- Rencana masuknya perusahaan kayu, PT Sumber Permata Sipora (SPS) di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar) terus mendapat penolakan warga. Mereka khawatir, kehadiran perusahaan akan membawa dampak ekonomi berkepanjangan, mengganggu budidaya toek, pertanian, hingga wisata surfing.
- Toek adalah sejenis hewan moluska yang hidup di potongan kayu, terutama jenis tumung atau arthrophylum diversifollium dan kayu bakbak atau campnosperma auriculata. Oleh perempuan di Sipora, toek banyak dibudidayakan di sepanjang Sungai Saureinu untuk tambahan penghasilan.
- Gusmardi Indra, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (Sumbar) sebut, pembukaan hutan di hulu akan berpotensi meningkatkan sedimentasi di pesisir. Dampaknya, mangrove dan terumbu karang akan mati.
- Amalya Oktaviani, manajer kampanye bioenergi Trend Asia mengatakan, masyarakat adat di Pulau Sipora sudah membentuk sistem ekonomi sirkular yang bergantung pada keberadaan hutan. Sebab itu, sangat penting untuk menjaga keseimbangannya. Dia pun mendesak agar izin SPS ditinjau ulang.
Rencana masuknya perusahaan kayu, PT Sumber Permata Sipora (SPS) di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar) terus mendapat penolakan masyarakat. Mereka khawatir, kehadiran perusahaan akan membawa dampak buruk bagi kehidupan mereka dari sektor ekonomi, mengganggu budidaya toek, pertanian, hingga wisata berselancar.
Toek adalah sejenis hewan moluska yang hidup di potongan kayu, terutama jenis tumung atau arthrophylum diversifollium dan kayu bakbak atau Campnosperma auriculata. Oleh perempuan di Sipora, budidaya toek banyak di sepanjang Sungai Saureinu untuk tambahan penghasilan.
Belum lama ini, Mongabay menemui Rita dan perempuan Sipora lain yang tengah sibuk memanen toek di pinggir Sungai Saureinu. Sungai berair payau ini memang menjadi tempat ideal untuk budidaya toek. Dengan harga Rp20.000-25.000 per bungkus, toek merupakan sumber penghasilan yang menjanjikan.
“Hampir semua ibu-ibu di sini jual toek. Mereka bisa dapat Rp400.000 sehari,” kata Rita
Uang itu dapat menjadi tambahan mereka membiayai sekolah anak dan pemenuhan kebutuhan rumah lainnya.
Rita tak ingat pasti kapan budidaya toek mulai warga lakukan. Yang pasti, sejak ada media sosial seperti Facebook, praktik ini kian menjamur. Banyak dari mereka yang memiliki pelanggan online.
“Jadi kadang sudah ada pelanggan pesan di Facebook,” kata mantan penyiar radio di Mentawai ini.
Dulu, saat akhir pekan, sungai-sungai di Sipora biasa penuh oleh kaum ibu-ibu -sebagian berasal dari luar Sipora- yang memanen toek. Sejak penebangan kayu di hulu marak, air sungai berubah lebih keruh hingga menjadikan kualitas toek berkurang. Bahkan tak layak konsumsi.
“Karena sungainya keruh, toek-nya banyak yang merah. Yang bisa dimakan kan yang warna putih,” kata Riko, warga lainnya.
Minti Sabebeget, kerabat Rita bilang, perempuan-perempuan di Saureinu sudah bisa mencari toek sejak muda. Kebiasaan itu mereka pelajari dari orang tua mereka dengan merendam kayu tumung selama beberapa hari di sungai berair payau.
Rita dan kawan-kawannya sempat membuat video penolakan masuknya perusahaan kayu di Facebook . Mereka khawatir, operasi perusahaan akan menurunkan kualitas sungai, yang itu berarti mengancam budidaya toek yang jadi sumber penghasilan mereka.

Ancam wisata surfing
Tak hanya pembudidaya toek, wisata berselancar (surfin)g yang jadi favorit turis mancanegara juga bisa turut terdampak operasi SPS. Beberapa titik di Mentawai, seperti pantai di Katiet, Desa Bosua, Sipora Selatan memang terkenal sebagai destinasi surfing.
Irman Jhon, Kepala Desa Bosua meyakini, penebangan kayu di hulu akan berdampak panjang hingga ke hilir. Tak hanya tingkatkan ancaman banjir, juga sedimentasi di pesisir yang makin cepat.
“Kalau terjadi banjir, tentu lumpurnya juga pasti lari ke bawah, otomatis ke laut,” katanya.
Kalau sudah begitu, minat wisatawan bermain surfing pun pasti surut karena laut yang kotor.
“Ujungnya yang dirugikan negara, terlebih kabupaten, satu orang dipungut dua juta pajak sekian, miliaran yang dipungut kabupaten.”
Dia mengatakan, ada ratusan miliar uang berputar di Bosua yang di dalamnya termasuk Katiet, tempat favorit para surfer. Namun, ada izin SPS mengancam eksistensi destinasi wisata ini.
“Sayang, suara dari desa ini tidak ada apa-apanya. Sebesar apa pun suara kami tidak akan didengar.”
Maxim Gouchen, pemilik Lances Right Surf House sudah 13 tahun menjalankan usahanya mengaku cemas dengan kehadiran izin pemanfaatan kayu SPS.
“Saya tentu saja cemas mendengar berita-berita soal itu.”
Kecemasan itu tidak semata karena kepentingan bisnis, tetapi hutan di Sipora berperan penting bagi ekosistem.
Gusmardi Indra, Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumbar sebut, pembukaan hutan di hulu akan berisiko meningkatkan sedimentasi di pesisir. Dampaknya, mangrove dan terumbu karang akan mati.
“Sebab berbeda antara lumpur yang ada di mangrove itu dengan lumpur padat dari hulu yang merupakan longsoran material padat dan menutup akses oksigen mangrove,” katanya.
Padahal, keduanya merupakan ekosistem penting bagi ikan dan biota laut lainnya.
Tasliatul Fuadi, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumbar, menjawab berbagai kritikan atas terbitnya izin SPS.
Dia bilang, perusahaan akan menebang pohon secara selektif. Misalnya, dengan membatasi pada pohon dengan diameter di atas 50 sentimeter.
“Jadi, penebangannya tidak seperti di darat kepulauan Sumatera,” jelasnya saat ditemui di DPRD Sumbar.
Dia pun mempersilakan masyarakat untuk ikut mengawasi dan tidak perlu takut. Apalagi, sudah ada Permen LHK nomor 10 tahun 2024 yang melindungi pelapor.

Bupati menolak, hidup warga sudah nyaman
Marius Sakerebau, mantan Kepala Desa Berioulou Sipora mengatakan, kehidupan masyarakat di Sipora sejatinya sudah cukup sejahtera. Dari hasil mengolah kelapa saja, mereka bisa mendapat Rp1.500.00 sebulan.
“Itu belum dari cengkih, pinang, pisang dan ikan di laut,” katanya.
Dia bilang, masuknya SPS hanya akan picu konflik berkepanjangan, menghancurkan sumber penghidupan warga, serta memicu bencana ekologis seperti banjir dan longsor. Satwa-satwa yang ada di hutan juga pasti hilang.
Tirjelius, Kepala Desa Saureinu mengatakan, sudah cukup izin-izin perusahaan kayu. Sebab masyarakat sudah dapat banyak secara ekonomi dari hasil ladang mereka.
Rinto Wardana Samaloisa , Bupati Kepulauan Mentawai menolak rencana pengusahaan kayu oleh SPS. Pembabatan hutan, katanya, hanya akan menghadirkan dampak lebih buruk.
Dia pun sampaikan penolakan itu kepada Menteri Kehutanan dan Gubernur Sumbar serta meminta membatalkan izin karena tuai resistensi dari masyarakat.
“Saya sudah menyampaikan langsung kepada Menteri Kehutanan dan Gubernur Sumbar untuk tidak meloloskan izin ini, karena banyak penolakan dari masyarakat dan merugikan masyarakat adat,” kata Rinto.

Jawaban perusahaan
Daud Sababalat, kuasa perusahaan SPS mengatakan, perusahaan akan bekerja sesuai analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
“Karena semua itu sudah masuk kajian bagaimana pencegahan banjir, kebakaran, baik dampaknya di sungai atau laut, yang menjadi komitmen saya ya harus saya kawal itu bagaimana perusahaan ini bekerja sesuai amdalnya,” katanya.
Meskipun Sipora masuk dalam pulau-pulau kecil, katanya, pasti ada cara untuk mencegah dampak buruk dari penebangan.”
Komitmen saya ya harus saya kawal itu bagimana perusahaan ini bekerja sesuai amdalnya,” katanya berdalih.
Terkait penolakan, kata Daud, itu hak masyarakat. “Yang menolak silakan, begitu pun yang menerima. Kalau bisa bahasanya jangan berlebihan dan membuat kita bisa berantem. Silakan menolak, itu hak masing-masing. Karena yang mengeluarkan izin bukan kita tapi dari kementerian.”
Amalya Oktaviani, Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia mengatakan, masyarakat adat di Pulau Sipora sudah membentuk sistem ekonomi sirkular yang bergantung pada keberadaan hutan.
Sebab itu, sangat penting untuk menjaga keseimbangannya. Dia mendesak agar tinjau ulang izin SPS.
“”Sudah saatnya Pemerintah Indonesia mendorong kebijakan pulau kecil tanpa industri ekstraktif, demi menjaga keberlanjutan ekosistem di Pulau Sipora.”
*****
Liputan ini didukung oleh Mongabay Indonesia dan Trend Asia. Beberapa wawancara dilakukan oleh Febrianti.