- Masyarakat Dayak Meratus hidup berdampingan dengan padi, bukan hanya sebagai sumber pangan, tapi identitas yang nenek moyang turunkan. Penanamannya pun menggunakan serangkaian ritual yang memiliki nilai konservasi.
- Devi Damayanti, penulis buku Meratus, Nyanyian Sunyi di Pegunungan Borneo, menjelaskan, masyarakat adat di pegunungan Meratus menanam padi sebagai bagian kepercayaan terhadap asal-usul. Mereka percaya, padi merupakan tanaman dari surga, nenek moyang manusia Adam dan Tihawa, membawanya saat turun ke bumi.
- Meski jalani berbagai ritual dan pengamanan, praktik berladang tradisional ini masih kerap jadi kambing hitam degradasi dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Mereka pun kini terimpit oleh wacana penetapan Taman Nasional Meratus.
- Anna Tsing, Antropolog terkemuka Amerika Serikat, dalam wawancara tertulis kepada Mongabay, 3 Oktober 2025, menjelaskan, praktik perladangan berpindah dan agroforestri pernah pemerintah kolonial kecam karena tidak paham. Baru belakangan ini, para ahli mengakui praktik pertanian dan perhutanan masyarakat tradisional seperti Dayak Meratus sebagai salah satu bentuk ekologi manusia paling berkelanjutan di dunia.
Balai Impun Desa Haruyan Dayak, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, riuh manusia, Sabtu (27/9/25). Sepanjang malam itu, Balian, perapal mantra, komat-kamit dengan iringan dentuman gendang. Mereka melakukan ritual aruh ba’wanang, merayakan kehidupan lewat pesta panen padi sebagai wujud syukur kepada Hyang Dewata Langit.
Sebagian Dayak Meratus yang hadir, khususnya Balian, tidak tidur. Sesekali saja beristirahat, lalu kembali melanjutkan upacara. Baru menjelang pagi semua rangkaian acara selesai. Orang-orang dari dalam dan luar kampung, makan bersama hasil panen padi tahun ini, dengan suguhan dari 18 umbun (keluarga) yang jadi tuan rumah.
“Ini beras hasil panen tahun lalu, 2024,” kata Dunit, salah satu keluarga di umbun bagian barat.
Saat itu, dia sodorkan beberapa piring nasi, lengkap dengan berbagai lauk-pauk, ada berbagai jenis ikan dan ayam ras yang sengaja dia beli. Juga, hewan-hewan hasil buruan di hutan, seperti gobang atau sigung.
Keluarga Uhir, di Umbun bagian utara, menghidangkan nasi agak kemerahan. “Hasil panen lima tahun lalu, bukan beras merah. Hanya warna dan aromanya saja yang sedikit berubah, tetapi untuk rasa masih sama,” katanya.
Pesta panen yang tamu cicipi malam itu menggunakan padi hasil panen sebelumnya yang sudah melewati proses ritual aruh ba’wanang. Sementara, pantang untuk mengonsumsi hasil panen padi tahun ini sebelum pagi, setelah proses ritual adat selesai.
Jika melanggar, sang pencipta akan marah dan orang akan menganggapnya pamali, hingga berimbas pada datangnya kesialan pada setiap anggota keluarga.

Syahrani, Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kalsel, menyebut, Dayak Meratus memang memiliki persediaan padi berlimpah. Sebagian keluarga bahkan masih menyimpan gabah kering sejak beberapa tahun lalu.
Beberapa literatur yang dia baca, menyebut ada gabah yang masih tersimpan sejak tahun 1974. Menandakan kemapanan sistem pangan mereka.
Biasanya, benih mereka taruh dalam karung dan letakan di ruang tamu. Ada pula yang tersimpan dalam bangunan khusus atau lumbung, berisi tiga atau lebih bangkat, wadah tradisional dari rotan, bambu dan kulit kayu.
“Ukuran diameter bangkat bisa berbeda-beda, namun pada umumnya, satu bangkat bisa menampung sekitar 200 gantang atau setara 3,125 liter,” katanya.
Setia Budhi, antropolog Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, mengatakan, padi gogo pada umumnya merupakan jenis yang Dayak Meratus tanam di Pegunungan Meratus. Ia terdiri atas padi ketan dan padi tanam (padi biasa).
Sebagian, merupakan varietas yang berumur genjah (benih ringan) dan sebagian lagi berumur lebih panjang (benih halin).
Penanaman kedua jenis padi gogo itu bersamaan. Seiring perkembangan waktu, petani Dayak Meratus mengembangkan pelbagai jenis padi dari dua varietas itu.
“Ketika saya melakukan penelitian di sana, tercatat ada sedikitnya 101 varietas lokal padi gogo yang pernah ditanam petani Dayak Meratus, termasuk 45 varietas padi ketan.”
Setiap komunitas atau permukiman, katanya, bisa menanam antara 15-48 varietas padi gogo dan 38 varietas masih ada di lebih dari satu permukiman, sedangkan 63 varietas lain hanya ada di satu komunitas.
Beberapa varietas yang paling banyak tertanam hampir di seluruh kampung antara lain Buyung Putih, Buyung Kuning, Siam Unus, Nakit, Tampiku, Kelapa, Badagai Putih, Carnik, dan Radin.
Untuk padi ketan, dari total 45 varietas tercatat, setidaknya 18 varietas budidaya masih ada di lebih dari satu pemukiman, dengan sebaran antara 2-8 komunitas.
Namun, di Balai Adat Macatur, Desa Haruyan Dayak, terjadi penurunan drastis. Dari 43 varietas yang pernah tertanam, 20 sudah tidak lagi petani tanam dalam dua tahun terakhir.

Devi Damayanti, penulis buku Meratus, Nyanyian Sunyi di Pegunungan Borneo, menjelaskan, masyarakat adat di pegunungan Meratus menanam padi sebagai bagian kepercayaan terhadap asal-usul. Mereka percaya, padi merupakan tanaman dari surga.
Orang Meratus percaya padi menempuh perjalanan panjang dan penuh bahaya. Sehingga mereka harus menjaganya dengan penuh kasih sayang. Ia juga digambarkan tumbuh perlahan sebagai seorang gadis muda cantik.
“Sebagaimana bayi manusia, benih padi harus didoakan agar selamat.”
Ketika tiba saatnya padi hamil, ia mengandung sumber kehidupan yang sangat berharga. Saat masak, maka roh putri sudah menjaganya sejak awal, hingga wajib merayakannya sesuai martabatnya.

Bagaimana Dayak Meratus tanam padi?
Juliande, Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, menyebut, Orang Meratus peladang ulung. Menanam padi gunung atau bahuma, katanya, merupakan pekerjaan sakral, keniscayaan, dan warisan yang mereka anggap utama.
“Bahuma juga sebagai media atau cara mereka ‘berkomunikasi’ dengan Sang Pencipta.”
Pemanfaatan lahan lewat bahuma mengikuti siklus alam. Orang Meratus baru buka kembali bekas pahumaan setelah puluhan tahun, dan tidak pernah menyentuh hutan primer di ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut.
Alasannya, tanah Kalimantan tergolong miskin mineral, dengan fosfor sebagai unsur yang menjadi faktor pembatas utama pertumbuhan tanaman pangan.
Di hutan tropis, fosfor banyak tersimpan dalam tubuh pohon, untuk lepaskan unsur hara itu, butuh pembakaran. Setelah itu, tanah menjadi subur dan bisa untuk menanam padi gunung.
Bahuma, berbeda dengan cara berladang petani modern yang hanya berfokus pada satu lahan. Tidak perlu pupuk dan bahan kimia tambahan yang justru menurunkan kesuburan tanah. Praktik ini memberi tanah kesempatan istirahat.
“Sistem yang mereka pakai dalam bahuma mengikuti pola gilir balik.”
Hampir semua tahapan bahuma dengan ritual keagamaan. Banyak di antara tahapan itu mengandung nilai-nilai konservasi.
Batanung, misalnya, merupakan kegiatan pertama sebelum membuka hutan. Melalui mimpi, mereka meminta petunjuk kepada Yang Maha Kuasa memilih hutan mana yang bagus untuk mereka buka dan jadikan ladang.
Manabas, kegiatan membersihkan semak belukar menggunakan parang pada daerah hutan yang sudah mereka pilih. Mereka lakukan ini secara gotong royong.
Batilah, memotong pohon bambu yang ada di hutan. Mereka hanya potong batang rumpun bambunya saja, dan membiarkan anaknya tetap hidup. Karena, akar bambu bermanfaat menjaga kesuburan tanah dan mengikat agar tidak mudah hanyut terbawa air hujan.
“Sebelum batilah ini dilaksanakan, masyarakat membuat acara kecil-kecilan di hutan tersebut yang dipimpin oleh kepala tandun untuk memohon keselamatan dalam bekerja.”
Batabang, kegiatan menebang pohon besar-besar menggunakan parang dan kapak sampai chain saw. Dalam kegiatan ini, ada beberapa pohon yang mereka biarkan, karena anggap bermanfaat untuk kehidupan, seperti pohon hanau/aren, daun muda sering untuk perlengkapan utama saat ritual aruh dan airnya dapat mereka suling untuk gula merah.
Manyalukut, membakar ranting dan batang pohon yang telah kering secara merata. Sebelum itu, masyarakat lebih dulu membuat rintisan atau sekat bakar selebar 5–7 cm di seluruh sisi dan bagian tengah lahan untuk mencegah api merambat ke luar area perladangan.
“Dalam proses ini, mereka juga memperhatikan arah angin dan kelerengan lahan agar pembakaran aman dan terkendali,” katanya.
Setelah api padam, sisa ranting atau batang yang belum terbakar akan dipanduk atau kumpulkan kembali untuk mereka bakar ulang. Abu hasil pembakaran mereka biarkan di lahan sambil menunggu masa tugal (menanam).
Sebelum menugal benih, mereka jalankan pemataan, ritual di daerah perladangan masing-masing masyarakat yang Balian pimpin.
Saat padi tumbuh, mereka maramput atau memelihara tanaman yang sudah ada dengan membersihkan rumput pengganggu di sekitar padi.
Basambu, ritual menyambut padi yang mulai berbuah. Berlangsung di balai adat, tiga hari tiga malam.
Mangatam, panen padi secara gotong royong. Terakhir bawanang, ritual aruh atau syukuran panen banih ringan setelah selesai panen seluruh tandun.

Rudy Redhani, Livelihood Specialist Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia, mengatakan, ada keterlibatan generasi muda dalam tahap berladang upacara adat.
Anak-anak yang belum sekolah ikut orang tua ke ladang, bermain dan mengamati pekerjaan itu.
Yang sudah sekolah, ikut membantu setelah jam pulang sekolah atau saat libur, terutama jika ladang berada dekat dengan pemukiman mereka.
“Begitu pula bagi anak yang kuliah di luar kampung. Jika musim berladang tiba, mereka akan pulang dan ikut membantu sesuai jadwal libur mereka.”
Proses ini penting, agar anak memahami konsep ketergantungan pada umbun (kepala keluarga). Karena pada pasangan yang baru menikah biasanya masih bergantung pada umbun suami atau istri, atau berpindah di antara keduanya, selama beberapa tahun hingga memiliki anak.
“Seiring waktu, mereka membentuk umbun sendiri, dengan lahan garapan dan lumbung padi sendiri.”

Berbagai larangan
Meski jalani berbagai ritual dan pengamanan, praktik berladang tradisional ini masih kerap jadi kambing hitam degradasi dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Undang-Undang 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya, secara tegas melarang praktik tersebut. Pasal 69 ayat (1) huruf h menyebut, setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.
Walaupun ada pengecualian terhadap kearifan lokal dalam Pasal 69 ayat (2), Pemerintah Provinsi Kalimantan melarang keras kegiatan tersebut. Gubernur Muhidin menyampaikannya usai Apel Kesiapsiagaan Penanganan Karhutla di Lapangan Lanud Sjamsudin Noor, Banjarbaru, pada awal Agustus lalu.
Masyarakat, ucapnya, tidak boleh lagi membakar untuk membuka lahan, karena berpotensi memicu karhutla. Apalagi di tengah status darurat karhutla.
Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam Rapat Koordinasi Penanggulangan Karhutla, mengkritik aturan daerah yang masih memperbolehkan pembukaan lahan maksimal dua hektar dengan cara membakar.
Menurut dia, ada instruksi khusus presiden kepada kapolda, gubernur, dan seluruh pihak terkait untuk segera mencabut peraturan daerah yang masih memperbolehkan kegiatan pembakaran lahan.
“Pembakaran hutan dua hektar hanya diperbolehkan jika tidak sedang musim kemarau atau tidak dalam status siaga darurat seperti saat ini. Karena Kalimantan kini berstatus siaga darurat, maka wajib dikenakan ketentuan Undang-undang 32/2009.”
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Selatan menyoroti rencana penerapan aturan pembakaran lahan terbatas.
Rubi, Ketua Pengurus Wilayah (PW) AMAN Kalsel, menilai, wacana tersebut berpotensi mengabaikan hak dan kearifan lokal masyarakat adat yang memiliki legitimasi hukum.
“Pembukaan lahan dengan cara dibakar secara terbatas masih dilindungi Undang-undang, khususnya bagi kepentingan pertanian masyarakat adat.”
Dia mengingatkan kembali pengecualian yang termaktub dalam Pasal 69 ayat (2) UU PPLH. “Pengecualian ini tidak bisa disamakan dengan pembakaran berskala besar yang dilakukan korporasi.”
Praktik berladang masyarakat adat Dayak Meratus, katanya, tidak mengacu pada kegiatan ekonomi, tetapi budaya, spiritual dan kearifan ekologis berdasar pengalaman panjang.
“Pemanfaatan lahan tidak dilakukan sembarangan. Dari konsepnya jelas, tidak mungkin masyarakat Dayak membakar hutan yang menjadi rumah mereka sendiri, seperti tudingan yang sering muncul saat terjadi kebakaran hutan.”
Sisi lain, ada Perda Kalsel 2/2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Juga, Perda Kalsel 1/2008 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang saat ini masih melalui proses revisi.
Dia berharap masyarakat adat di kalsel seutuhnya dapat terlindungi hak dan kebudayaannya.
“AMAN Kalsel mendorong adanya dialog terbuka antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat adat agar kebijakan yang dibuat benar-benar adil dan berpihak pada kearifan lokal.”
Bambang Winarto, Kepala Seksi Karhutla Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel, mengatakan, pembahasan revisi Perda terakhir terjadi awal 2024 dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk sejumlah NGO di Kalsel seperti AMAN dan Walhi.
Pembahasan itu, katanya, juga membicarakan pengecualian bagi masyarakat adat yang membuka lahan dengan cara tradisional, dengan batas maksimal dua hektar per keluarga.
“Menurut saya pribadi, mereka tidak membakar hutan. Saya tahu betul, dan tidak ada data yang menunjukkan kebakaran hutan seluas itu terjadi di Meratus,” katanya.
Raden Rafiq, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, menyoroti pentingnya percepatan revisi Perda agar hasilnya benar-benar berpihak pada sistem pertanian rakyat.
Sebab, fakta di lapangan justru menunjukkan karhutla lebih banyak terjadi di area konsesi perusahaan, bukan di lahan pertanian masyarakat, apalagi di pegunungan Meratus.
Agustus 2025, misalnya, Kementerian Lingkungan Hidup menelusuri dugaan keterlibatan delapan korporasi yang turut menyumbang asap karhutla di Kalsel, empat di antaranya bergerak di bidang kehutanan, sisanya di sektor perkebunan.

Makin terimpit
Selain regulasi, sistem perladangan Dayak Meratus juga semakin terimpit industri ekstraktif. Saat ini, Raden bilang, izin tambang minerba di kawasan tersebut mencapai 51.644,80 hektar, dengan 4.301,78 hektar di antaranya telah terbuka akibat aktivitas pertambangan.
Selain itu, terdapat pula 95.201,47 hektar izin Hutan Tanaman Industri (HTI) yang turut mempersempit ruang hidup masyarakat adat. Secara keseluruhan, deforestasi di Kalimantan Selatan selama 2023–2024 tercatat mencapai 146.956,8 hektar.
Masifnya alih fungsi hutan ini mengancam kelestarian Meratus sekaligus keberlangsungan hidup masyarakat di sekitarnya.
“Daya rusaknya nyata terhadap ekosistem Meratus dan telah menyingkirkan masyarakat adat dari ruang hidupnya. Mereka kehilangan wilayah kelolanya dan terpisah dari kehidupan yang selama ini mereka jaga.”
Tidak berhenti di situ, mereka kini menghadapi tekanan wacana penetapan Taman Nasional Meratus (TNM), luas usulan mencapai 119.793,05 hektar. Sekitar 63.301,81 hektar atau 52,84% merupakan wilayah adat.
Wilayah yang berisiko terdampak tersebar dari Kabupaten Banjar hingga seluruh kabupaten di Hulu Sungai, serta menjangkau Tanah Bumbu, Tanah Laut, dan Kotabaru.
Raden menduga kuat usulan penetapan Taman Nasional ini tidak sepenuhnya untuk melindungi lingkungan, melainkan memperkuat penguasaan wilayah atas nama konservasi.
“Penetapan Meratus dengan kedok perlindungan hak-hak masyarakat adat dan lingkungan justru bisa mempercepat penyempitan ruang hidup rakyat. Bagaimana mereka bisa berladang kalau wilayahnya semakin diperkecil.”
Padahal, sepengetahuannya, sistem perladangan Dayak terjadi sejak dua abad yang lalu, walaupun ada juga yang menyebut angka 6000 tahun sebelum masehi.

Semakin terimpitnya sistem berladang gilir-balik yang masyarakat adat Meratus jalankan juga terlihat dari pendeknya jarak waktu dan lokasi ketika mereka kembali ke ladang sebelumnya.
Hartatik, arkeolog di BRIN yang telah lama meneliti dan mengeksplorasi kawasan Pegunungan Meratus sejak tahun 2000-an, menuturkan, ketika lahan masih luas di masa lalu, Masyarakat Adat Meratus butuh 15 tahun untuk kembali ke ladang semula.
Setelah dua kali menanam dan panen dalam setahun, mereka akan berpindah ke lokasi baru dan membiarkan lahan lama pulih secara alami sebelum menggunakannya kembali.
Seiring lahan yang kian menyempit, rotasi sistem berladang gilir-balik semakin singkat. Kini hanya sekitar 5-8 tahun saja. Radius perpindahan pun semakin dekat, tidak lagi mencapai lima kilometer dari ladang sebelumnya.
Masyarakat Adat Meratus memiliki cara yang ramah lingkungan dalam membuka lahan.
“Kebakaran besar justru mulai terjadi setelah perusahaan-perusahaan masuk. Selama ini, masyarakat Meratus tidak pernah merusak atau menyelak ke wilayah lain,” ujar Hartatik.
Salah kaprah sejak dulu
Anna Tsing, Antropolog terkemuka Amerika Serikat, dalam wawancara tertulis kepada Mongabay, 3 Oktober 2025, menjelaskan, praktik gilir balik dan agroforestri pernah pemerintah kolonial kecam karena tidak paham.
Baru belakangan ini, para ahli mengakui praktik pertanian dan perhutanan masyarakat tradisional seperti Dayak Meratus sebagai salah satu bentuk ekologi manusia paling berkelanjutan di dunia.
Menurut dia, praktik-praktik tradisional itu menunjukkan pentingnya keragaman pangan dan regenerasi yang melampaui siklus musiman.
Kedaulatan pangan, bergantung pada penguasaan bebas atas beragam bentuk produksi yang mempertemukan sistem ekologi penjaga hutan dengan sistem budaya yang menopang keberlanjutan hidup manusia.
“Orang-orang Dayak Meratus sudah menjalankan visi yang bisa dijadikan panutan bagi masyarakat global yang tengah menghadapi krisis iklim dan pangan dunia.”
Profesor Antropologi Universitas California, Santa Cruz, ini, melanjutkan, Borneo merupakan salah satu situs asal domestikasi berbagai jenis buah dan sayuran penting di dunia. Lebih jauh lagi, kebudayaan Dayak telah memupuk keberagaman hayati.
Dengan demikian, banyak variasi tumbuhan bahan konsumsi di wilayah ini ketimbang tempat-tempat lain di dunia. Masyarakat Meratus, menurutnya, sudah lama menjadi penjaga keberagaman tersebut.
Mereka tidak hanya mengembangkan varietas baru, tetapi juga melestarikan varietas-varietas yang leluhur wariskan.
“Hal ini merupakan prinsip penting dalam kedaulatan pangan.”
Varietas itu, menghubungkan lahan, hutan muda, dan hutan dewasa, membentuk arsitektur yang kaya akan sumber pangan. Secara tradisional, pangan tidak hanya berasal dari ladang, tetapi juga dari berbagai ceruk ekologi yang mereka rawat.
Karena itu, saat gagal panen, pangan semi-domestik dan hasil hutan liar berperan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Lebih dari itu, kekayaan pangan yang tersedia dalam ekosistem ini juga menawarkan keberagaman nutrisi dan cita rasa.
“Elit-elit perkotaan sering menganggap makanan pedesaan Kalimantan sederhana dan membosankan. Padahal, hal itu tidak sepenuhnya benar bagi masyarakat Meratus. Keragaman dan kelezatan pangan mereka, menurut saya, tak ada bandingannya—semuanya tanpa hiruk-pikuk rempah, tanpa kuliner mewah, bahkan tanpa produk-produk komersial.”
Peraih Niels Bohr Professorship dari Universitas Aarhus ini menyebut, ekosistem pangan Meratus justru menunjukkan kekayaan rasa dan pengetahuan lokal mampu menciptakan lumbung cita rasa yang melimpah.
Pada masa penjajahan, orang-orang Eropa berusaha meyakinkan masyarakat Indonesia pengetahuan mereka tidak berharga. Memaksa ikuti pemikiran “modern” dari luar. Tidak mudah pulih dari warisan pandangan seperti itu.
“Namun, penting untuk diingat, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, pengetahuan lokal tetap menjadi pondasi penting bagi keberlanjutan hidup di Nusantara.”

Liputan ini merupakan bagian dari Beasiswa “Journalist Fellowship and Mentorship Program for Sustainable Food System 2025″ yang didukung oleh Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) bekerja sama dengan AJI Jakarta.”
*****
Opini: Pegunungan Meratus dan Hegemoni Konservasi ala Negara