- Laporan terbaru IUCN menunjukkan bahwa dua spesies badak paling terancam punah di dunia, berada di ambang kepunahan.
- Populasi badak jawa (Rhinoceros sondaicus) turun sepertiga, dari 76 individu menjadi 50 individu setelah kelompok pemburu liar lokal diduga membunuh 26 individu, yang sebagian besar adalah jantan.
- populasi badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) diperkirakan berkisar 34-47 individu, menjadikannya badak paling terancam sekaligus salah satu satwa paling kritis di planet ini.
Laporan terbaru IUCN menunjukkan bahwa dua spesies badak paling terancam punah di dunia, berada di ambang kepunahan. Populasi badak jawa (Rhinoceros sondaicus) turun sepertiga, dari 76 individu menjadi 50 individu setelah kelompok pemburu liar lokal diduga membunuh 26 individu, yang sebagian besar adalah jantan. Sementara itu, populasi badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) diperkirakan berkisar 34-47 individu, menjadikannya badak paling terancam sekaligus salah satu satwa paling kritis di planet ini.
Masalah badak jawa
Meskipun angka tersebut mengecewakan, Nina Fascione, Direktur Eksekutif International Rhino Foundation, mengatakan bahwa situasinya tidak sepenuhnya tanpa harapan bagi kedua spesies.
“Jumlah badak jawa pernah rendah sebelumnya,” ujarnya. Pada 1967, survei pertama hanya mencatat 26 individu. Badak jawa memiliki satu cula dan lebih dekat kekerabatannya dengan badak India (R. unicornis), yang juga bercula tunggal dan berukuran lebih besar.
“Para konservasionis, pemerintah Indonesia… semuanya telah bekerja sangat keras untuk memulihkan populasi mereka. Prosesnya memang lambat dan badak jelas memiliki masa kehamilan yang panjang, tetapi hal itu pernah berhasil dilakukan sebelumnya,” ujar Fascione. “Kita bisa melakukannya lagi.”
Saat ini, badak jawa hanya dapat ditemukan di satu taman nasional: Ujung Kulon. Populasinya sempat meningkat secara perlahan namun stabil dalam beberapa dekade terakhir, sampai akhirnya para pemburu liar datang.

Menurut laporan pada 2023, petugas penjaga hutan di taman nasional menyadari adanya beberapa kamera jebak yang hilang.
“Rekaman dari kamera tersisa menunjukkan adanya orang bersenjata di dalam taman, tampaknya sedang melacak badak,” demikian isi laporan.
Akhirnya, polisi menangkap 13 pemburu dan pedagang dari desa terdekat yang terlibat dalam pembantaian badak untuk diambil culanya. Kelompok pemburu tersebut menargetkan badak jantan karena ukuran cula mereka lebih besar, sehingga mengacaukan rasio jenis kelamin dan membuat upaya konservasi seperti kembali mundur selama bertahun-tahun.
Insiden ini memunculkan pertanyaan serius tentang keamanan di taman nasional tersebut. Bagaimana mungkin para pemburu dapat beraksi begitu lama dan membunuh begitu banyak badak, padahal ada kehadiran penjaga hutan? Fascione mengatakan bahwa ada banyak perubahan keamanan yang kini telah diterapkan.
“Ada banyak langkah baru yang diterapkan, yang tidak ada beberapa tahun lalu saat perburuan itu terjadi. Perhatian dunia sedang tertuju pada spesies ini. Saya merasa yakin bahwa kita berada dalam posisi yang lebih baik dibandingkan ketika perburuan itu sedang berlangsung,” ujarnya.
Namun, Fascione menambahkan bahwa tidak ada sistem yang benar-benar kebal terhadap aksi para pemburu yang “berani dan kreatif” mengingat tingginya keuntungan dari penjualan cula badak. Cula digunakan dalam pengobatan tradisional Tiongkok dan semakin lama, juga sebagai simbol status di beberapa bagian Asia Tenggara.
Namun, kabar untuk badak jawa tidak sepenuhnya suram.
“Kabar baiknya adalah telah lahir enam anak badak jawa hanya dalam dua tahun terakhir. Mereka melakukan apa yang memang harus mereka lakukan,” kata Fascione. “Kita perlu melindungi mereka.”
Pemerintah juga sedang membahas pembentukan program penangkaran bagi badak jawa, serupa dengan yang telah dilakukan untuk badak sumatera, guna menjamin keberlangsungan spesies ini.
Wacana mengenai pembentukan populasi liar kedua bagi badak jawa sebenarnya telah muncul selama beberapa dekade, namun tak pernah terealisasi. Mengingat anjloknya populasi saat ini, gagasan tersebut bukan merupakan prioritas, ujar Fascione.

Badak sumatera mendekati kepunahan
Sayangnya, perkiraan populasi badak sumatera tetap stabil setelah tiga tahun: diyakini hanya tersisa 34–47 individu di alam liar. Dari semua spesies badak, jumlah badak sumatera adalah yang paling tidak pasti, mengingat keterbatasan data, kondisi habitat yang terjal dan terpencil, serta sifatnya yang terkenal sulit ditemui.
“[Jumlah itu] hanyalah perkiraan, dan itulah satu-satunya yang bisa kita lakukan,” kata Fascione.
Badak sumatera, yang merupakan badak terkecil, adalah spesies paling tua secara evolusioner. Mereka mewakili genus tersendiri dan merupakan badak yang paling berbulu serta paling banyak mengeluarkan suara. Spesies ini juga merupakan kerabat terdekat dari badak berbulu lebat (Coelodonta antiquitatis) yang telah punah sekitar 14.000 tahun lalu, kemungkinan besar akibat perburuan oleh manusia dan perubahan iklim.
Kabar baiknya, program penangkaran badak sumatera yang berjalan sukses telah mencapai 11 individu dan menjadi bentuk perlindungan terakhir terhadap ancaman kepunahan total.
Untuk populasi liar, laporan memperkirakan ada 2–3 individu yang mungkin masih bertahan di Kalimantan, mewakili subspesies berbeda: D. s. harrissoni. Saat ini, hanya satu yang benar-benar terkonfirmasi: seekor betina bernama Pari. Selama bertahun, para pihak berwenang berusaha menangkap Pari untuk dimasukkan ke dalam program penangkaran, karena ia akan membawa keragaman genetik penting bagi populasi.
“Pari benar-benar sulit sekali dilacak,” ujar Fascione.

Sebagian besar badak liar yang masih bertahan diyakini hidup di Sumatera bagian utara. Mereka sebelumnya diduga telah punah di Sumatera bagian selatan dalam dekade terakhir. Namun, perkembangan terbaru mengubah pandangan ini. Anjing pelacak dari organisasi nirlaba Working Dogs for Conservation menemukan kotoran yang diyakini milik badak di Sumatera bagian selatan, tanda nyata pertama keberadaan badak di wilayah tersebut setelah sekian lama.
“Anjing-anjing kami sangat terlatih menghadapi tantangan penciuman yang sulit seperti ini,” ujar Crystal Sharlow-Schaefer, Direktur Pengembangan Working Dogs for Conservation.
Kotoran badak yang ditemukan, lebih dari satu sampel, telah melewati satu uji yang mengonfirmasi bahwa itu berasal dari badak sumatera yang sulit ditemui. Masih dibutuhkan dua uji tambahan sebelum para konservasionis dapat memastikan bahwa itu benar-benar kotoran badak.
“Ini benar-benar temuan baru. Bahkan, anjing-anjing itu sedang berada di hutan,” kata Fascione. Jika terbukti, hal ini bisa menjadi harapan tambahan bagi spesies tersebut. Fascione menegaskan bahwa setiap badak yang ada di Sumatera bagian selatan, sebaiknya ditangkap dan dimasukkan ke dalam program penangkaran, yang sangat membutuhkan anggota baru karena seluruh jantan yang ada saat ini memiliki hubungan kekerabatan langsung.
Fascione mengatakan ada sejumlah cara untuk membantu badak terakhir Asia: ikut serta dalam peringatan Hari Badak Sedunia (yang dirayakan setiap 22 September), mengunjungi kebun binatang yang memiliki badak (karena kebun binatang sangat aktif dalam upaya konservasi badak), dan yang terakhir mempertimbangkan untuk berdonasi dalam rangka mengembangkan Suaka Badak Sumatra (SRS), yang saat ini menampung badak hasil penangkaran. Saat ini, kapasitas suaka tersebut sudah penuh.
Laporan ini, yang terbit setiap tiga tahun sekali, disusun oleh IUCN Species Survival Commission’s African Rhino Specialist Group, Asian Rhino Specialist Group, dan TRAFFIC.
Artikel ini dipublikasikan perdana di sini pada 13 Agustus 2025 oleh Mongabay Global. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
*****