- Seekor macan tutul jawa (Panthera pardus melas) muncul di kompleks Hotel Anugerah, Jalan Padasaluyu, Kelurahan Isola, Kecamatan Sukasari, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (6/10/2025). Tidak diketahui pasti, bagaimana satwa dilindungi ini masuk ke bangunan tersebut.
- Agung Gantar, peneliti macan jawa dari formata, mengatakan wilayah yang dimasuki macan itu area padat penduduk. Nyaris tidak ada tutupan hutan, hanya ada kebun, villa, dan perumahan.
- Macan tutul tersebut memiliki kemiripan dengan individu yang sebelumnya dilaporkan kabur dari Lembang Park Zoo. Saat ini, macan tutul ditempatkan di Cikananga Wildlife Center, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
- Evakuasi macan tutul setelah terjadi konflik dengan manusia, sering menimbulkan persoalan baru yang lebih rumit. Rangkaian proses panjang dengan beban biaya tidak murah menjadi konsekuensinya. Bentuk konservasi yang paling efektif adalah menjaga macan tutul tetap tinggal di habitat alaminya.
Seekor macan tutul jawa (Panthera pardus melas) muncul di kompleks Hotel Anugerah, Jalan Padasaluyu, Kelurahan Isola, Kecamatan Sukasari, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (6/10/2025).
Tim gabungan dari Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Bandung, mengevakuasi satwa liar tersebut hari itu juga. Tidak diketahui pasti, bagaimana satwa dilindungi ini masuk ke bangunan tersebut.
Agung Gantar, peneliti macan jawa dari formata, mengatakan wilayah yang dimasuki macan itu area padat penduduk. Nyaris tidak ada tutupan hutan, hanya ada kebun, villa, dan perumahan.
“Ini menarik diteliti, dari mana individu ini berasal dan bagaimana bisa sampai ke kota,” terangnya, Senin (6/10/2025).
Agung coba mengamati pola totol macan itu melalui gawainya. Dia mencocokkan sejumlah foto, membandingkan satu per satu dengan cermat. Meski belum bisa menarik kesimpulan, Agung meyakini macan tutul tersebut memiliki kemiripan dengan individu yang sebelumnya dilaporkan kabur dari Lembang Park and Zoo, Rabu (27/8/2025).
Pola totol layaknya sidik jari manusia, unik dan tidak ada yang sama.
“Kemungkinan besar begitu. Tapi perlu identifikasi lagi lebih lanjut.”
Petugas gabungan juga menyampaikan penemuan jejak. Lokasinya di belakang hotel, sekitar 50 meter ke arah utara. Rutenya melewati parit diapit tembok, persis di sebelah sungai kecil di antara kebun sayur.
“Itu memang jejaknya. Cirinya, lebih bulat tidak ada tapak kuku.”

Agung menduga, macan mengikuti alur sungai. Hal yang tidak pernah dilakukan di habitat alaminya. Namun, insitingnya menganggap sungai menjadi tempat paling aman untuk berkamuflase hingga berburu mangsa.
Hal itu sesuai morfologi macan. Bulu kuning keemasan dengan totol sekujur tubuh, menguntungkannya berburu pada ruang terbuka siang hari. Berbeda dengan macan yang bulunya pekat dan gelap, akan lebih sulit berburu di ruang terbuka karena perawakannya lebih mencolok. Perubahan melanisme itu terbentuk dengan menyesuaikan habitatnya.
Menurut Agung, kondisi macan tutul ketika dievakuasi dalam kondisi lapar. Umurnya, diperkirakan 3-4 tahun. Di alam, pejantan muda seperti itu sedang belajar berburu sambil mencari teritori baru.
Hasil studi di Taman Nasional Bardia, Nepal menunjukkan konsumsi harian macan tutul diperkirakan sekitar 4,7 kilogram daging. Riset lain mencatat, jantan dewasa rata-rata mengonsumsi 3,3 kilogram, betina 2,5 kilogram, dan dalam beberapa kasus bisa mencapai hingga 8 kilogram daging per hari.
Diperkirakan, Panthera pardus melas dengan ukuran tubuh lebih kecil dibanding macan tutul di Asia, kebutuhan makannya sekitar 3–5 kilogram per hari, tergantung ukuran tubuh dan jenis kelamin.

Ery Mildranaya, Humas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat, mengatakan kondisi top predator itu baik dan telah ditempatkan di Cikananga Wildlife Center, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, sekitar 116 kilometer dari Bandung. Di kandang rehabilitasi, sudah tampak aktivitasnya berupa grooming dan menjilati anggota tubuh secara aktif.
“Jika perkembangan membaik, kami segera siapkan opsi pelepasliaran,” terangnya, Kamis (9/10/2025).
Ery tidak mempersoalkan asal-usul macan tutul. Paling penting, kondisinya hidup.
“Identifikasi masih berjalan. Dari sudut gambar yang kami ambil, belum lengkap untuk diambil kesimpulan.”
Sejauh ini, lanjut dia, pendataan populasi macan tutul di wilayah konservasi di Jawa Barat, paling lengkap datanya di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Meski begitu, pihaknya belum memutuskan tempat lepasliar. Sebab, macan tutul masih menjalani tahap rehabilitasi, observasi, dan monitoring intensif.

Langkah panjang
Resit Sozer, Direktur Cikananga Wildlife Center (CWC), menjelaskan bahwa evakuasi macan tutul setelah terjadi konflik dengan manusia, sering menimbulkan persoalan baru yang lebih rumit. Rangkaian proses panjang dengan beban biaya tidak murah menjadi konsekuensinya.
Bentuk konservasi yang paling efektif adalah menjaga macan tutul tetap tinggal di habitat alaminya. Menurutnya, konflik antara manusia dengan satwa cenderung terjadi berulang dengan pola serupa. Masalah, biasanya muncul saat macan tutul turun gunung hingga memangsa ternak warga di sekitar kawasan hutan.
“Motif konflik hanya dua hal itu saja,” jelasnya, Kamis (9/10/2025).
Konservasi macan tutul merupakan kisah panjang tentang adaptasi rumit, yang tidak bisa dilepaskan dari intervensi manusia. Namun, intervensi harus dilakukan hati-hati dan mempertimbangkan kondisi spesifik tiap kasus. Tujuannya bukan menjinakkan, melainkan mengembalikan sifat alami.
Selama karantina, interaksi satwa dan manusia dibatasi seminimal mungkin. Pakan diberikan tanpa kontak langsung, sementara perilaku satwa dipantau melalui kamera pengawas.
“Tujuannya, menjaga naluri liar tetap aktif dan tidak tumpul akibat terlalu sering melihat atau berinteraksi dengan manusia.”

Sejak 2001, CWC telah mengamati pola perilaku karnivora seperti harimau dan singa, khususnya individu yang pernah mengalami konflik. Resit mengungkapkan, mereka pernah mengalami kendala pemulihan ketika seekor macan tutul dimasukkan ke kandang yang sebelumnya digunakan singa.
“Ia tidak mau bergerak sama sekali. Seolah tahu, tempat itu bukan wilayahnya,” jelasnya. “Setelah dipindahkan, aktif kembali.”
Berdasarkan pengalaman itu, Resit selalu membawa kotoran harimau atau singa untuk menangani konflik. Bahkan, di beberapa lokasi pola itu cukup berhasil. Penciuman macan tutul mengira ada predator lain yang besar.
“Sebagaimana hidup kucing besar yang soliter, macan tutul lebih menghindar konflik.”

Dalam jurnal “Identifying priority conservation landscapes and actions for the Critically Endangered Javan leopard in Indonesia: Conserving the last large carnivore in Java Island” dijelaskan, sebelum harimau jawa (Panthera tigris sondaica) punah, macan tutul jawa hidup lebih tersembunyi dan banyak beraktivitas di pepohonan untuk menghindari persaingan. Mereka beristirahat, berburu di malam hari, dan menyimpan mangsa di atas kanopi. Hal itu sebagai bentuk pembagian ceruk (niche partitioning) agar bisa melindungi diri dari harimau.
Setelah harimau menghilang, terjadi pelepasan ceruk ekologis. Macan menjadi predator utama, pola hidupnya berubah lebih fleksibel dan adaptif. Mereka terbiasa berburu di siang hari, punya jelajah lebih luas dan memangsa hewan lebih besar. Namun, kemampuan memanjat tetap menjadi warisan penting yang membantu mereka bertahan di hutan Jawa yang kian terfragmentasi.
Untuk itu, Resit menganjurkan adanya perubahan dalam aspek sosial. Masyarakat juga bisa menerapkan pola adaptasi seperti penempatan kandang ternak tidak dekat perbatasan hutan karena biasanya jadi jalur lintasan.
“Atau konstruksi kandang dibuat kokoh agar sulit dijangkau,” ucapnya.

Keberhasilan ideal
Dalam catatan CWC, ada dua individu menjadi bukti rehabilitasi berhasil jika dilakukan dengan benar sejak awal, yaitu kisah Slamet Ramadhan dan Rasi. Keberhasilan ini tidak hanya diukur dari kelulusan mereka dari kandang rehabilitasi, tetapi juga adaptasi pasca-pelepasliaran.
Keduanya terus dipantau intensif untuk memastikan mereka mampu beradaptasi, menemukan wilayah jelajah baru, dan yang terpenting, tidak kembali turun ke permukiman warga.
Baik Slamet dan Rasi, keduanya memiliki latar belakang sebagai korban konflik. Slamet Ramadhan, ditemukan pada 2019. Jantan dewasa itu dievakuasi dalam kondisi stres setelah turun ke perkampungan di Kabupaten Subang. Lokasi hutan terdekat sekitar lima kilometer.
Di tahun yang sama, individu betina bernama Rasi ditemukan warga di Kabupaten Garut. Saat dievakuasi, usianya diperkirakan tiga bulan. Diduga induknya mati diburu, karena pada umur tersebut, anak macan biasanya dalam perlindungan ibunya.

Upaya mengembalikan Slamet dan Rasi ke habitat alami, bukan proses sederhana, melewati serangkaian tahapan rigid.
Karena skema translokasi, pemantauan dilakukan melalui kalung GPS untuk melacak pergerakan dan pola jelajah. Teknologi ini memberikan data penting menganalisis habitat baru, termasuk kepadatan populasi dan kualitas ekosistem.
“Satu kalung, harganya USD5.000,” ucap Resit. “Bagi saya, konservasi paling murah adalah tetap membiarkan mereka hidup di habitatnya.”
Kisah macan tutul Jawa dari masa lalu hingga kini tidak banyak berubah. Keberadaannya sering luput dari perhatian dan sering dianggap pengganggu. Sebagai bagian ekosistem di Pulau Jawa, satwa ini baru kembali dibicarakan lagi saat jadi korban konflik dengan manusia.
Referensi:
Wibisono, H. T., Wahyudi, H. A., Wilianto, E., Pinondang, I. M. R., Primajati, M., Liswanto, D., & Linkie, M. (2018). Identifying priority conservation landscapes and actions for the Critically Endangered Javan leopard in Indonesia: Conserving the last large carnivore in Java Island. PLoS One, 13(6), e0198369. https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0198369
*****
Masih Dicari, Macan Tutul yang Lepas dari Lembang Park and Zoo