- Hampir separo wilayah Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah padang savana hingga merepresentasikanya sebagai padang sabana terbesar di Indonesia. Kendati hanya tampak padang rumput, ekosistem ini berperan penting sebagai penyerap karbon, sama halnya gambut atau ekosistem lahan basah.
- Selain pariwisata, sejak lama, keberadaan padang sabana di Sumba Timur termanfaatkan untuk gembala ternak secara turun temurun. Seperti kambing, kerbau, sapi, hingga kuda. Produk ternak asal daerah ini pun terkenal berkualitas hingga tembus pasar internasional.
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai, sabana di Sumba Timur merupakan penyerap karbon terbesar selain gambut, mangrove dan padang lamun. Karena itu, Walhi pun mengusulkan penetapan sabana sebagai ekosistem esensial untuk mencegah eksploitasi dan pembangunan merusak.
- Umbu Lili Pakuwali, Bupati Sumba Timur, akui pentingnya perlindungan ekosistem sabana yang kini terancam ekspansi industri dan pembangunan. Dan, itu tidak terbatas pada aspek lingkungan, tetapi juga mencakup berbagai sendi kehidupan masyarakat. Terutama, tujuh sendiri kebudayaan ekosistem sabana, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pengetahuan lokal, politik, kelembagaan adat, dan spiritual.
Matta, bersama putrinya yang berusia 13 tahun, menarik kuda berwarna coklat-putih itu naik ke puncak bukit di Desa Pambota Jara, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Minggu (21/9/25). Saat itu, jarum jam menunjukkan pukul 11.30 WITA. Meski matahari belum tepat di atas kepala, panasnya terasa membakar.
Siang itu, Matta memang sengaja ke puncak bukit untuk mencari para pelancong. Disana, para pengunjung biasa menjadikan kuda sebagai properti pendukung saat berfoto dengan latar belakang padang savana yang cukup menawan.
Untuk berfoto sambil memegang tali di samping kuda, Matta mematok tarif Rp25.000. Kalau di punggung kuda, tarif Rp50.000, dan Rp100.000 untuk menunggang dan jalan keliling.
“Kuda saya ini sudah berulang kali masuk TV dan pembuatan iklan. Sewanya sama dengan kuda lainnya,” katanya bangga.
Dalam sehari, Matta bisa mendapatkan Rp300.000-350.000 dari kerjaannya itu.
Bukit Wairinding. Begitu nama bukti yang menjadi icon wisata di kabupaten ini. Panoramanya yang indah membuatnya populer. Terlebih, setelah menjadi lokasi syuting berbagai film dan video musik, seperti Pendekar Tongkat Emas (2014) dan Susah Sinyal (2017). Dari atas bukit, tampak hamparan padang savana sejauh mata memandang.
Dari ibu kota Sumba Timur, Waingapu, bukit ini berjarak sekitar 25 kilometer.

Ekosistem penting savana
Selain Warinding, Sumba Timur banyak miliki bukit savana yang pesonanya berubah-ubah mengikuti musim. Saat musim hujan (Oktober–April), savana berwarna hijau segar. Bahkan, nuansanya bak di kawasan perbukitan di Selandia Baru.
Saat musim kemarau (Mei–September), warnanya berubah kuning kecoklatan, menyerupai lanskap padang rumput di Afrika.
Selain destinasi wisata, savana di Sumba Timur juga menjadi area gembala masyarakat turun temurun. Mulai dari kuda, sapi, kerbang, hingga kambing. Hasil ternak kabupaten ini pun mampu menembus luar daerah, hingga mancanegara.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai, savana di Sumba Timur merupakan penyerap karbon terbesar selain gambut, mangrove dan padang lamun. Karena itu, Walhi pun mengusulkan penetapan savana sebagai ekosistem esensial untuk mencegah eksploitasi dan pembangunan merusak.
“Sumba merepresentasikan savana terbesar di Indonesia, diharapkan masuk ekosistem esensial yang dilindungi negara, seperti gambut, padang lamun, karst, dan mangrove,” kata Zenzi Suhadi, kala itu masih Direktur Eksekutif Walhi Nasional September lalu.
Usulan untuk menjadikan savana sebagai ekosistem esensial makin urgen di tengah mencuatnya rencana investasi industri di Sumba yang luasnya mencapai 52.000 hektar, setara 5% luasan pulau.
“Jadi, usulan ini sangat relevan untuk kepentingan masa depan.”
Umbu Lili Pakuwali, Bupati Sumba Timur, akui pentingnya perlindungan ekosistem savana yang kini terancam ekspansi industri dan pembangunan.
Hal itu, katanya, tidak terbatas pada aspek lingkungan, tetapi juga mencakup berbagai sendi kehidupan masyarakat. Terutama, tujuh sendiri kebudayaan ekosistem savana, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pengetahuan lokal, politik, kelembagaan adat, dan spiritual.
Seluruh aspek tersebut saling terkait dan menentukan keberlanjutan pembangunan di Sumba.
“Perlindungan savana harus jadi bagian integral dari pembangunan berkelanjutan. Tidak hanya menjaga ekosistem, tetapi juga melestarikan nilai-nilai budaya yang hidup bersama dalam sabvna,” kata bupati dalam diskusi Perlindungan Ekosistem Savana dalam Kebijakan Perlindungan Ekosistem Esensial, September lalu.
Lili katakan, savana adalah warisan bersama yang harus dijaga untuk generasi mendatang. Dengan luas yang capai 58% dari luas wilayah, savana memiliki nilai esensial bagi Sumba Timur, sekaligus bentang alam penting bagi proses ekologi dan fungsi sosial budaya.

Identitas budaya
Sumba Timur dengan jumlah penduduk mencapai 262.975 jiwa memiliki luas wilayah mencapai 700.050 hektar. Dari luasan itu, padang rumput/savana mencapai 405.705, 44 hektar, atau ± 58% dari luas wilayah.
Daerah ini juga memiliki potensi bencana alam tinggi, terutama kekeringan dan kebakaran lahan karena curah hujan yang sedikit.
Angka kemiskinan daerah ini juga termasuk tertinggi di NTT, di peringkat empat dan mencatatkan angka stunting 15,1%.
Bagi masyarakat setempat, padang savana tak hanya ekosistem penting, tetapi juga identitas budaya. Hal itu terjadi karena bahasa lokal yakni ungkapan, nama tempat dan budaya lahir dari proses interaksi dengan alam sabana.
Adat istiadat dan hukum adat berupa sistem pengelolaan dan tata guna lahan, larangan- larangan adat juga lahir dari sana.
Savana memiliki hubungan dengan ritus keagamaan dan spiritualitas. Ekosistem savana menjadi ruang sakral untuk upacara adat dan ritus penghormatan leluhur. Dalam hal seni dan ekspresi budaya, menjadi sumber inspirasi. Ini terlihat dari motif tenun ikat, lagu daerah dan cerita rakyat.
”Savana juga menjadi tempat mata pencaharian tradisional yakni sebagai tempat penggembalaan dan sistem pertanian lokal,” kata Lili.
Selain lokal Indonesia, dulu, kata bupati, hasil peternakan Sumba tembus hingga ke Hongkong. Orang-orang tua mereka terdahulu bahkan kerap ke luar negeri untuk menjual hasil ternak mereka.
Tak kalah penting, savana juga sebagai habitat bagi berbagai spesies tumbuhan dan hewan termasuk yang bersifat endemik. Dia meyakini bila perlindungan ekosistem ini dapat berkontribusi terhadap dampak perubahan iklim, pengaturan siklus air, dan penyerapan karbon.
“Ekosistem savana memiliki nilai sosial, budaya dan keagamaan bagi masyarakat lokal termasuk bagi Masyarakat adat 17.554 jiwa penghayat kepercayaan Marapu atau 6,8% dari jumlah penduduk.”

Pemerintah Sumba Timur memasukkan perlindungan ekosistem sabana dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2024-2044 dengan proses banyak melibatkan masyarakat. Juga tertuang dalam RPJMD 2025-2029 yang telah menyertakan indikator pelestarian budaya, pelestarian lingkungan dan ekosistem.
“Dalam RPJMD telah tercantum misi pembangunan yang inklusif, berketahanan sosial, budaya dan ekologis yang bertujuan meningkatkan pengembangan kebudayaan, penerapan sistem hukum dan pengelolaan tanah adat/ulayat,” katanya.
Pada konteks sendi budaya, pemda mendorong pendokumentasian dan revitalisasi ritual adat terkait savana, integrasi nilai-nilai adat dalam regulasi tata ruang serta penyelenggaraan festival budaya savana untuk memperkuat identitas.
Pada pendidikan dan pengetahuan lokal, upaya itu melalui integrasi kearifan lokal perlindungan ekosistem sabana dalam kurikulum sekolah, program sekolah lapang ekologi savana bagi petani dan peternak muda.
Pada sendi politik dan kelembagaan adat, melalui legalitas hak ulayat atas padang sabana melalui perda atau SK Bupati, skema manajemen bersama antara pemerintah dan kelompok masyarakat. Ada juga penguatan forum adat sebagai mitra resmi perencanaan pembangunan.
Terakhir dalam sendi spiritual, pemda memberi perlindungan terhadap lokasi sakral sebagai tempat ritual adat dalam tata ruang wilayah, pelestarian ritus-ritus spiritual dan tempat doa leluhur, penguatan narasi spiritual dalam kampanye lingkungan.
”Strategi pemulihan ekosistem savana secara jangka pendek kami lakukan melalui rehabilitasi dan regulasi. Untuk jangka menengah melalui penguatan ekonomi dan pendidikan serta jangka panjang melalui pelembagaan dan identitas budaya,” jelas Lili.
Dia katakan, ekosistem savana bukan hanya sekedar ruang terbuka juga ruang kehidupan, spiritualitas dan ruang budaya. Karena itu, melindungi dan memulihkan ekosistem savana berarti melindungi masa depan Sumba Timur
Maklon Felipus Killa, Rektor Universitas Kristen Wira Wacana (Unkriswina) Sumba menyampaikan, hampir sebagian besar wilayah Sumba adalah padang savana tetapi luas mulai berkurang karena berbagai aktivitas. Padahal, banyak spesies endemik yang jadikan kawasan ini rumah mereka.
Dalam konteks ekonomi, padang savana menjadi tempat aktivitas baik pertanian maupun peternakan. Ada juga aktivitas pariwisata yang sudah berkembang.
Menurut Maklon, ekonomi Sumba menghadapi banyak tantangan dari ancaman deforestasi, degradasi savana, krisis air, kerentanan iklim, kerentanan pangan, serta keterbatasan akses modal dan inovasi.
Sisi lain, warganya sangat bergantung pada sumber daya alam yang ada. Di sinilah tantangannya.
“Kita tidak boleh berpikir bahwa padang sabana tidak ada manfaatnya, sebab berdasarkan berbagai hasil riset menunjukan kontribusi savana terhadap karbon terutama di bawah tanah sangat tinggi hamper 50%,” katanya.
Dia pun mendorong pengelolaan sabana secara berkelanjutan dengan pelibatan aktif kampus. “Perlu penerapan teknologi informasi sebagai upaya konservasi ekosistem savana.”
Dengan begitu, pemanfaatan savana tidak sampai mendegradasi peran atau fungsi ekologinya.

Bukan sekadar landscape
Stepanus Makambombu, dari Stimulant Institut mengatakan, savana bukan sekadar landscape, melainkan lifescape, ruang hidup yang membentuk identitas sosial, ekonomi, dan kultural masyarakat Sumba. Masalahnya, selama ini upaya pemanfaatannya acapkali menimbulkan paradoks.
Dia bilang, dalam satu dekade terakhir pariwisata Sumba berkembang pesat dengan daya tarik utamanya ekosistem sabana. Tren pertumbuhan pariwisata ini ia khawatirkan ancam ekosistem savana yang menjadi modal utama daya tarik Sumba.
Mirisnya, komunitas yang masih hidup dengan tradisi Marapu justru mengalami eksklusi ekologi.
“Masuknya investasi skala besar merampas ruang ritual, sumber air, dan hutan yang menjadi pusat kehidupan mereka. Hilangnya masyarakat adat berarti hilangnya pelindung savana.”
Menurut Stepanus, savana banyak menyediakan sumber pangan lokal yang paling adaptif perubahan iklim, seperti ubi-ubian liar iwi/gadung (Dioscorea hispida).
Namun, konversi lahan dan monokultur menggantikan sumber pangan ini dengan komoditas yang tidak sesuai dengan ekologi savana. Pada akhirnya, praktik tersebut memperdalam marginalisasi pangan lokal.
Dia pun menyesalkan savana yang kerap dipandang sebagai tanah kosong atau sekadar padang penggembalaan yang tidak produktif.
Pandangan konservatif ini mengabaikan fungsi savana yang lebih kompleks yakni menjaga keseimbangan hidrologis, habitat keanekaragaman hayati, penyerap karbon, serta penopang ekonomi lokal berbasis ternak.
Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa ekosistem savana menyimpan karbon lebih stabil di dalam tanah dibandingkan pepohonan.
Lebih dari 50% cadangan karbon organik tanah hingga kedalaman satu meter berasal dari sistem akar dan biomassa bawah tanah (Wigley et al., 2020; Coetsee, 2023; Zhou et al., 2023).
“Mempertahankan savana tidak kalah efektif dibandingkan reforestasi dalam mitigasi iklim. Ini menjadi kritik tajam terhadap kebijakan yang cenderung memprioritaskan carbon trading berbasis reforestasi, alih-alih menjaga kemampuan alami savana.”
Stepanus mengharapkan ada langkah konkret. Sarannya, pertama, pengakuan ekosistem savana sebagai kawasan esensial. “Pemda dan masyarakat sipil harus mendorong pengakuan savana sebagai Kawasan Ekosistem Esensial setara dengan mangrove, karst, dan rawa.”
Kedua, riset kolaboratif. Universitas, LSM dan pemerintah daerah perlu menghasilkan bukti sosial dan kultural tentang manfaat savana guna mempercepat pengakuan nasional. Ketiga, pembangunan holistic-terintegratif, melihat pulau ini sebagai satu kesatuan ekosistem savana, bukan sekadar wilayah administratif.
“Hanya dengan cara pandang yang lebih adil, ekologi sabana dapat bertahan, dan janji Sumba Masa Depan bisa diwujudkan tanpa mengorbankan masyarakat adat dan lingkungan hidupnya.”

*****
Ekosistem Laut Tak Sehat, Ancam Mamalia Laut Terdampar ke Pesisir di NTT