- Konservasi saat ini menghadapi berbagai krisis: percepatan kerusakan ekologi, lemahnya lembaga-lembaga pendukung, keruntuhan arus informasi akibat disinformasi, serta meningkatnya ancaman terhadap para pembela lingkungan di garis terdepan. Berbagai tekanan ini saling berkelindan dan memperumit upaya melindungi alam dan manusia.
- Untuk bertahan, sektor konservasi harus menyesuaikan dengan model pendanaan dan perancangan sesuai dengan kemampuan pemerintah, dan memperlakukan jurnalistik dan media informasi sebagai infrastruktur penting.
- Ketahanan juga bergantung pada perlindungan terhadap para pelaku di lapangan dan penerapan “optimisme sebagai metode” — yakni pendekatan berbasis bukti, kemampuan dalam menceritakan kisah-kisah kecil tentang keberhasilan, dan menolak bersikap fatalistis.
- Pandangan yang disampaikan ini merupakan pandangan penulis dan tidak selalu mencerminkan pandangan Mongabay.
Sebut saja saat ini kita berada di persimpangan jalan. Kerusakan ekologis kini berlangsung semakin cepat di berbagai banyak tempat sekaligus. Lembaga-lembaga yang dahulu dianggap mampu membatasi dampaknya terkesan mulai goyah; sementara saluran informasi yang kita andalkan untuk mengoordinasikan tindakan kini tersumbat.
Di hutan-hutan tropis, kehilangan hutan primer tahunan pada dekade 2020-an meningkat hingga 50% dibandingkan dengan tahun 2000-an. Kebakaran, kekeringan, dan fragmentasi saling berkelindan, ini semua mengubah kebakaran rutin menjadi kobaran api berskala regional yang mendorong ekosistem hingga ke batas yang dulu dianggap para ilmuwan hanya bersifat hipotesis.
Angka-angka ini bukan sekadar data abstrak; itu adalah luas lahan, spesies, dan mata pencaharian yang nyata hilang.
Politik pun tidak bersikap netral. Anggaran bantuan telah dipotong atau dibekukan. Di Amerika Serikat, perombakan atau penangguhan jalur pendanaan utama membuat berbagai program konservasi kelabakan. Dampak berantai terhadap dukungan dana yang diterima para jagawana, kegiatan pemantauan, hingga insentif komunitas — dimulai dari Kongo hingga Indonesia pun mulai terasa.
Sementara itu, meski beberapa lembaga filantropi telah berupaya mengisi kekosongan yang ditinggalkan, namun kesenjangan tersebut tetap nyata dan mendesak. Situasi ini diperparah oleh kecenderungan global menuju otoritarianisme yang mempersempit ruang gerak masyarakat sipil dan melemahkan tata kelola lingkungan.
Ekosistem informasi yang seharusnya membantu kita memperbaiki arah justru ikut terdegradasi. Teori konspirasi menyebar lebih cepat daripada klarifikasi. Algoritma lebih banyak memberi imbalan pada sensasi dan kebaruan dibanding substansi.
Tingkat penghindaran terhadap berita meningkat, dan dalam politik post-truth, fakta semata cukup jarang untuk memenangkan argumen. Dunia konservasi tidak dapat lagi berasumsi bahwa bukti ilmiah saja akan mampu mengarahkan kebijakan atau pasar. Dalam konteks ini, kita harus memikirkan bagaimana informasi perlu disampaikan, dipercaya, dan waktu penyampaiannya.
Para pembela di garis depan pun kini semakin rentan. Di wilayah-wilayah perbatasan dengan tata kelola yang lemah namun kaya sumber daya, intimidasi dan kekerasan menjadi semakin lazim. Menyusutnya ruang bagi masyarakat sipil membuat perlindungan terhadap manusia dan alam kian sulit.
Di tingkat organisasi sendiri, krisis yang lebih senyap terus berlanjut: tekanan psikologis tinggi, kelelahan ekstrem dan terlalu sering berujung pada tragedi. Sektor yang awalnya digerakkan oleh tujuan yang ideal, namun dengan sistem yang penuh ketidakpastian kronis, lambat laun sistem dukungan kerja melambat dan dianggap sebagai suatu yang biasa-biasa saja.
Jika disatukan, berbagai tekanan ini membentuk sebuah krisis — bukan akibat dari satu masalah semata, melainkan interaksi dari akumulasi banyak faktor. Tugas kita adalah menavigasinya dan keluar dari situasi ini dengan lebih kuat.

Menata Ulang Pendanaan: Siapa yang Sebenarnya Perlu Membiayai?
Langkah pertama adalah menerima fakta bahwa masa “Bantuan Besar” (Big Aid) sebagai penopang utama konservasi skala besar kini sudah jauh berkurang, setidaknya untuk saat ini. Namun, bukan berarti hal itu adalah akhir dari segalanya, ada cara bagaimana seharusnya program itu dirancang.
Setiap intervensi kegiatan harus disesuaikan dengan kemampuan nyata pemerintah dalam menanggung biaya secara berkelanjutan. Dukungan dari para pihak terkait pun harus nyata sejak awal, bukan sekadar formalitas di akhir.
Dalam konteks ini, peran filantropi adalah sebagai katalisator. Fungsinya menyediakan modal yang berani dalam mengambil risiko untuk merancang sistem yang terjangkau bersama dengan pemerintah. Ia perlu memberikan hibah jangka panjang yang fleksibel untuk pekerjaan inti; serta membentuk dana bersama yang dapat menekan biaya transaksi dan menyebar risiko.
Di sini, tampak ada tanda-tanda yang menggembirakan. Beberapa lembaga filantropi telah menaikkan batas minimum penyaluran dukungan dan telah secara terbuka mampu mendorong peningkatan donasi di masa sulit. Juga turut memberi dukungan bagi para pemimpin lokal yang sedang mencoba memperbaiki sistem dari dalam.
Prinsip utama ini sederhana: berikan pendanaan dengan kelimpahan dan fleksibilitas di tempat yang memiliki kebutuhan dan potensi besar; pusatkan kepemimpinan lokal; dan ukur keberhasilan bukan dari seberapa baru proyeknya, tetapi melihat dari perubahan nyata dan berkelanjutan dalam cara lembaga-lembaga tersebut bekerja.
Konservasi di Afrika bisa menjadi contoh nyata. Ketika bantuan luar negeri mulai berkurang, pemerintah nasional dan daerah mengambil peran yang lebih besar, sementara kelompok konservasi komunitas dan masyarakat sipil bertransformasi dari pihak yang “dibantu” menjadi pihak yang “memimpin.”
Peluang yang terbuka di sini adalah munculnya perluasan model konservasi yang mampu menghasilkan manfaat nyata bagi mata pencaharian masyarakat dan pendapatan publik, lalu mendokumentasikan hasilnya dengan ketat agar bisa digunakan untuk membuka peluang pendanaan bersama di dalam negeri.
Mitra internasional dapat berperan membantu membangun skema pembiayaan jangka panjang — seperti dana perwalian, pertukaran utang, atau mekanisme berbasis kinerja, sembari menahan diri dari godaan dan keinginan untuk terlalu mengintervensi jalannya program.

Jurnalisme Berbasis Informasi Sebagai bagian dari Strategi
Dalam konteks ini, informasi perlu selayaknya diperlakukan seperti asupan “oksigen” agar arah perubahan itu dapat terjadi: dengan tetap menyajikan fakta yang kredibel, tepat waktu, dan terbuka untuk publik.
Jika semua dapat dilakukan dengan baik, maka jurnalisme mampu mengubah arah kebijakan, memperketat akuntabilitas, dan melindungi manusia.
Kita telah melihat beragam kasus tentang bagaimana kesepakatan rahasia akhirnya dibatalkan setelah isinya terungkap ke publik. Klaim perihal penjagaan iklim dari perusahaan penerima subsidi perlu diperiksa hingga dana publik dialihkan. Berbagai fakta dan data ini lalu dapat digunakan oleh jaksa, legislator, dan kelompok-kelompok di akar rumput sebagai bukti .
Poin utamanya adalah pada ketepatan laporan, bukan banyaknya informasi.
Menggabungkan liputan tentang krisis dengan solusi yang sudah terbukti bukanlah suatu bentuk pencitraan; melainkan cara pelaporan yang lebih menyeluruh yang dapat membantu pembaca untuk serta memberi contoh konkret bagi para pelaku lapangan.
Di era ketika AI bisa memproduksi kebohongan secara masif, maka verifikasi, kolaborasi lokal, dan perencanaan keamanan menjadi hal yang wajib.
Karena itu, investasi harus diarahkan pada infrastruktur pendukung: berbasis data terbuka, pendistribusian dalam berbagai bahasa, serta memastikan penyimpanan data yang benar-benar dapat digunakan oleh regulator dan tim penegakan regulasi.
Setelah itu, pemantauan hasil nyata kerja perlu dilakukan — seperti mengumpulkan data tentang kontrak yang dibatalkan, izin yang direvisi, atau anggaran yang dialihkan — bukan hanya sekadar mencari sensasi dengan jumlah klik di laman berita.

Membangun Koalisi Yang Lebih Luas dan Beragam
Ketika politik nasional menjadi terpolarisasi, pemerintah di tingkat lokal, lembaga daerah, Masyarakat Adat, dan pelaku bisnis yang berpikiran praktis seringkali masih menjadi sandaran untuk mengambil tindakan.
Tugas kita adalah menjalin hubungan kerjasama “di luar zona nyaman umum” yang berfokus pada titik-titik di mana kepentingan para pihak dapat saling bertemu: seperti upaya restorasi lahan yang dapat meningkatkan daerah serapan hijau; membangun model ekonomi sirkular yang mengurangi limbah sekaligus menghemat biaya; atau upaya pemulihan alam liar (rewilding) yang menurunkan risiko kebakaran.
Kita tidak perlu lagi menghabiskan energi untuk meyakinkan pihak yang sudah pasti kukuh menolak, tetapi perlu melibatkan kelompok yang bisa beraliansi melalui isu-isu yang relevan bagi mereka.
Demikian pula, kita perlu mendorong inisiatif di bidang ekonomi dan kesehatan publik yang dapat memperkuat keanekaragaman hayati.
Prinsip perancangan semacam ini juga berlaku untuk isu-isu lain seperti pangan, konservasi air tawar, dan perlindungan laut. Isu-isu dimana reformasi subsidi dan pelacakan rantai pasok dapat dijalankan lebih cepat alih-alih menunggu hingga lahirnya undang-undang baru.
Legitimasi pun memiliki arti penting. Program konservasi seharusnya memperlakukan masyarakat lokal sebagai rekan kerja, bukan hanya sekadar tujuan penerima manfaat, sistem ini tentu akan lebih jauh berkembang dan dan bertahan lebih lama.
Lingkungan kebijakan yang mengembalikan nilai kepada pengelola lokal, memperjelas hak, dan menanamkan sistem pengelolaan bersama bukanlah sebuah kemewahan, melainkan prasyarat bagi keberlanjutan.
Lebih jauh lagi, ketahanan jangka panjang bergantung pada kejelasan hak atas tanah atau sumber daya, penerapan FPIC (free, prior and informed consent/persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan) lewat pembagian manfaat yang adil. Tanpa hal-hal tersebut, koalisi akan terasa rapuh dan hasilnya biasanya tidak akan dapat bertahan lama.
Beberapa contoh di kawasan Afrika dan kawasan lain telah membawa bukti. Di sini kita semua sebaiknya perlu saling mendukung, berbagi pengakuan, dan mengikuti langkah tersebut.

Lindungi Mereka yang Menjalankan Pekerjaan di Lapangan
Agar upaya konservasi daapt mampu bertahan dalam lingkungan kerja yang semakin keras, kesehatan mental harus menjadi perhatian serius.
Hal ini berarti penting memasukkan rencana kesejahteraan dari sistem manajemen; melakukan rotasi bagi penugasan yang memiliki tingkat stres tinggi; melatih para atasan untuk mengenali tanda-tanda tekanan psikologis bagi staf; serta memberikan apresiasi atas kontribusi kerja staf yang memberikan hasil.
Para pemberi dana dapat membantu sebagian biaya yang diperlukan tersebut, termasuk juga dapat meringankan beban pelaporan yang sering kali turut menguras kapasitas organisasi.
Keamanan juga harus dipahami dalam arti yang lebih luas daripada sekadar kesejahteraan. Ini mencakup anggaran untuk pembelaan hukum dan dukungan terhadap gugatan strategis yang bertujuan membungkam kritik (Anti-SLAPP), protokol keamanan digital maupun lapangan, rencana evakuasi dan asuransi, serta dana cepat tanggap bagi para pembela lingkungan dan jurnalis.
Optimisme Sebagai Metode
Optimisme kerap memiliki citra yang buruk. Dalam bidang yang diwarnai perhitungan yang suram, sikap optimistis sering terdengar seperti bentuk ketidaktahuan. Namun, versi optimisme yang efektif dan terukur kerap kali diperlukan.
Ia dapat digunakan untuk memfokuskan hanya pada hal-hal yang benar-benar bisa dikendalikan targetnya, dan membangun kebiasaan yang menghubungkan antara upaya dan karya nyata.
Misalnya, membangun zona larangan tangkap ikan di tingkat komunitas —itu tidak hanya membantu pemulihan populasi ikan, tapi juga kepercayaan dan keyakinan masyarakat bahwa aturan dan kerjasama bisa membawa manfaat nyata. Jenis optimisme seperti ini bukan sekadar suasana hati; ini adalah sebuah metode.
Contoh konkret penting adalah sebab dan akibat. Gorila gunung tidak pulih dari ambang kepunahan secara kebetulan, melainkan melalui kerja panjang, berisiko, dan penuh politik kehati-hatian yang menyatukan para jagawana, komunitas, dan pemerintah selama bertahun-tahun.
Pemulihan burung kākāpō yang rapuh bukanlah sekedar kisah romantis, melainkan hasil penerapan protokol yang sangat terukur: penggunaan pemancar dan alat pencatat data, penelitian genetika, pemberian nutrisi yang terarah, serta penggunaan drone. Semuanya dilakukan demi menyelamatkan spesies yang hanya berkembang biak ketika hutan sedang berbuah lebat.
Keduanya memang terdengar rentan dari kegagalan, tetapi sekaligus juga menjadi bukti nyata bahwa keberhasilan konservasi masih mungkin terjadi di dunia yang haus akan contoh semacam itu.
Di sini, narasi itu penting karena fakta membutuhkan wadah untuk bisa dibawa dan dipahami. Kita dapat menceritakan kisah-kisah kecil tentang keberhasilan yang bisa ditiru di tempat lain, sebaliknya juga perlu mempublikasikan hal-hal yang tidak berhasil dalam konteks yang jelas agar pengalaman itu bisa menjadi pelajaran bagi orang lain.
Tujuannya bukan untuk berpura-pura bahwa tren besar dunia sedang baik-baik saja, tetapi untuk menanam “titik balik positif” agar perubahan kecil itu bisa menyebar, ditiru, dan akhirnya berkembang menjadi perubahan sistem yang lebih luas.

Batas antara Keinginan dan Harapan
Sering dalam kondisi kritis, banyak orang tergoda untuk berpikir secara ajaib atau terlalu optimis tanpa dasar.
Optimisme berguna jika ia didukung bukti dan analisis risiko kegagalan sejak awal, memiliki batas jelas kapan sesuatu itu harus dihentikan, menyebutkan apa atau siapa yang mungkin dirugikan, serta tidak buru-buru merasa berhasil hanya karena data atau grafik yang terlihat positif.
Sebagai contoh: suatu upaya restorasi penanaman satu jenis pohon yang tumbuh cepat mungkin bisa menghasilkan gambaran yang indah dan angka penyerapan karbon yang tinggi dalam jangka pendek, tetapi sebaliknya hal itu bisa jadi mengorbankan keanekaragaman hayati.
Jadi, kegiatan restorasi perlu dirancang sesuai dengan nilai yang benar-benar ingin kita capai yang hasilnya dapat dipantau dalam waktu lama agar alam dan manusia bisa memberi jawaban balik.
Hal sama juga dapat diterapkan dalam pemanfaatan pasar dan teknologi. Alat-alat pendukung transparansi memang belum pernah sebaik sekarang, namun ada pula upaya sengaja untuk menutupi kebenaran.
Solusi iklim berbasis alam memiliki potensi besar, tetapi hambatan utamanya tetap berasal dari subyektifitas manusia penggunanya sendiri dalam mengalokasikan pendanaan, kepercayaan, desain kebijakan, dan keadilan.
Untuk itu, sistem perlu dirancang melalui manajemen adaptif dan kolaborasi regional, khususnya di wilayah di negara-negara yang banyak menghadapi tantangan dan hambatan birokrasi.

Seperti Apa Wujud Keberhasilan Itu?
Bidang konservasi dari dalam yang kuat akan terasa bermanfaat jika pendanaan mempertimbangkan siklus ekonomi dan tidak bersifat transaksional. Dengan melihat dukungan yang fleksibel dan terikat pada nilai publik yang jelas serta strategi lokal yang bisa dijalankan pemerintah secara berkelanjutan.
Fungsi arus media informasi perlu diperlakukan sebagai infrastruktur publik, yang meliputi: verifikasi, multibahasa, serta dapat bebas digunakan secara berulang sehingga dapat dioptimalkan untuk audiens yang bisa mengambil tindakan.
Koalisi lebih luas diantara para pihak perlu dibangun berdasarkan manfaat nyata, bukan sekadar slogan. Optimisme kerja akan hadir dalam bentuk daftar kerja yang nyata.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa belum tentu ada jaminan bahwa semua ini akan berbuah baik pada akhirnya.
Rekor panas bumi masih terus terjadi; anggaran pendanaan konservasi akan kembali mengetat; para pembela lingkungan masih menghadapi risiko di banyak wilayah; dan arus disinformasi akan terus berevolusi. Namun, krisis bukanlah takdir.
Kita masih bisa memperkuat fondasi sambil menjalaninya: merancang sistem global siapa yang perlu membayar dan siapa yang bakal menjadi pihak pemanfaat; kita perlu menyalurkan dukungan ke tempat dimana ia bisa digunakan; memperluas jejaring kerja; memberi perlindungan bagi para pelaku di lapangan; serta membangun kebiasaan yang mampu menjaga daya kendali manusia.
Pekerjaan ke depan bukan hanya soal menemukan doktrin baru, melainkan konsisten menjalankan yang sudah terbukti bertahan di bawah tekanan. Kita perlu terus menceritakan kisah-kisah kecil yang mampu menjadi inspirasi dan menggerakkan orang bertindak. Sudah waktunya, kita menolak bersikap pesimis dan hanya berserah pada nasib.
Masa depan tidak akan datang dalam satu lompatan besar, melainkan terkumpul secara bertahap lewat tahapan perbaikan yang dapat terverifikasi perlahan hingga peluang berbalik untuk muncul.
Rhett A. Butler adalah pendiri dan CEO Mongabay. Tulisan ini adalah opini penulis dan tidak sepenuhnya menyiratkan kebijakan organisasi. Tulisan ini pertamakali diterbitkan di sini. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita
*****