- Pit viper Himalaya (Gloydius himalayanus) atau ular beludak Himalaya, adalah ular berbisa yang hidup hingga hampir 5.000 meter di atas permukaan laut, menjadikannya salah satu reptil tertinggi di dunia. Peneliti menemukan bahwa ia mampu bertahan di udara tipis dan suhu dingin ekstrem dengan bersembunyi di celah batu dan berjemur untuk mengatur suhu tubuh.
- Riset terbaru menemukan variasi genetik besar di antara populasi ular ini. Salah satu populasi bahkan diusulkan sebagai spesies baru bernama Gloydius chambensis, menunjukkan adaptasi cepat terhadap lingkungan pegunungan.
- Ular ini berperan penting menjaga keseimbangan ekosistem gunung dengan mengendalikan populasi hewan kecil. Meski habitatnya sulit dijangkau dan masih kurang diteliti, studi lanjutan terus mengungkap rahasia adaptasinya terhadap udara dingin dan oksigen rendah di Himalaya.
Di lereng batu Himalaya, tempat udara begitu tipis hingga napas terasa berat, ada kehidupan yang tak terduga. Seekor ular berbisa beradaptasi di antara suhu dingin dan tekanan oksigen rendah. Namanya Gloydius himalayanus, atau pit viper Himalaya, atau ular beludak Himalaya. Ular ini menjadi salah satu reptil yang hidup di ketinggian paling ekstrem di dunia, mendekati 5.000 meter di atas permukaan laut. Benar-benar hidup di atas awan.
Bagi sebagian besar reptil, lingkungan seperti itu mustahil untuk ditinggali. Suhu siang hari jarang hangat, malam bisa turun hingga di bawah nol. Namun ular beludak Himalaya justru menjadikannya rumah. Ia hidup di antara bebatuan, padang tinggi, dan tebing terbuka, di mana sedikit makhluk lain sanggup bertahan. Sinar matahari menjadi sumber panas utama, dan celah batu menjadi tempat perlindungan dari udara beku.

Minat ilmuwan terhadap ular ini meningkat dalam satu dekade terakhir. Penelitian genetik dan morfologi menunjukkan bahwa ular beludak Himalaya memiliki keragaman tinggi antara satu populasi dan lainnya. Beberapa kelompok di lembah berbeda bahkan menunjukkan ciri yang begitu unik hingga para peneliti menduga bisa jadi mereka sedang berevolusi menjadi spesies baru. Temuan ini membuka babak baru dalam pemahaman tentang kehidupan ekstrem di pegunungan tertinggi dunia, tempat kehidupan benar-benar berlangsung di atas awan.
Baca juga: Ular Vipera berus, Satu-satunya Spesies Ular yang Hidup di Lingkar Kutub
Asal dan Penelitian Genetik Terbaru
ular beludak Himalaya termasuk keluarga ular berbisa Viperidae. Spesies ini ditemukan di India bagian utara, Nepal, dan Bhutan, dan dikenal sebagai satu-satunya anggota marga Gloydius yang hidup di sisi selatan Himalaya. Ukurannya sedang, dengan panjang sekitar satu meter. Warna tubuhnya coklat keabu-abuan, menyatu sempurna dengan warna bebatuan di sekitarnya.
Selama bertahun-tahun, ular ini dianggap satu jenis yang tersebar luas di kawasan pegunungan. Namun penelitian genetik yang dilakukan oleh beberapa tim peneliti Asia memperlihatkan hal berbeda. Populasi Gloydius himalayanus dari satu lembah ke lembah lain memiliki perbedaan gen yang cukup mencolok. Salah satu studi oleh Bangor University menemukan kelompok ular dengan bentuk sisik dan warna tubuh yang berbeda, serta pola DNA yang unik. Kelompok itu kini diusulkan sebagai spesies baru, Gloydius chambensis.
Penelitian tersebut diterbitkan resmi di European Journal of Taxonomy. Selain itu, studi lanjutan tentang hubungan genetik antarspesies dalam marga ini juga dimuat di ScienceDirect. Hasil riset menunjukkan bahwa ular beludak Himalaya merupakan cabang evolusi awal dalam kelompok Gloydius, menunjukkan adaptasi panjang terhadap kehidupan di ketinggian ekstrem.
ular beludak Himalaya hidup di daerah dengan ketinggian 2.100 hingga sekitar 4.900 meter di atas permukaan laut. Ini menjadikannya ular yang hidup paling tinggi di dunia yang tercatat sejauh ini. Habitatnya bervariasi, dari lereng berbatu dan padang rumput alpine hingga tepian sungai pegunungan. Ia lebih suka tempat dengan batu besar dan celah sempit yang bisa digunakan untuk bersembunyi.

Di ketinggian seperti itu, suhu jarang stabil. Ular ini memanfaatkan panas matahari untuk menaikkan suhu tubuh. Saat siang, ia berjemur di bebatuan terbuka. Begitu udara mulai dingin, ia kembali bersembunyi di celah batu. Kebiasaannya ini membuatnya sulit dilihat oleh pengamat. Peneliti lapangan di Jammu dan Kashmir mencatat bahwa ular ini jarang bergerak jauh dari tempat perlindungan, mungkin untuk menghemat energi di lingkungan yang keras.
Aktivitasnya lebih sering pada sore atau malam ketika suhu tidak terlalu ekstrem. Ia memangsa hewan kecil seperti tikus gunung, kadal, dan serangga besar. Karena mangsa di dataran tinggi terbatas, ular ini menyesuaikan diri dengan memakan apa pun yang tersedia. Ketika musim dingin datang, ia berhibernasi selama beberapa bulan di celah batu untuk menghindari suhu beku.
Baca juga: Ular Paling Utara di Dunia, Bertahan Hidup di Salju Bersuhu Minus 10 °C
Bisa, Mangsa, dan Peran Ekologis
Seperti viper lain, ular beludak Himalaya memiliki bisa, tetapi kasus gigitan terhadap manusia sangat jarang. Wilayah hidupnya terlalu tinggi dan terpencil. Gigitan ular ini biasanya menimbulkan rasa sakit dan pembengkakan di sekitar luka, namun tidak sampai mematikan. Karena belum ada laporan gigitan serius, bisa ular ini masih jarang diteliti secara mendalam.
Peran ular beludak Himalaya dalam ekosistem pegunungan cukup penting. Ia membantu mengendalikan populasi hewan kecil seperti tikus gunung yang bisa merusak vegetasi sensitif. Di wilayah dengan rantai makanan terbatas, keberadaan predator seperti ular ini menjaga keseimbangan alami. Tanpa kehadirannya, populasi mangsa bisa tumbuh berlebihan dan mengganggu kestabilan lingkungan alpine.
Selain itu, ular ini menjadi indikator kesehatan ekosistem pegunungan. Kehadirannya menandakan bahwa lingkungan tersebut masih mendukung rantai kehidupan yang utuh. Dalam jangka panjang, mempelajari ular beludak Himalayaa membantu memahami bagaimana spesies tropis bisa beradaptasi ke kondisi hampir kutub, sekaligus memberi wawasan tentang dampak perubahan iklim terhadap kehidupan di ketinggian ekstrem.

Habitat ular ini berada di daerah sulit dijangkau, dengan jalan curam dan cuaca tidak menentu. Itulah sebabnya penelitian terhadap ular beludak Himalaya masih terbatas. Banyak catatan lapangan berasal dari pengamatan singkat atau foto individu yang ditemukan secara kebetulan oleh pendaki dan peneliti lokal. Padahal, data lebih lengkap dibutuhkan untuk memahami seberapa luas penyebarannya dan bagaimana populasinya bertahan.
Hingga kini, status konservasinya di Daftar Merah IUCN masih “Data Deficient” atau kurang data. Artinya, belum cukup bukti untuk menentukan apakah populasinya stabil atau terancam. Faktor seperti pembangunan jalan gunung, aktivitas wisata ekstrem, serta perubahan iklim berpotensi mengganggu habitatnya. Pemanasan global juga bisa memaksa spesies ini naik ke ketinggian yang lebih tinggi lagi, mempersempit ruang hidupnya.