- Fosil laut seperti kerang, amonit, dan lili laut ditemukan di Himalaya karena wilayah itu dulu merupakan dasar Samudra Tethys yang terangkat akibat tabrakan antara Lempeng India dan Eurasia sekitar 50 juta tahun lalu.
- Analisis batuan menunjukkan batu kapur di Gunung Everest berusia sekitar 450 juta tahun, terbentuk di laut dangkal, dan pengangkatan besar Himalaya baru terjadi pada zaman Miosen (±23 juta tahun lalu); hingga kini, pegunungan itu masih naik beberapa milimeter per tahun.
Pada ketinggian ribuan meter di atas permukaan laut, di antara lapisan batu dan es Himalaya, para pendaki dan ahli geologi menemukan fosil laut seperti kerang, amonit, dan lili laut. Fosil-fosil ini bukan sekadar keanehan di tempat yang salah, melainkan petunjuk penting tentang sejarah bumi. Bagaimana mungkin sisa makhluk laut berada di atap dunia? Jawabannya terletak pada pergerakan benua dan perubahan kerak bumi selama ratusan juta tahun.
Penemuan fosil laut di Himalaya pertama kali tercatat pada awal abad ke-20. Dalam ekspedisi Inggris tahun 1924, ahli geologi sekaligus pendaki Noel Odell melaporkan adanya batu kapur yang mengandung fosil di lereng Gunung Everest. Temuan itu mengejutkan para ilmuwan dan memicu penelitian lebih lanjut. Beberapa dekade kemudian, tim geologi dari India, Nepal, dan Inggris memetakan struktur geologi Himalaya dan menemukan bahwa sebagian besar batuan di pegunungan itu adalah batuan sedimen laut.

Penemuan ini menjelaskan bahwa Himalaya tidak terbentuk dari batuan vulkanik, tetapi dari lapisan sedimen laut yang terangkat. Batuan di sana terdiri dari batu kapur, serpih, dan batu pasir yang terbentuk dari material endapan laut. Fosil yang ditemukan di dalamnya menjadi bukti nyata bahwa daerah itu dulu berada di dasar laut.
Sekitar 200 juta tahun lalu, wilayah Himalaya merupakan bagian dari Samudra Tethys, laut tropis yang membentang di antara benua India di selatan dan Eurasia di utara. Laut ini kaya akan kehidupan laut seperti moluska, koral, dan alga. Ketika organisme laut mati, cangkang dan kerangkanya mengendap di dasar laut, membentuk lapisan sedimen yang menebal. Selama jutaan tahun, tekanan dan waktu mengubah lapisan itu menjadi batu kapur dan serpih, lengkap dengan fosil yang kini ditemukan di ketinggian Himalaya.
Baca juga: Hidup di Atas Awan, Ular Ini Bertahan di Ketinggian Hampir 5.000 Meter di Lereng Himalaya
Tabrakan Benua dan Kelahiran Pegunungan Himalaya
Perjalanan panjang benua India dimulai sekitar 120 juta tahun lalu ketika ia terpisah dari daratan super Gondwana dan bergerak ke utara dengan kecepatan beberapa sentimeter per tahun. Setelah jutaan tahun, sekitar 50 juta tahun lalu, India akhirnya bertabrakan dengan benua Eurasia. Tabrakan ini adalah salah satu peristiwa geologi terbesar di Bumi, dan hasilnya adalah terbentuknya Pegunungan Himalaya.
Tidak ada lempeng yang tenggelam seluruhnya karena kerak benua terlalu ringan. Akibatnya, kedua lempeng saling menekan, menyebabkan kerak bumi di antaranya melipat dan terdorong ke atas. Lapisan batuan laut dari dasar Samudra Tethys ikut terangkat, membentuk barisan gunung raksasa. Proses ini dikenal sebagai orogeni (pembentukan gunung).

Hasilnya, batuan sedimen laut yang mengandung fosil kini berada di puncak dunia. Batuan tertinggi di Gunung Everest adalah batu kapur laut dangkal dari periode Ordovisium, berusia sekitar 450 juta tahun. Fosil organisme laut mikroskopis seperti foraminifera dan brachiopoda ditemukan di dalamnya. Bukti ini menunjukkan bahwa bagian tertinggi Himalaya dulunya adalah lantai samudra yang hangat dan dangkal.
Penelitian oleh lembaga geologi seperti IUGS dan USGS memperkuat kesimpulan ini. Mereka menunjukkan bahwa formasi batuan di Himalaya tersusun dalam urutan yang menggambarkan transisi dari laut dalam ke laut dangkal, lalu ke lingkungan darat saat pengangkatan mulai terjadi. Di India utara, Formasi Subathu mengandung sedimen laut muda dari zaman Paleosen hingga Eosen, sekitar 40 juta tahun lalu, menunjukkan bahwa laut masih menutupi sebagian wilayah itu sebelum pengangkatan penuh terjadi.
Kapan Himalaya Terangkat? Bukti dari Sedimen dan Isotop
Meskipun tabrakan antara India dan Eurasia dimulai sekitar 50 juta tahun lalu, pengangkatan besar Himalaya tidak terjadi sekaligus. Penelitian modern memperkirakan pengangkatan utama baru terjadi sekitar 23 juta tahun lalu, pada zaman Miosen.
Studi sedimen di Teluk Bengal menunjukkan peningkatan besar endapan hasil erosi Himalaya pada masa itu, menandakan bahwa pegunungan sudah cukup tinggi untuk menghasilkan sungai besar dan erosi intensif. Analisis isotop batuan dari Nepal juga mendukung hal ini: tanda-tanda eksumasi (terangkatnya batuan dari kedalaman ke permukaan) mulai muncul pada akhir Miosen.
Namun, proses ini tidak seragam. Beberapa bagian Himalaya, seperti Tibet tengah dan Himalaya barat, mengalami pengangkatan lebih cepat dibanding bagian timur. Data dari pengukuran GPS modern menunjukkan bahwa beberapa wilayah di Nepal dan Tibet masih naik sekitar 1–5 milimeter per tahun. Dengan kata lain, Himalaya belum selesai tumbuh. Proses tektonik yang sama masih terus berlangsung hingga hari ini, dan puncak-puncaknya perlahan bertambah tinggi, sementara erosi dan gempa bumi menyeimbangkan tekanan dari bawah.

Fosil laut di Himalaya menjadi bukti penting tentang dinamika bumi. Di dataran tinggi Tibet, peneliti menemukan sisa reptil laut besar dari kelompok ichthyosaur, yang diberi nama Himalayasaurus. Fosil ini berasal dari zaman Trias dan memperkuat bukti bahwa wilayah tersebut dahulu merupakan laut dalam. Penelitian yang diterbitkan di jurnal Gondwana Research juga menemukan jejak ekosistem laut dangkal di batuan Himalaya barat, memperkuat pemahaman tentang asal usul laut purba itu.

Namun sejarah penelitian Himalaya juga menyimpan kontroversi. Pada 1980-an, ilmuwan India Vishwa Jit Gupta mengklaim menemukan ratusan fosil laut langka dari Himalaya dan mempublikasikan ratusan makalah ilmiah berdasarkan temuannya. Klaim ini menarik perhatian dunia, tetapi kemudian terbukti banyak fosil tersebut berasal dari tempat lain, termasuk Maroko dan Amerika Utara.
Kasus ini dikenal sebagai “Himalayan Fossil Hoax” dan menjadi salah satu skandal ilmiah paling terkenal di bidang geologi. Gupta dituduh memalsukan data lokasi dan menggunakan fosil dari luar Himalaya untuk memperkuat temuannya. Setelah penyelidikan, sebagian besar publikasinya ditarik kembali. Kasus ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya integritas ilmiah dan verifikasi lapangan dalam riset paleontologi.

Sejak itu, penelitian di Himalaya dilakukan dengan metode lebih ketat. Setiap fosil harus memiliki data lokasi, konteks lapisan batuan, dan bukti stratigrafi yang jelas. Fosil yang telah diverifikasi kini menjadi dasar kuat bagi kesimpulan bahwa batuan di Himalaya memang berasal dari dasar laut purba Samudra Tethys.
Himalaya bukan hanya pegunungan tertinggi di dunia, tetapi juga laboratorium alami untuk mempelajari proses pembentukan bumi. Tabrakan antara Lempeng India dan Eurasia masih berlangsung. Wilayah ini aktif secara tektonik, dengan gempa besar, deformasi kerak, dan perubahan ketinggian yang terus terjadi.