- Ekspedisi E/V Nautilus tahun 2022 menemukan formasi batu vulkanik di kedalaman lebih dari 3.000 meter di Papahānaumokuākea Marine National Monument. Batuan itu retak membentuk pola mirip “jalan bata kuning” yang sempat memicu seruan kagum para peneliti: “Ini jalan menuju Atlantis!”
- Menurut tim Ocean Exploration Trust, retakan 90 derajat tersebut terbentuk akibat pemanasan dan pendinginan berulang dari letusan vulkanik di gunung laut Nootka. Fenomena ini dikenal sebagai hyaloclastite, batuan vulkanik purba yang menyerupai susunan bata.
- Temuan ini mengingatkan bahwa laut dalam masih misterius: baru 3% PMNM yang dijelajahi, sementara di Indonesia laut dalam seperti Palung Jawa dan Laut Banda berpotensi menyimpan keajaiban serupa, tetapi eksplorasinya masih minim.
Ketika para peneliti dari kapal eksplorasi E/V Nautilus menurunkan wahana kendali jauh mereka ke dasar Samudra Pasifik, tak seorang pun di atas kapal menduga akan menemukan pemandangan yang mirip dengan dongeng. Di kedalaman lebih dari 3.000 meter, kamera menangkap sesuatu yang tampak seperti jalan kuning berlapis bata, seolah-olah membawa kita menuju “Kota Atlantis” atau bahkan ke “Emerald City” dalam kisah The Wizard of Oz. Seruan takjub terdengar melalui radio: “Ini jalan menuju Atlantis!” Rekaman audio ini kemudian viral dan membuat publik membicarakan kembali keajaiban laut dalam.
Formasi itu terlihat begitu rapi, seakan dibuat oleh tangan manusia purba yang bekerja di kedalaman yang mustahil dijangkau oleh manusia. Permukaan batuan tampak kering seperti kerak tanah yang dipanggang, padahal berada di lingkungan laut dalam. Para peneliti yang mengoperasikan wahana laut dalam saat itu terdengar tercengang: “Jalan bata kuning?” timpal seorang anggota tim. “Ini aneh,” sahut yang lain. “Kau bercanda? Ini gila!” lanjut suara berbeda. Reaksi spontan ini kemudian menjadi bagian dari daya tarik video resmi yang dirilis di YouTube pada April 2022.

Namun, di balik keindahan sekaligus keanehan itu, sains berbicara dengan lugas. Jalan bata kuning di dasar samudra bukanlah peninggalan peradaban yang hilang, melainkan hasil dari proses geologi murni. Batuan vulkanik yang terbentuk jutaan tahun lalu, lalu mengalami pemanasan dan pendinginan berulang akibat letusan, retak dengan pola sudut nyaris sempurna. Dalam keterangan resmi video, tim Ocean Exploration Trust menyebut: “Retakan 90 derajat yang unik kemungkinan terkait dengan tekanan pemanasan dan pendinginan dari beberapa letusan di tepian yang dipanggang ini.”
Baca juga: Misteri “Oksigen Gelap” di Dasar Laut: Penemuan yang Mengejutkan Dunia Sains
Misteri Laut Dalam yang Belum Terungkap
Papahānaumokuākea Marine National Monument (PMNM), lokasi penemuan ini, merupakan salah satu kawasan konservasi laut terbesar di dunia, yakni seluas 1.508.870 km². Artinya PMNM hampir tiga kali lebih luas daripada seluruh Pulau Kalimantan (Borneo), atau lebih dari empat kali luas Provinsi Papua. Kawasan ini ditetapkan pada 2006 oleh Presiden George W. Bush, diperluas oleh Barack Obama pada 2016, dan sejak 2010 tercatat sebagai situs Warisan Dunia UNESCO karena nilai ekologis, budaya, dan spiritualnya. Nama “Papahānaumokuākea” sendiri berasal dari kosmologi Hawaii, melambangkan “ayah langit” dan “ibu bumi”.
Meski sangat luas, baru sekitar 3 persen dari dasar laut PMNM yang berhasil dieksplorasi. Itu artinya 97 persen sisanya masih berupa dunia asing yang menyimpan potensi kejutan serupa, atau bahkan lebih menakjubkan. Jalan bata kuning hanyalah salah satu fragmen dari cerita besar tentang laut dalam yang belum kita pahami sepenuhnya.
Kawasan PMNM sendiri memiliki arti penting, bukan hanya dari sisi geologi, tetapi juga biologi. Di sana hidup aneka spesies laut dalam yang unik: dari bulu babi merah raksasa (Heterocentrotus mamillatus), ubur-ubur transparan, gurita dumbo yang lucu, hingga organisme aneh seperti “headless chicken monster” atau monster ayam tanpa kepala (Enypniastes eximia) yang sempat direkam ekspedisi Nautilus. Dalam siaran langsung, terdengar jelas keterkejutan sekaligus rasa kagum para peneliti. Salah satu dari mereka berseru: “Apakah ini jalan menuju dunia lain? Ini benar-benar gila!” Kalimat-kalimat emosional semacam itu jarang terdengar dalam penelitian ilmiah formal, tetapi justru memperlihatkan betapa misteriusnya laut dalam.
Selain keanekaragaman hayati, ekspedisi Nautilus juga berhasil mendokumentasikan mineral laut dalam seperti kerak mangan. Sambil mengoperasikan lengan robotik, para peneliti berhasil mengambil sampel sebelum akhirnya “tersandung” pada jalur batuan yang kemudian dijuluki jalan bata kuning. Adegan ini membuat ekspedisi tersebut menjadi tontonan ilmiah yang menghibur sekaligus mendidik, sebuah cara efektif menghubungkan penelitian dengan publik.
Baca juga: Bangunan Kuno Bersejarah di Dasar Laut Ini Bukanlah Buatan Manusia
Ilusi Batu Bata dan Penjelasan Geologi
Sekilas, formasi itu memang menyerupai jalan buatan yang mengarah ke dunia baru. Tetapi bagi geolog, pola itu adalah bukti jelas dari dinamika vulkanisme bawah laut. Ketika lava panas bertemu air laut yang dingin, proses pendinginan cepat menghasilkan retakan tegak lurus. Jika terjadi berulang kali karena beberapa letusan, maka hasilnya adalah pola menyerupai susunan bata. Analogi yang sering dipakai adalah kerak roti atau brownies yang retak saat dipanggang — hanya saja ini terjadi dalam skala raksasa dan selama ribuan tahun.

Fenomena serupa, berupa formasi hyaloclastite yang terbentuk akibat pendinginan cepat lava di bawah es atau air, juga dapat ditemukan di Islandia, seperti hyaloclastite ridges (tindars) di kawasan Sveifluháls, yang lahir dari letusan subglasial pada zaman es. Namun, formasi di Hawaii ini jauh lebih simetris, sehingga menipu mata lebih meyakinkan. Itulah yang membuatnya dijuluki sebagai “jalan bata kuning” dan memicu imajinasi publik.
Lokasi spesifik formasi ini berada di puncak Nootka Seamount, bagian dari jajaran gunung laut Liliʻuokalani Ridge. Gunung laut adalah gunung berapi purba yang tidak pernah muncul ke permukaan, namun tetap membentuk lanskap kompleks di dasar samudra. Dalam pernyataannya, tim Nautilus menegaskan: “Apa yang tampak seperti jalan bata kuning menuju kota Atlantis sesungguhnya adalah contoh geologi vulkanik kuno yang aktif.” Pernyataan ini menutup spekulasi tentang artefak manusia, sekaligus menegaskan bahwa sains mampu menjelaskan fenomena yang tampak “mistis”.
Penemuan seperti ini seharusnya menjadi refleksi penting bagi Indonesia. Kita hidup di negara kepulauan terbesar di dunia dengan laut dalam yang sama misteriusnya, bahkan lebih ekstrem di beberapa lokasi. Palung Jawa, misalnya, mencapai kedalaman lebih dari 7.000 meter, lebih dari dua kali lipat lokasi jalan bata kuning ditemukan. Laut Banda pun dikenal memiliki kedalaman luar biasa, menjadikannya salah satu laut terdalam di dunia.
Meski potensinya besar, eksplorasi laut dalam Indonesia masih sangat terbatas. Sebagian besar penelitian fokus pada pesisir dan terumbu karang, sementara dunia laut dalam jarang tersentuh. Pada 2018–2019, BRIN (saat itu LIPI) melakukan Ekspedisi Widya Nusantara di Laut Banda sebagai bagian upaya eksplorasi laut dalam Indonesia, memperkuat pentingnya penelitian lokal di wilayah yang masih banyak menyimpan misteri. Jika Hawaii bisa menghadirkan “jalan bata kuning” yang viral, siapa tahu laut dalam Nusantara menyimpan kejutan serupa, baik berupa formasi geologi unik maupun spesies yang tak pernah tercatat sebelumnya.
Menurut data terbaru dari Seabed 2030, per Juni 2024, sekitar 26,1 % dasar laut dunia telah dipetakan dengan resolusi tinggi, artinya tersisa 73,9 % yang masih belum memiliki pemetaan detail. Artinya, apa yang ditemukan tim Nautilus hanyalah puncak gunung es dari misteri yang jauh lebih besar. Penemuan seperti “jalan bata kuning” memperlihatkan betapa sedikitnya pemahaman kita tentang Bumi sendiri, dan betapa luasnya ruang bagi sains untuk terus mengeksplorasi.