- Badak jawa merupakan satwa purba yang masih hidup di Pulau Jawa, namun populasinya mengkhawatirkan. Laporan terbaru IUCN menyebut populasi badak jawa turun dari 78 individu menjadi 50 individu setelah kelompok pemburu liar diduga membunuh 26 individu.
- Berabad lalu, diperkirakan badak jawa berkeliaran di hutan-hutan Asia Tenggara, dari Jawa hingga Vietnam. Namun, pada 2011 badak jawa dinyatakan punah di Vietnam, menyisakan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai satu-satunya habitat alami bagi satwa unik ini.
- Populasi dan habitat yang terus mengecil membawa masalah genetik yang kian pelik, perkawinan sedarah. Gen badak jawa semakin seragam yang mengurangi ketahanan mereka terhadap penyakit dan tantangan lingkungan.
- Peneliti mengusulkan lebih memprioritaskan konservasi dengan cara menghentikan perburuan liar dan memastikan daya dukung lingkungan untuk pemulihan populasi badak jawa. Sementara studi genomik dipakai untuk melengkapi tindakan tersebut, melalui pemantauan perubahan variasi genetik, perkawinan sedarah, dan beban mutasi.
Di ujung barat Pulau Jawa, di hutan lebat Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), badak jawa (Rhinoceros sondaicus) menjadi simbol ketahanan sekaligus kerapuhan. Badak jawa merupakan satwa purba yang masih hidup di Pulau Jawa, namun populasinya mengkhawatirkan.
Sumber resmi memperkirakan jumlahnya antara 87-100 individu. Sementara laporan terbaru IUCN menyebut populasi badak jawa turun dari 78 individu menjadi 50 individu setelah kelompok pemburu liar diduga membunuh 26 individu.
Berabad lalu, diperkirakan badak jawa berkeliaran di hutan-hutan Asia Tenggara, dari Jawa hingga Vietnam. Namun, pada 2011 badak jawa dinyatakan punah di Vietnam, menyisakan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai satu-satunya habitat alami bagi satwa unik ini.
Harini Muntasib, pakar konservasi dari IPB University, menyatakan kepunahan badak jawa akan berdampak signifikan terhadap keseimbangan ekosistem. Sebagai herbivora besar, badak jawa memegang peran kunci mengendalikan vegetasi dan menjaga rantai makanan.
“Jadi, badak jawa di Indonesia, khususnya di TNUK, adalah satu-satunya yang tersisa di dunia. Merupakan suatu kebanggaan bahwa kita dapat melestarikan spesies unik ini,” ungkapnya seperti yang dimuat dalam situs IPB.
Sayangnya, populasi dan habitat yang terus mengecil membawa masalah genetik yang kian pelik, perkawinan sedarah. Gen badak jawa semakin seragam yang mengurangi ketahanan mereka terhadap penyakit dan tantangan lingkungan.
Setiap 22 September, diperingati sebagai Hari Badak Sedunia yang bertujuan meningkatkan kesadaran kita akan ancaman kelestarian lima spesies badak tersisa di dunia. Populasi badak jawa saat ini merupakan yang paling kecil dibanding spesies badak lain, dan bersaing dengan populasi badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) yang diperkirakan berkisar 34-47 individu. Tanpa intervensi, mungkin kita tak lagi bisa melihat badak jawa hidup dalam beberapa dekade mendatang.

Keragaman genetik
Sekelompok ilmuwan internasional yang beranggotakan lebih dari 30 peneliti coba menganalisis genom badak. Ada delapan spesies badak yang mereka teliti, yang terdiri lima spesies yang masih ada yaitu badak jawa (R. sondaicus), badak india (R. unicornis), badak sumatera (Dicerothinus sumatrensis), badak putih (Ceratotherium simum), dan badak hitam (Diceros bicornis). Ditambah tiga spesies lain yang sudah punah, yaitu badak wol (Coelodonta antiquitatis), badak merck (Stephanorhinus kirchbergensis), dan badak unicorn siberia (Elasmotherium sibiricum).
Dari hasil penelitian, hal yang terungkap adalah perkawinan sedarah yang tinggi telah terjadi pada spesies badak moderen, tak terkecuali badak jawa.
“Kami mengamati tingkat perkawinan sedarah yang jauh lebih tinggi… pada genom badak saat ini dibandingkan dengan genom badak jawa masa lalu…,” ungkap Shanlin Liu dalam laporan di jurnal Cell (2021), mewakili tim peneliti internasional ini. Dia adalah peneliti dari Universitas Pertanian China.
Tim membandingkan genom badak jawa yang masih hidup pada saat penelitian dilakukan, dengan genom yang diperoleh dari spesimen badak jawa berangka tahun 1838 yang dikoleksi sebuah museum di Oslo, Norwegia. Hasilnya, perkawinan sedarah badak jawa saat ini jauh lebih tinggi, dibanding leluhurnya yang hidup pada abad 19 lalu.
Meski upaya penelitian mereka mengungkap fakta menyesakkan terkait genetika badak jawa dan spesies badak lainnya, namun juga menawarkan solusi.
“Dalam kasus badak jawa dan badak india, urutan genom kami juga menyediakan lebih lanjut dasar analisis konservasi genetik untuk spesies khusus,” tulis laporan itu.
Kedua spesies badak bercula satu ini, sama-sama memiliki populasi kecil. Dengan memahami struktur genetiknya, kita bisa melakukan konservasi melalui pendekatan genetik. Misalnya, melalui program memasukkan individu dari populasi lain untuk memperkaya keragaman genetik di satu populasi.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan, akhir Agustus 2025 lalu meluncurkan program operasi translokasi badak jawa. Dua individu badak jawa dari Taman Nasional Ujung Kulon akan dipindahkan ke lokasi baru yang masih berada di taman nasional, namun berjarak 14 kilometer dan harus melintasi laut. Lokasi baru itu bernama Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSA), dan berada di Desa Ujungjaya, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Mengutip hasil kajian yang digunakan Kementerian Kehutanan, tingkat inbreeding badak jawa saat ini mencapai 58,5 persen. Ditambah dengan keterbatasan daya dukung habitat dan rendahnya keragaman genetik, populasi badak jawa berada dalam kondisi sangat rentan terhadap kepunahan. Dengan Population Viability Analysis (PVA), diprediksi spesies ini bisa punah dalam waktu kurang dari 50 tahun tanpa intervensi nyata.
“Kondisi populasi badak jawa di alam ada indikasi penurunan varietas genetik. Sehingga translokasi ke JRSCA juga dapat membantu mencegah terjadinya inbreeding dan memperkuat ketahanan genetik populasi badak jawa,” ungkap Satyawan Pudyatmoko, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), dalam keterangan tertulis Kementerian Kehutanan.
Mengutip keterangan Kementerian Kehutanan, translokasi itu dilakukan untuk membentuk populasi kedua, memperbaiki keragaman genetik, serta menjamin keberlanjutan spesies melalui manajemen berbasis teknologi moderen seperti Assisted Reproductive Technology (ART) dan biobanking.
Dua badak yang dipilih untuk translokasi telah dipertimbangkan perbedaan haplotipe genetik mereka, untuk mencegah terjadinya perkawinan sedarah. Tujuannya, agar keragaman genetik semakin meningkatkan dan risiko kelainan bawaan semakin menurun.

Evolusi badak jawa
Indonesia memiliki dua jenis badak, yaitu badak sumatera dan badak jawa. Badak sumatera memiliki ciri khas badannya berbulu, panjang tubuhnya dua hingga tiga meter, dan memiliki dua cula, namun cula belakang lebih pendek dan sering hanya berupa tonjolan.
Berbeda dengan badak sumatera, badak jawa tidak berbulu. Badannya sedikit lebih besar dibanding badak sumatera, dan hanya memiliki satu cula. Ciri khas lainnya, kulit tebal yang memiliki lipatan di bagian leher, bahu, dan panggul.
Mengacu pada laporan Liu dan kawan-kawan, badak jawa pernah mendiami sumatera hingga India, menyebar lewat Myanmar, Malaysia, juga Vietnam. Sementara badak sumatera hidup di irisan wilayah yang sama dengan badak jawa, namun pernah mendiami Kalimantan dan tidak pernah sampai ke Jawa.
Meski pernah hidup di wilayah yang sama, ternyata keduanya bersaudara jauh. Badak jawa punya leluhur yang sama dengan badak india, yang sama-sama memiliki satu cula. Sementara badak sumatera punya leluhur yang sama dengan badak wol (berbulu) dan badak merck, tapi keduannya sudah punah.
Kuda, tapir, dan badak memiliki nenek moyang yang sama sekitar 65 juta tahun lalu, dan berpisah sekitar 36 juta tahun silam. Leluhur badak sumatera dan badak jawa memiliki leluhur yang sama sekitar 15 juta tahun lalu, lalu berpisah 9,5 juta tahun lalu.

Peneliti menyimpulkan, perkawinan sedarah yang moderat merupakan ciri intrinsik dari riwayat hidup badak jawa. Sehingga perkawinan sedarah sepertinya nyaris tak terhindarkan pada spesies ini. Namun, ini juga disebabkan karena habitat yang terus menyempit dan daya dukung lingkungan yang menurun. Sehingga di masa depan, tekanan antropogenik dan lingkungan merupakan tantangan besar bagi kelestarian spesies ini.
Peneliti mengusulkan lebih memprioritaskan konservasi dengan cara menghentikan perburuan liar dan memastikan daya dukung lingkungan untuk pemulihan populasi badak jawa. Sementara studi genomik dipakai untuk melengkapi tindakan tersebut, melalui pemantauan perubahan variasi genetik, perkawinan sedarah, dan beban mutasi.
Referensi:
Liu, Shanlin et al. 2021. Ancient and modern genomes unravel the evolutionary history of the rhinoceros family. Cell, Volume 184, Issue 19, 4874 – 4885.e16. https://www.cell.com/cell/fulltext/S0092-8674(21)00891-6?uuid=uuid%3A1084532e-7753-42a5-8092-be10d689aef5
Secretariat of the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). 2025. African and Asian Rhinoceroses – Status, Conservation and Trade. Report prepared by the IUCN Species Survival Commission’s African Rhino Specialist Group, Asian Rhino Specialist Groups and TRAFFIC. https://cites.org/sites/default/files/documents/E-CoP20-084-A3.pdf
*****