- Ratusan massa menggeruduk kompleks perkantoran Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Pemprov Kalsel) di Banjarbaru, Jumat (15/8). Mereka menyuarakan penolakan terhadap wacana penetapan Taman Nasional (TN) Meratus yang mencakup area seluas 119.779 hektar yang rencananya sah pada akhir 2025.
- Massa yang terdiri dari masyarakat adat, koalisi masyarakat sipil Aliansi Meratus, hingga sejumlah mahasiswa sebagian besar mengenakan pakaian adat khas Borneo. Spanduk hingga poster bernada kritis turut membentang di tengah kerumunan, “#SaveMeratus”, “Meratus Bukan Tanah Kosong”, dan “Baju Adatnya Dipakai Pejabat, Hak Adatnya Tidak Dianggap”.
- Rubi, Ketua AMAN Kalsel mengatakan, masyarakat adat rentan terusir TN Meratus. Pasalnya, kepastian hukum yang menjamin kehidupan mereka masih sangat minim.
- Muhidin, Gubernur Kalsel, bersama wakilnya, Hasnuryadi Sulaiman, akhirnya menyambangi para demonstran. Di hadapan massa, dia menyampaikan ambisi di balik wacana penetapan TN Meratus. Dia bilang, Kalimantan Selatan menjadi satu dari empat provinsi di Indonesia yang belum memiliki taman nasional. Kebijakan ini, klaimnya, berbasis konservasi untuk melindungi kawasan dari ancaman eksploitasi.
“#SaveMeratus.” “Meratus Bukan Tanah Kosong.” “Baju Adatnya Dipakai Pejabat, Hak Adatnya Tidak Dianggap.”
Begitu antara lain spanduk dan poster yang membentang di tengah kerumunan ratusan massa menggeruduk kompleks perkantoran Pemerintah Kalimantan Selatan di Banjarbaru, Jumat (15/8/25).
Mereka menyuarakan penolakan terhadap rencana penetapan Taman Nasional (TN) Meratus yang mencakup area seluas 119.779 hektar. Massa yang terdiri dari masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil tergabung dalam Aliansi Meratus, hingga sejumlah mahasiswa sebagian besar mengenakan pakaian adat khas Borneo.
Mongabay menelaah peta wacana taman nasional ini. Sedikitnya, 23 desa masuk dalam rencana penetapan ini, tersebar di lima kabupaten, yaitu Balangan, Kotabaru, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, dan Banjar.
Di dalamnya, mengacu data kependudukan akhir 2024, terdapat 20.328 jiwa dari 6.032 keluarga. Baik masyarakat adat maupun warga lokal, terancam terusir imbas penetapan ini.
Ironisnya, sejak rencana ini bergulir September 2024 hingga target rampung Desember 2025, belum pernah melibatkan masyarakat yang terdampak. Karena itu, unjuk rasa jadi puncak kekecewaan mereka setelah surat permintaan audiensi yang mereka kirim dua bulan lalu tidak pemerintah provinsi gubris.
“Kami selalu menaruh harapan, tetapi negeri ini tidak pernah melihat jika kami ada,” seru Anang Suriani, perwakilan masyarakat adat dari Desa Kambiayin, Balangan, berorasi.
Sejak lama, masyarakat adat Meratus hidup selaras dengan alam. Bagi mereka, hutan bukan sekadar sumber penghidupan, juga ruang sakral yang menjadi nafas masyarakat adat.
“Pegunungan Meratus bukan lahan kosong. Di sana ada napas masyarakat adat, ada nilai leluhur yang sudah ditanam.”
Nilai itu terwujud dalam tradisi berladang yang juga merupakan manifestasi kepercayaan. Ritual mengiringi setiap tahapannya untuk berdoa meminta kesuburan, sekaligus menjaga hubungan dengan alam dan leluhur.
Karenanya, kehilangan tanah berarti kehilangan kesempatan untuk berladang. Tak bisa lagi melakukan ritual.
“Hutan dan tradisi behuma adalah denyut hidup kami. Di sanalah kami menanam padi untuk memenuhi kebutuhan. Kalau tradisi hilang, kami tidak lagi bisa ber-aruh. Siapa yang akan bertanggung jawab kepada leluhur kami.”
Lewat warisan nilai-nilai leluhur dan kearifan lokal, mereka mampu melestarikan hutan Pegunungan Meratus secara alami. Tidak perlu embel-embel taman nasional.
“Mohon maaf, jika pemerintah tetap ngotot menetapkan Meratus sebagai TN, maka kami akan melakukan perlawanan.”

Masyarakat sejak lama menerapkan praktik konservasi dengan pengetahuan lokalnya. Dari cara mereka berladang dengan sistem rotasi dan jeda, mereka tidak memaksa tanah. Mereka akan meninggalkan lahan untuk pulih jadi hutan setelah menggarapnya beberapa tahun.
Masyarakat adat juga memiliki aturan adat yang ketat. Seperti konsep hutan larangan yang tidak boleh mereka jamah karena kesakralannya.
“Dengan cara itu, keseimbangan alam tetap terjaga tanpa harus menunggu aturan dari luar,” kata Rudy Fahrianor, koordinator aksi itu.
Menurut dia, taman nasional merupakan konsep yang ‘menjiplak’ asing kerap menggusur hak-hak masyarakat adat. Padahal, selama ini, masyarakat adat terbukti mampu mengelola dan melestarikan Meratus dengan pengetahuan mereka.
“Saya yakin model konservasi yang tepat di Meratus adalah konsep yang selama ini dipraktikkan masyarakat adat berdasarkan pengetahuan dan hukum adat yang mereka miliki.”
Rubi, Ketua AMAN Kalsel mengatakan, masyarakat adat rentan terusir TN Meratus. Pasalnya, kepastian hukum yang menjamin kehidupan mereka masih sangat minim.
Sejauh ini, baru empat komunitas adat mendapat pengakuan di Hulu Sungai Selatan melalui Perda Nomor 1/2022. Juga, pengakuan satu komunitas adat lain di Kabupaten Tanah Bumbu lewat SK Bupati. Namun, katanya, belum termasuk pengakuan hutan adat mereka.
“Jumlah ini masih sangat sedikit dibanding keseluruhan komunitas adat di Kalsel. Selain itu, yang diakui juga berada di luar wacana TN,”katanya.
Padahal, perdebatan tentang aturan ini sudah melalui pembahasan panjang selama belasan tahun. Karena itu, ketimbang bicara konservasi, katanya, pemerintah sebaiknya fokus mengakui masyarakat adat terlebih dahulu.
“Perjuangan untuk lahirnya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat saja memakan waktu sepuluh tahun. Jangan tiba-tiba ingin menetapkan TN.”
Dalam unjuk rasa itu, Aliansi Meratus mendesak gubernur menarik kembali pengajuan penetapan taman nasional, sekaligus meminta Kementerian Kehutanan menghentikan seluruh proses yang sedang berjalan.
Mereka mendorong, Pemprov Kalsel segera mengimplementasikan Perda Nomor 2/2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.
Lebih lanjut, massa juga meminta DPR segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat pada masa sidang 2025.
Tuntutan lain, soal revisi total terhadap UU Kehutanan yang sedang pembahasan dan serta mencabut UU Nomor 32/2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (UU Konservasi).

Klaim Gubernur
Setelah berjam-jam menunggu, Muhidin, Gubernur Kalsel, bersama wakilnya, Hasnuryadi Sulaiman, akhirnya menyambangi para peserta aksi. Di hadapan massa, dia menyampaikan ambisi di balik wacana penetapan TN Meratus.
Kalsel, katanya, menjadi satu dari empat provinsi di Indonesia yang belum memiliki taman nasional. Kebijakan ini, klaimnya, berbasis konservasi untuk melindungi kawasan dari ancaman eksploitasi.
“Meratus kaya akan sumber daya alam—batubara, nikel, bijih besi, batu kapur, hingga aluminium. Kalau statusnya hanya hutan lindung, sewaktu-waktu bisa berubah menjadi hutan produksi. Karena itu perlu ditetapkan sebagai TN.”
Dia berjanji, penetapan taman nasional tidak akan menggusur masyarakat adat. Justru, katanya, keberadaan taman nasional akan memudahkan pemerintah memberikan pembinaan.
Dia contohkan, TN Bukit Duabelas di Jambi yang berpenghuni 67% Suku Anak Dalam. Pemerintah tetap membolehkan berkebun bahkan memberi dukungan.
“Selama saya jadi gubernur, takkan ada yang terusir. Bila ada, saya rela mundur. Bahkan jika setelah saya tak menjabat nanti terbukti merugikan, saya akan ikut demo.”
Dia juga menginstruksikan bupati di wilayah yang ada masyarakat adat segera mengesahkan regulasi yang mengatur keberadaan mereka.
Namun, Orang nomor 1 Kalsel ini menolak menandatangani tuntutan pembatalan rencana taman nasional meski massa mendesaknya. Dia justru menawarkan solusi dengan mengajak beberapa tokoh adat berdialog di dalam kantornya.
Tawaran ini mendapat penolakan, hingga Muhidin sempat meninggalkan massa. Dia kembali karena perlawanan masyarakat tidak juga surut.
Tawaran terakhirnya, supaya perwakilan masyarakat berdialog langsung dengan Kementerian Kehutanan di Jakarta. Dia berjanji menanggung seluruh biaya secara pribadi.
Meski diskusi berlangsung alot dan situasi sempat tegang, demonstran akhirnya menyetujui tawaran itu. Namun, mereka juga menegaskan akan berangkat secara independen tanpa bergantung pada gubernur.
Melalui surat resmi bernomor 600.4/01639/DLH/2025, Muhidin meminta pemerintah kabupaten di Kalsel mempercepat penetapan pengakuan masyarakat adat.
Surat itu untuk sembilan bupati, yakni, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Tanah Laut, Balangan, Tabalong, dan Tanah Bumbu.
Surat menjelaskan langkah tindak lanjut dari Perda Nomor 2/2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.
“Bupati diharapkan segera melakukan inventarisasi, pendataan, dan proses penetapan pengakuan masyarakat hukum adat di wilayahnya masing-masing,” tulisnya dalam surat itu.

Skeptis
Meskipun demikian, banyak pihak yang masih belum puas dan ragu terhadap komitmen Muhidin. Anang menilai pernyataan Muhidin bahwa taman nasional tidak akan mengusir masyarakat malah menunjukkan ketidakpahaman si pejabat.
“Mana ada TN yang membiarkan aktivitas manusia? Beliau yang tidak paham. Karena itu saya tetap menolak TN,” kata Anang.
Fitrus Sartono, Masyarakat Adat Loksado, Hulu Sungai Selatan, menyampaikan keraguan sama. Janji manis gubernur, katanya, terdengar seperti cara meredam situasi.
“Saya merasa itu hanya penghibur karena beliau sedang terdesak. Makanya langsung mengajak ke Jakarta. Tapi paling-paling nanti hanya dipertemukan dengan staf kementerian, bukan menterinya. Kami ini mungkin akan kembali dipermainkan.”
Raden Rafiq, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel menganggap, janji Muhidin tidak memperlihatkan bentuk keberpihakan kepada rakyat.
“Janji ya hanya janji. Faktanya, dia memilih untuk tidak bersama masyarakat adat. Keputusan ini menjadi bukti bahwa pemerintah daerah lebih condong pada kebijakan konservasi top-down ketimbang suara akar rumput.”
Rudy Redhani, Livelihood Specialist Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia, menduga, surat yang Gubernur Kalsel keluarkan hanya untuk menggeser isu penetapan taman nasional agar gelombang penolakan dari masyarakat adat bisa mereda.
Hal ini tidak menyentuh akar persoalan, justru menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.
Masyarakat adat, katanya, sejak awal menolak rencana pembentukan taman nasional di Pegunungan Meratus. Penolakan itu menjadi pilihan sikap karena mereka khawatir konsep taman nasional mengancam ruang hidup, tradisi, dan hak ulayat masyarakat adat .
“Masyarakat adat pada dasarnya tidak menolak konservasi Meratus. Hanya saja, model yang mereka kehendaki berbeda, yakni berbasis tradisi seperti pengakuan hutan adat serta sistem kayuan/katuan Dayak Meratus yang telah lama menjadi bagian dari tata kelola lingkungan mereka.”

Perlawanan akar rumput
Sebelum aksi ini berlangsung, penolakan sudah lebih dulu tumbuh subur di berbagai ruang diskusi. Masyarakat adat, akademisi, aktivis perorangan, NGO, mahasiswa, jurnalis, hingga anak muda di Kalimantan Selatan ramai memperbincangkan isu TN Meratus.
Antara lain, dalam forum inisiasi Dewan Mahasiswa Posko Perjuangan Rakyat (DEMA Prospera) Kalsel yang juga melibatkan Mongabay di Banjarmasin, Jumat (8/8/25).
Komunitas kolektif berbondong-bondong antusias mengikuti diskusi dari siang hingga menjelang malam. Mereka mempelajari dan menganalisa potensi kejadian di Meratus jika jadi taman nasional.
“Supaya kawan-kawan di Banjarmasin khususnya para Mahasiswa tau lebih jauh penyebab masyarakat meratus menolak TN, dan sekiranya kita sama-sama mengawal,” ujar Florentino Mario, penggagas acara.
Selain itu, BEM Seluruh Indonesia Kalimantan Selatan juga menunjukkan kepedulian mereka dengan menggelar diskusi publik Taman Nasional Meratus di Banjarmasin, Selasa (12/8/25). Hadir dalam diskusi Gaga Andrus dari Komunitas Gembel Banjarmasin, hingga Syahrani, Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara PW Kalsel.
Rizki, Koordinator Wilayah BEM SI Kalsel, mengatakan, diskusi jadi ruang penting untuk menyatukan perspektif masyarakat. Juga, menguatkan gerakan penolakan TN Meratus agar kebijakan yang lahir tidak mengorbankan hak-hak rakyat dan lingkungan.
Resistensi serupa juga mengemuka di Banjarbaru, dalam dialog bertajuk “Taman Nasional untuk Siapa? Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat dan Revisi Total UU Kehutanan di Tengah Sengkarut Penguasaan Hutan oleh Negara,” Rabu (13/8/25). Dalam acara itu lahirlah Revolusi Meratus yang intinya menolak penetapan rencana taman nasional.
Hari yang sama, gelombang perlawanan turut terlihat di kampus Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Saat PPKMB hari ketiga di auditorium kampus.
Ratusan mahasiswa membentangkan spanduk besar bertuliskan #SaveMeratus dan #EndCoal dan poster dengan narasi penolakan Taman Nasional Meratus, sebagai aksi dari protes mereka.
“Kami sadar akan segala bentuk permasalahan yang terjadi di Pegunungan Meratus, yang berdiri di sepanjang wilayah Kalimantan Selatan,” kata Adi Jayadi, dari Universitas ULM.
Meratus, katanya, merupakan rumah masyarakat adat. Berbagai masalah terjadi di sana, mulai industri ekstraktif di segala sisi, hingga rencana penetapan taman nasional yang mengalami penolakan .
Masyarakat adat terus mempertahankan hutan yang menjadi rumah maupun mempertahankan adat dan spiritual yang telah mereka lakukan sejak lama.
“Maka dari itu tujuan kami ingin menanamkan terlebih kepada mahasiswa baru bahwasanya mahasiswa tidak boleh lepas dari adanya tanggung jawab kepada berbagai problematika yang hadir dan memperjuangkan hak rakyat, terlebih untuk peduli terhadap isu-isu kedaerahan, khusus ancaman terhadap Pegunungan Meratus yang disebut sebagai paru-paru dunia di Kalimantan.”

*****