekitar kawasan.
Sisa tumpukan limbah pemurnian menggunung di sekitar area pabrik, tepat bersisihan dengan jalan desa.
Dari jalan utama Bantaeng-Bulukumba, jika tak jeli melihatnya maka gundukan limbah itu akan serupa dengan deretan bukit.
“Kalau orang lihat di luar tembok kawasan, kerusakan lingkungan sudah begitu rusak, bagaimana dalam tembok kawasan,” kata Alim.
Dia memberikan gambaran. “Kalau kerja itu, terus mau bersihkan hidung, hitam. Bukan kuning lagi. Seperti knalpot motor dua tak,”katanya.
Alim mengibaratkan sebagai “kerja paksa” ala Huadi Group. Para buruh tak punya pilihan. Kalau protes, mereka diminta berhenti atau pindah ke divisi lain, bahkan sanksi. Sedang surat peringatan membuat upah berkurang.
Alim pernah merasakannya. Suatu waktu dia protes soal upah tak sama besar.
Perusahaan lalu menanggapi dengan memindahkan ke divisi kantin.
“Saya akhirnya belajar masak nasi dan potong-potong sayur. Kerjaannya jauh lebih ringan tapi saya tahu ini kemuduran,” katanya.
“Mau kembali protes, takutnya dikeluarkan. Saya sudah ada keluarga untuk dibiayai.”
Sementara fasilitas penunjang lain dari perusahaan tak pernah memadai. Dalam area kerja, perusahaan menyediakan keran air minum dengan menggunakan bak tampungan. Air itu didapatkan dari sumur bor.
“Itu baknya sudah berlumut. Tapi tidak ada pilihan, mau beli air juga hemat-hemat,” katanya.
Tak heran, statistik kesehatan di dua Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di sekitaran kawasan, menunjukkan, jika penyakit yang berhubungan dengan lingkungan mulai merebak.
Tipes yang berhubungan higenitas makanan. “Kalau soal bersih, mana bisa. Lah kita makan dengan debu kok,” kata Alim.
Bagi Mahdat, yang pernah bekerja di klinik Huadi, penyakit khsuus dalam kawasan itu paling banyak adalah flu dan batuk.
“Selama saya bekerja di klinik, setiap shift jaga, atau sehari paling kurang 20 pasien yang datang ke klinik,” katanya, seraya bilang, angka itu hitungan rendah, biasa per hari sampai 40 orang lebih.
Mahdat juga mengatakan, lingkungan dalam kawasan buruk membuat pekerja rentan.
“Paling banyak batuk dan flu. Juga diare.”
Buruknya kondisi lingkungan di kawasan KIBA juga Prohealth.id konfirmasi lewat uji laboratorium partikel debu di dua rumah.
Mereka ambil sampel debu pada pukul 14.00–16.00. Sampel dikirim ke laboratorium lingkungan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 9 Desember 2024.
Hasilnya, keluar pada 31 Desember 2024 dan menginformasi temuan mengkhatirkan. Ada Timbal (Pb) dan Karbon Dioksida (Co) mengandung zat berbahaya dengan kadar melebihi ambang batas.
Temuan ini sekaligus memperkuat kekhawatiran warga mengenai dampak kesehatan dan lingkungan di Bantaeng.
Sedang Trend Asia dan LBH Makassar, dalam laporan Bertaruh Pada Smelter, menemukan bagaimana kehidupan warga makin terdesak oleh kehadiran smelter.
Udara dan aliran sungai tercemar hingga tanaman mati. Bahkan, usaha awal warga seperti membuat batu bata merah, nelayan dan bertani hilang.

*****