- Trend Asia dan Transparency International Indonesia (TII) meluncurkan hasil kajian bertajuk “Buku Putih Valuasi Kerusakan Proyek Rempang Eco City”, Selasa (14/10/2025). Dokumen tersebut ungkap tingginya kerugian sosial, ekonomi, dan ekologis jika proyek Rempang Eco City (REC) tetap berlanjut.
- Zakki Amali, Peneliti Trend Asia katakan, riset tersebut untuk mengukur kesenjangan antara klaim pembangunan dan dampak nyata REC terhadap warga. Hasilnya menunjukkan potensi ekonomi Rempang berasal dari bentang alam, budaya, keanekaragaman hayati, tempat pemijahan biota air, pemecah gelombang, penahan intrusi laut, rumput laut, perikanan budidaya, pertanian, dan perikanan tangkap sebesar Rp32 juta per bulan.
- Selain potensi ekonomi, riset ini juga menghitung kerugian lingkungan. Ada berbagai potensi kerugian seperti gangguan ekosistem, hilangnya flora dan fauna, mata pencaharian, serta timbulnya abrasi dan akresi. Jika kalkulasi, potensi kerugian lingkungan masyarakat Rempang mencapai Rp109.000.000 per rumah tangga per bulan. Atau tiga kali lipat dari potensi ekonomi.
- Salsabila Khairunnisa dari Gerakan Rakyat Menggugat PSN (GERAM PSN) menyebut proyek REC merupakan kelanjutan dari pola pembangunan kapitalistik yang sudah berlangsung sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejak saat itu banyak regulasi yang memberi karpet merah bagi pembangunan infrastruktur, termasuk lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
Trend Asia dan Transparency International Indonesia (TII) meluncurkan hasil kajian bertajuk “Buku Putih Valuasi Kerusakan Proyek Rempang Eco City”, Selasa (14/10/25). Dokumen itu ungkap tingginya kerugian sosial, ekonomi, dan ekologis jika proyek Rempang Eco City (REC) tetap berlanjut.
Zakki Amali, Peneliti Trend Asia mengatakan, riset itu untuk mengukur kesenjangan antara klaim pembangunan dan dampak nyata REC terhadap warga. Sampai saat ini, warga masih bertahan dari ancaman penggusuran.
“Terakhir warga bahkan menggelar pasar rakyat sebagai bentuk perlawanan,” katanya.
Fokus penelitian ini untuk menilai potensi ekonomi Pulau Rempang sekaligus menghitung kerugian ekologis akibat proyek itu. Penelitian juga menjadi alat advokasi penting agar pembangunan berlangsung secara inklusif, melibatkan masyarakat sebagai subjek, bukan objek.
Riset yang berlangsung sejak Mei 2025 ini melibatkan 87 keluarga di Rempang. Hasilnya menunjukkan potensi ekonomi Rempang dari bentang alam, budaya, keanekaragaman hayati, tempat pemijahan biota air, pemecah gelombang, penahan intrusi laut, rumput laut, perikanan budidaya, pertanian, dan perikanan tangkap.
“Rata-rata total potensi ekonomi per rumah tangga per bulan mencapai Rp32 juta,” kata Zakki.
Sebelumnya, pemerintah menyebut penghasilan warga hanya sekitar Rp3.000.000 per bulan, artinya ada perbedaan hampir sepuluh kali lipat.
“Kita melihat, pemerintah gagal melakukan kalkulasi yang menjadi dasar pengambilan keputusan. Penggusuran tidak pernah menggunakan dasar yang solid, melainkan sangat rapuh.”
Zakki katakan, warga juga rasakan pengeluaran melebihi Rp3.000.000 sebulan. Antara lain untuk biaya sekolah anak dan kebutuhan pokok.
“Dari data kami, perikanan tangkap menjadi sektor dengan pendapatan tertinggi karena mayoritas warga berprofesi sebagai nelayan.”
Selain potensi ekonomi, riset ini juga menghitung kerugian lingkungan. Ada berbagai potensi kerugian seperti gangguan ekosistem, hilangnya flora dan fauna, mata pencaharian, serta timbulnya abrasi dan akresi.
Jika kalkulasi, risiko kerugian lingkungan masyarakat Rempang mencapai Rp109 juta per rumah tangga sebulan. Atau tiga kali lipat dari potensi ekonomi. “Wajar bila warga menolak proyek ini.”
Dia contohkan, investasi Xinyi Rp300 triliun 2080 dikaitkan dengan model kerugian lingkungan, maka total kerugian mencapai Rp135 triliun.
“Artinya, hampir 50% nilai proyek ini justru berpotensi menjadi kerugian. Pemerintah selalu menyebut proyek ini menguntungkan, tapi tidak pernah terbuka soal kerugian besar yang akan terjadi.”

Kritik PSN
Salsabila Khairunnisa dari Gerakan Rakyat Menggugat PSN (GERAM PSN) mengatakan, proyek REC merupakan kelanjutan dari pola pembangunan kapitalistik yang sudah berlangsung sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Saat itu formula menghadapi krisis moneter adalah pembangunan infrastruktur besar-besaran. Bank Dunia bahkan menyebut masalah pembangunan di negara dunia ketiga terletak pada infrastruktur. Maka muncullah proyek-proyek raksasa seperti sekarang,” katanya.
Sejak saat itu, banyak regulasi yang memberi karpet merah bagi pembangunan infrastruktur, termasuk Undang-undang Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
“Padahal istilah kepentingan umum tidak pernah didefinisikan secara jelas. Kata-kata itu dijual untuk membenarkan pembangunan,” katanya.
GERAM PSN kini menggugat kebijakan itu ke Mahkamah Konstitusi agar tak ada lagi proyek yang menjadikan rakyat sebagai korban.
“Kalau pembangunan mengklaim untuk rakyat, itu kebohongan besar. Makanya kami gugat ke MK.”
Dia pun mengajak para hakim dan publik untuk menyadari bahwa hukum tidak boleh tunduk pada tafsir kekuasaan.
Tata Mustasya, Direktur Eksekutif Sustain, menilai temuan dalam riset itu bisa menjadi rujukan penting bagi strategi ekonomi nasional.
“Sejak awal, konsep PSN sudah salah secara definisi. Ia gagal memenuhi tiga pilar utama: kesejahteraan, keadilan, dan lingkungan,” katanya.
Kalau tiga syarat tersebut tidak terpenuhi, proyek itu tidak bisa disebut strategis. “Dari penelitian ini terlihat bahwa ketiganya tidak ada.”
Dia bilang, sektor ekonomi yang tumbuh dari model pembangunan seperti Rempang justru bersifat ekstraktif. Lebih dari 60% ekonomi nasional disumbang sektor ekstraktif: 39% batubara, 19% sawit, sisanya nikel.
“Ini sebabnya ekonomi kita stagnan, karena sektor yang dibangun bukan padat karya, tapi perusak alam,” kata Tata.
Jadi, ketika pemerintah menyebutkan pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi, kondisinya berbanding terbalik dengan di lapangan.

Rempang harus tetap hijau
Perwakilan masyarakat Pulau Rempang, Sukri, mengucapkan terima kasih kepada tim solidaritas yang telah melakukan riset. REC, katanya, sangat merugikan nelayan dan petani yang menjaga ruang hidup mereka.
“Kalau kami pindah dari kampung, dampaknya sangat besar. Kami bertahan karena mempertahankan kampung halaman,” kata warga Kampung Sembulang Hulu ini.
Dia sempat mengikuti pasar rakyat sebagai simbol perlawanan. Dia ingin tunjukkan kepada pemerintah bahwa warga memiliki hasil laut dan darat yang melimpah.
Menurut dia, nenek moyang warga membangun Rempang sejak lama dan menyimpan banyak sejarah. Hal itu yang membuat dia dan warga lainnya bersikukuh untuk mempertahankannya.
“Kami akan terus mempertahankannya karena di sini akar kehidupan kami.”
Wadi, warga lain mengatakan, masyarakat Rempang hanya ingin menjaga pulau mereka tetap hijau. Dia mencontohkan pembangunan di Pulau Setokok dan Pulau Tanjung Sauh membuat laut keruh dan udara berdebu.
“Bahkan laut di sekitar rumah relokasi Kampung Tanjung Banun sekarang seperti kopi susu. Itu yang tidak kami mau. Itu mahal, tidak bisa ditukar dengan uang.”
Kalau lingkungan tetap bersih, pendapatan warga sebenarnya bisa lebih dari Rp32 juta per bulan.
“Investasi apapun, sebaik apapun, tetap merusak. Karena itu kami menolak proyek Rempang Eco City. Rempang harus tetap hijau seperti dulu.”

*****
Warga Rempang Alami Kekerasan, Komnas HAM: Kedepankan Perlindungan Warga