- Arus Sirkumpolar Antartika (ACC) di Samudra Selatan pernah bergeser sekitar 600 km ke selatan dan mengalir tiga kali lebih cepat pada 130.000 tahun lalu, menyebabkan kenaikan permukaan laut global hingga 9 meter.
- Pergeseran itu dipicu oleh perubahan orbit dan kemiringan Bumi (Siklus Milankovitch) yang memperkuat angin baratan dan menarik arus laut ke kutub.
- Kini, pemanasan global akibat aktivitas manusia dapat mendorong pola serupa terjadi kembali, mempercepat pencairan es Antartika dan mengancam wilayah pesisir termasuk Indonesia.
Di Samudra Selatan yang mengelilingi benua Antarktika, mengalir arus laut raksasa tak terlihat yang terus bergerak tanpa henti. Samudra ini terletak di antara Atlantik, Hindia, dan Pasifik bagian selatan, membentuk cincin besar air dingin yang memutari Antarktika. Di wilayah inilah Arus Sirkumpolar / Lingkar Antarktika (Antarctic Circumpolar Current/ACC) berputar, menjadi arus laut terbesar di dunia.
ACC menggerakkan massa air lebih dari seratus kali lipat gabungan semua sungai di Bumi. Ia menjaga sirkulasi panas antara samudra-samudra besar, menyeimbangkan suhu global, dan menjadi komponen utama sistem iklim planet. Tanpa arus ini, distribusi panas dari daerah tropis ke kutub akan terganggu, memicu cuaca ekstrem di seluruh dunia.

Selama ribuan tahun, ilmuwan menganggap ACC sebagai sistem yang stabil dan konstan. Namun penelitian baru menunjukkan bahwa arus ini tidak selalu setenang yang dikira. Data dari dasar laut memperlihatkan bahwa ACC pernah bergeser besar-besaran di masa lalu, memperkuat alirannya hingga beberapa kali lipat dan mengubah posisinya secara drastis. Temuan ini menjadi peringatan penting bagi masa depan. Saat pemanasan global akibat aktivitas manusia terus meningkat, perilaku ACC kembali menjadi perhatian utama. Jika pola perubahan yang terjadi 130.000 tahun lalu terulang, dampaknya dapat meluas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia yang rentan terhadap kenaikan permukaan laut.
Menelusuri Jejak Perubahan di Dasar Laut
Untuk memahami bagaimana arus laut berubah, para ilmuwan mencari jawabannya di tempat paling sunyi di Bumi: dasar samudra. Lapisan sedimen yang menumpuk selama ribuan tahun berfungsi seperti arsip bumi, menyimpan catatan tentang suhu air, kekuatan arus, dan kondisi iklim masa lalu.
Tim internasional dari International Ocean Discovery Program (IODP) melakukan ekspedisi di Laut Scotia, di antara ujung selatan Amerika Selatan dan Semenanjung Antarktika, jalur utama ACC. Dengan kapal bor canggih, mereka mengambil inti sedimen dari kedalaman hingga 4.000 meter di bawah permukaan laut. Setiap meter inti mewakili ribuan tahun sejarah Bumi.

Kunci penelitian ini adalah analisis ukuran partikel sedimen. Ketika arus kuat, partikel halus tersapu menjauh dan hanya butiran besar yang mengendap. Saat arus melemah, partikel kecil ikut turun membentuk lapisan tipis. Dengan meneliti pola ukuran butiran pada setiap lapisan, ilmuwan dapat merekonstruksi kekuatan arus laut di masa lalu.
Metode ini memberikan gambaran kronologis tentang perubahan ACC selama ratusan ribu tahun, bukti fisik yang tak bisa diperoleh dari model komputer atau citra satelit. Dari data sedimen, para ilmuwan menemukan perubahan besar sekitar 130.000 tahun lalu, pada periode hangat alami yang disebut Periode Antarglasial Terakhir (Last Interglacial Period). Suhu global saat itu lebih tinggi beberapa derajat dibanding sekarang, dan lapisan es kutub lebih kecil.

ACC diketahui mengalir hampir tiga kali lebih cepat dibanding kecepatan rata-ratanya dalam seribu tahun terakhir. Lebih dari itu, arus ini bergeser sekitar 600 kilometer ke arah Kutub Selatan (setara jarak Jakarta–Surabaya). Pergeseran ini membuat batas antara air hangat dan dingin ikut berpindah, sehingga air laut yang lebih hangat mencapai tepi lapisan es Antarktika.
Kontak langsung antara air hangat dan es mempercepat pencairan dari bawah. Lapisan es di darat menjadi rapuh dan mudah runtuh ke laut. Ilmuwan memperkirakan peristiwa ini berkontribusi pada kenaikan permukaan laut global hingga enam sampai sembilan meter dibanding masa kini.
Jika skenario serupa terjadi di era modern, dampaknya akan luar biasa. Kenaikan sembilan meter akan menenggelamkan banyak kota pesisir besar di dunia, termasuk di Indonesia. Pulau-pulau kecil di Indonesia bagian timur juga bisa hilang sepenuhnya.
Peristiwa purba itu membuktikan bahwa perubahan di Samudra Selatan dapat memengaruhi iklim dan permukaan laut global. Kini, dengan pemanasan yang disebabkan manusia, kekhawatiran bahwa sejarah itu akan terulang semakin besar, hanya saja dalam waktu jauh lebih singkat.
Pengaruh Siklus Orbit Bumi terhadap Arus Laut
Perubahan besar 130.000 tahun lalu dipicu oleh mekanisme alami dalam sistem tata surya, dikenal sebagai Siklus Milankovitch. Siklus ini menggambarkan perubahan periodik pada orbit dan kemiringan sumbu Bumi yang memengaruhi seberapa banyak energi matahari diterima di setiap belahan.
Sekitar masa itu, kombinasi orbit dan kemiringan membuat Belahan Bumi Selatan menerima lebih banyak energi matahari. Panas tambahan ini memperkuat Angin Baratan Selatan, sistem angin yang mengelilingi Antarktika dan menjadi penggerak utama ACC. Ketika angin ini menguat dan bergeser ke selatan, arus laut pun ikut terdorong mendekati lapisan es.
Hubungan ini menunjukkan betapa sensitifnya sistem iklim global terhadap perubahan kecil di orbit Bumi. Pergeseran yang tampak lambat di ruang angkasa dapat memicu perubahan besar di samudra dan lapisan es yang menentukan kestabilan planet selama ribuan tahun.

Kondisi saat ini berbeda. Secara alami, Siklus Milankovitch seharusnya membuat ACC bergeser perlahan ke utara dalam ribuan tahun mendatang. Namun, aktivitas manusia menciptakan tekanan baru.
Pemanasan global akibat pembakaran bahan bakar fosil memperkuat Angin Baratan Selatan, menarik ACC kembali ke selatan. Observasi satelit dan data oseanografi menunjukkan pergeseran sistem angin dan arus laut ini memang sedang terjadi. Air laut yang lebih hangat kini mencapai dasar lapisan es Antarktika Barat, mempercepat pencairan dari bawah.
Jika tren ini berlanjut, kenaikan permukaan laut global bisa terjadi lebih cepat dari perkiraan. Kenaikan satu meter saja sudah cukup untuk membanjiri wilayah pesisir Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya akan menghadapi ancaman serius, sementara pulau-pulau kecil berisiko hilang seluruhnya. Perubahan di Samudra Selatan mungkin tampak jauh, tetapi dampaknya nyata bagi seluruh planet. Arus laut di wilayah terpencil itu mengatur sirkulasi panas dan karbon global. Setiap pergeseran kecil pada sistem ini dapat memengaruhi pola cuaca, curah hujan, dan kestabilan laut,unsur penting bagi kehidupan manusia.
Penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Nature Communications.