- Ambisi pemerintah untuk swasembada pangan, energi dan air berbanding terbalik dengan komitmen iklim serta janji Presiden Prabowo Subianto, dalam asta cita. Pasalnya, agenda buka lahan lebih 2,7 juta hektar untuk proyek strategis nasional (PSN) di Kabupaten Merauke, Mappi dan Boven Digoel, akan memarjinalkan masyarakat adat dan merusak keseimbangan ekosistem.
- Sutami Amin dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengatakan, pembangunan kawasan pengembangan pangan dan energi ini sarat kepentingan kelas kapitalis perkebunan serta bisnis militer.
- Ekspansi agrikultur dan energi ini di Merauke antara lain, proyek pangan skala besar (food estate) terdiri dari cetak sawah seluas 1 juta hektar dan tanaman pangan 349.944 hektar. Lalu, peternakan 373.578 hektar dan perkebunan tebu 633.000 hektar untuk produksi bioetanol. Kemudian, kebun sawit di Mappi dan Boven Digoel 382.759 hektar untuk produksi biodiesel (B50).
- Uli Arta Siagian, dari Walhi Nasional mengatakan, proyek ini tak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan keselamatan masyarakat adat di Papua Selatan.
Ambisi pemerintah untuk swasembada pangan, energi dan air berbanding terbalik dengan komitmen iklim serta janji Presiden Prabowo Subianto, dalam asta cita. Pasalnya, agenda buka lahan lebih 2,7 juta hektar untuk proyek strategis nasional (PSN) di Kabupaten Merauke, Mappi dan Boven Digoel, akan memarjinalkan masyarakat adat dan merusak keseimbangan ekosistem.
Ekspansi agrikultur dan energi ini di Merauke antara lain, proyek pangan skala besar (food estate) terdiri dari cetak sawah seluas 1 juta hektar dan tanaman pangan 349.944 hektar. Lalu, peternakan 373.578 hektar dan perkebunan tebu 633.000 hektar untuk produksi bioetanol. Kemudian, kebun sawit di Mappi dan Boven Digoel 382.759 hektar untuk produksi biodiesel (B50).
Data Kementerian Koordinator Bidang Pangan, memperlihatkan, pemerintah akan membangun fasilitas penunjang konektivitas dan distribusi di Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) itu. Antara lain, jalan 135 km lebar 142 meter (1.926,1 hektar), bandara 180 hektar dan pelabuhan khusus 377 hektar.
Amalya Reza Oktaviani, Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia mengatakan, untuk melancarkan proyek ini, pemerintah akan revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Papua Selatan.
Dasar regulasinya antara lain, Peraturan Presiden Nomor 12/2025, Permenko Perekonomian Nomor 2/2025, Instruksi Presiden Nomor 14/2025 dan Peraturan Presiden Nomor 40/2023.
Regulasi ini akan mendorong tiga hal, pertama, mengakomodasi PSN pangan dan energi melalui penyediaan lahan.
Kedua, mengakomodasi pembangunan infrastruktur penunjang PSN pangan dan energi melalui penyediaan lahan. Ketiga, menyelaraskan perencanaan tata ruang dan pola ruang di daerah dengan program nasional, terutama proyek strategis nasional.
“Kebijakan ini sudah menihilkan partisipasi masyarakat dengan legitimasi bahwa perencanaan tata ruang di provinsi harus selaras dengan proyek-proyek yang adil nasional,” kata Amel, sapaan abrabnya.
Kebutuhan lahan yang luas tak membuat pemerintah pusing. Mereka lalu menerbitkan keputusan Menteri Kehutanan yakni SK 430/2025 dan SK 591/2025 untuk mengubah status fungsi dan pelepasan hutan, termasuk hutan lindung.
Regulasi ini, katanya, akan membuat perubahan fungsi hutan seluas 175.009 hektar dan pelepasan kawasan hutan seluas 543.575 hektar di KSPP, termasuk hutan lindung.
Keputusan ini, katanya, akan berimplikasi pada meningkatkan kerentanan kawasan hutan untuk izin, dan deforestasi hutan alam di area lepasan kawasan hutan.
“Penyingkiran masyarakat adat dari wilayahnya, dan kerusakan pada area bernilai konservasi tinggi di Papua Selatan,” kata Amel.
Analisis Trend Asia, proyek ini berisiko mendeforestasi hutan alam seluas 695.315 hektar karena perubahan status dan pelepasan hutan.
Pelepasan dan penurunan fungsi kawasan ini juga tumpang tindih dengan 49 wilayah adat di Merauke, Boven Digul, Mappi, dan Asmat. Masyarakat adat hidup bergantung pada sagu, hewan buruan, dan ekosistem hutan.
“Ini akan menyebabkan konflik karena masyarakat adat pasti bertahan dengan wilayah yang selama ini mereka kelola dan lestarikan.”
Proyek ini, katanya, tak sejalan dengan janji Prabowo merestorasi 12 juta hektar hutan dalam sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu.
Dia bilang, Prabowo tidak belajar dari kegagalan proyek Swasembada pangan dan energi sebelumnya.

Kepentingan siapa?
Sutami Amin dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengatakan, pembangunan kawasan pengembangan pangan dan energi ini sarat kepentingan kelas kapitalis perkebunan serta bisnis militer.
Wilayah- wilayah yang saat ini menjadi sasaran proyek cetak sawah baru dan infrastruktur pertanian oleh Kementerian Pertahanan dan PT Jhonlin Group, katanya, sudah mengubah hutan menjadi garnisun militer.
Pada bagian utara Kota Merauke, ada perusahaan perkebunan tebu PT Global Papua Abadi dan PT Murni Nusantara Mandiri yang Fangiono dan Martua Sitorus, kuasai.
Di sana, hutan terbongkar, rawa tertimbun, hilang dusun sagu, dan merusak padang savana yang jadi kesatuan ruang hidup Orang Marind dan Yei.
Penurunan status kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan dan klaim tanah kosong dari Kementerian ATR/BPN demi penguasaan negara atas hutan dan tanah (domain verklaring).
“Ini klaim hukum untuk mengusir masyarakat adat yang bergenerasi-generasi di sana.”
Uli Arta Siagian, dari Walhi Nasional mengatakan, proyek ini tak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan keselamatan masyarakat adat di Papua Selatan.
Berdasarkan analisis Walhi, pelepasan dan perubahan fungsi hutan untuk proyek ini bakal melepaskan emisi 140 juta-299 juta ton CO2.
“Ini berkontradiksi dengan komitmen iklim Indonesia. Indonesia akan mempermalukan dirinya sendiri jika rencana ini tetap dijalankan.”
Pada kawasan hutan yang akan pelepasan itu ada 24 kampung. Yakni, Kampung Bibikem, Yulili, Wogekel, Wanam, Woboyu, Dodalim, Dokib, Wamal, Yowid, Welbuti, Sanggase, dan Alatep. Kemudian, Kampung Alaku, Dufmira, Iwol, Makalin, Es Wambi, Maghai, Wambi, Onggari, Domande, Kaipursei, Zanegi dan Kaliki.
Pelepasan hutan ini juga akan memperparah konflik agraria di Papua Selatan. Proyek PSN dan pelepasan kawasan hutan itu, katanya, tak berdasarkan persetujuan masyarakat adat sebagai pemilik sah wilayah.
Selain merusak sumber pangan, katanya, pelepasan kawasan hutan ini juga hancurkan ekosistem hutan Merauke sebagai habitat satwa endemik seperti kasuari, kanguru pohon, cenderawasih dan lain-lain.

Catatan Walhi Papua, dalam 30 tahun terakhir, provinsi yang berjuluk “Bumi Cendrawasih” ini kehilangan tutupan hutan primer sekitar 688.000 hektar.
Deforestasi 2022-2023 seluas 552.000 hektar hutan alam Papua terdeforestasi. Papua menyumbang 70% dari total deforestasi nasional.
“Proyek serakah nasional ini merupakan wajah kolonialisme, bukan hanya terhadap masyarakat adat di Papua, juga ekologi.”
Sedangkan Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH mengklaim, proyek ini tak hanya untuk memperkuat ketahanan pangan nasional, juga membawa manfaat langsung bagi masyarakat Papua Selatan.
Dia sebut, mantaat itu melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan ekonomi lokal, serta pembangunan infrastruktur strategis.
Dengan tata kelola lingkungan yang tepat, dalih menteri, swasembada pangan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan kelestarian ekosistem.
“Pembangunan pangan bukan semata tentang beras atau komoditas lain. Ini tentang masa depan bangsa. Dengan tata lingkungan tepat, kita ingin rakyat Papua Selatan hidup sejahtera, lingkungan lestari. Indonesia berdiri lebih mandiri,” katanya, dalam keterangannya.
Zulkifli Hasan, Menteri Koordinator Bidang Pangan, menegaskan pentingnya kemandirian nasional untuk meningkatkan setok pangan nasional.
Indonesia, katanya harus bisa mandiri, tidak boleh lagi tergantung pada negara lain untuk kebutuhan pangan pokok rakyat.

Nasib masyarakat adat
Yasinta Gebze, perempuan adat dari Kampung Wobikel, Distrik Ilwayab mengatakan, PSN itu menyebabkan masyarakat sengsara, lantaran tanah terrampas perusahaan.
Lokasi PSN itu, terdiri dari lahan dan hutan yang merupakan sumber kehidupan mereka.
“Sudah digusur, hutan tempat cari makan kami. Tempat-tempat sakral sudah digusur semua. Kami punya tempat cari makan sudah tidak ada lagi. Nanti kita cari makan di mana lagi, sudah tidak ada tempat,” kata Yasinta.
KSPP terdiri dari lima klaster dan tersebar di 13 wilayah distrik. Proyek ini mengancam lebih dari 50.000 Orang Papua yang bermukim di kampung sekitar dan dalam lokasi proyek.
“Kami minta perusahaan keluar dari tanah Marind, aparat pun demikian, keluar dari tanah Marind,” katanya, beberapa waktu lalu.
Dia punya lahan 13 petak dengan tanaman pisang dan macam-macam telah tergusur tanpa ganti rugi. Sebelum ada PSN, masyarakat bisa menanam tanaman pangan dan berburu hewan di hutan, untuk jual atau konsumsi sendiri.
Ketika PSN datang, ruang hidup masyarakat terganggu dan serba terbatas. Mereka juga merasa ketakutan karena kehadiran tentara kerap berpatroli dengan membawa senjata.
Dia bilang, masyarakat Merauke terbiasa berburu dan bertani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan, dari hasil tani dan berburu mereka bisa menyekolahkan anak hingga ke jenjang perguruan tinggi.
“Anak saya lima, semua sudah lulus sekolah, satu kuliah. Yang paling tua perempuan, sudah menikah.”
Yasinta bilang, berbagai macam komoditas tani mereka tanam seperti keladi, kacang, ubi dan sawi. Masyarakat juga berburu ikan di danau dengan hasil mereka jual, dan sebagian untuk konsumsi bersama keluarga.
“Jadi, ikan kakap, mujair, betik, terus ikan ubi. Kami punya hasil jualan. Itu bisa sampai Rp2 juta, Rp3 juta sekali jual. Itu ikan saja. Kalau dari kebun itu sehari bisa dapat Rp 800 ribu. Rp 900 ribu bahkan Rp 1 juta,” tuturnya.
Kini, masyarakat cemas dengan kehadiran perusahaan yang kuasai lahan mereka untuk PSN. Masyarakat adat, kata Yasinta, khawatir untuk memenuhi kebutuhan hidup pasca PSN jalan.
Hal ini, katanya, bukan semata-mata ganti rugi dengan uang tetapi soal keberlanjutan hidup masyarakat yang terbiasa dengan bertani dan berburu.
Yasinta dan masyarakat adat di Merauke tetap akan memperjuangkan ruang hidup mereka meski berada dalam tekanan pemerintah, aparat dan perusahaan. Dia tidak ingin alam Papua sebagai sumber kehidupan rusak.
Sebelumnya, Simon Petrus, pemuda Suku Malind mengatakan, proyek cetak sawah di Merauke pernah gagal di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2010.

Saat itu, SBY melancarkan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) untuk menjamin pangan dan energi dengan menciptakan lahan pertanian penghasil beras, tebu dan minyak sawit 1,2 juta hektar.
Proyek gagal. Kemudian muncul cetak sawah 1,2 juta hektar di Merauke era Joko Widodo di awal menjabat presiden pada 2015. Juga gagal.
Menurut Simon, tanah di Merauke tak cocok untuk mengembangkan padi. Karena ada lumpur asam yang akan menghambat pertumbuhan padi.
“Itu rawa yang saat musim hujan lebih dari 3-4 meter dan naik di atas tanah keringnya itu padi pun tidak mungkin akan tumbuh. Karena itu sabana yang mungkin rumputnya tebal di bawahnya sudah lumpur putih. Ini lumpur asam dan tidak mungkin itu padi akan tumbuh.”
Pastor Pius Manu, tokoh agama dan pemilik ulayat mengatakan, masyarakat adat pun sulit meredam pembangunan PSN ini lantaran tentara bersenjata lengkap menjaganya.
Aparat keamanan mengawal masuknya kendaraan masuk hutan untuk proyek cetak sawah baru di Wanam, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke.
“Tanpa ada sosialisasi, tanpa didahului konsultasi mendapatkan kesepakatan persetujuan masyarakat adat, eksavator dan bulidozer perusahaan masuk ke wilayah adat kami, amuk, menggusur dan menghancurkan hutan alam, dusun dan rawa,” kata Pius.
*****