- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Global Alliance of Territorial Communities (GATC), Earth Insight menyerukan pengakuan terhadap masyarakat adat beserta hak-haknya menjelang konferensi iklim (Conference of Parties) COP30 di Brasil.Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Global Alliance of Territorial Communities (GATC), Earth Insight menyerukan pengakuan terhadap masyarakat adat beserta hak-haknya menjelang konferensi iklim (Conference of Parties) COP30 di Brasil.
- Laporan terbaru berjudul “Wilayah Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal di Garis Depan: Pemetaan Ancaman dan Solusi di Hutan Tropis Terbesar di Dunia” menunjukkan masih minim pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat. Akibatnya, perampasan tanah adat terjadi secara masif. Di Indonesia, misal, masyarakat adat kehilangan sekitar 11 juta hektar wilayah adat sepanjang 2014–2024. Yang pemerintah baru akui kurang 1% dari 25 juta hektar lebih wilayah adat.
- Temuan riset di Indonesia menunjukkan, pertambangan, minyak dan gas, pengusahaan hutan, serta proyek energi panas bumi melemahkan sistem tata kelola masyarakat adat lebih 33,6 juta hektar wilayah adat. Tercatat, 6 juta hektar wilayah adat tumpang tindih dengan izin pengusahaan hutan, 1,6 juta hektar dengan blok minyak dan gas, dan hampir 1 juta hektar dengan izin usaha pertambangan.
- Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN mengatakan, krisis iklim dan upaya penanggulangannya tidak bisa lepas dari penjaminan hak-hak masyarakat adat. Banyak hutan terbaik bertahan karena dijaga masyarakat adat. Alih-alih mereka serahkan kepada perusahaan, hutan-hutan itu seharusnya kembalikan ke masyarakat adat. Di tangan perusahaan dan industri ekstraktif, katanya, hutan-hutan rusak dan emisi justru meningkat.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Global Alliance of Territorial Communities (GATC), Earth Insight menyerukan pengakuan terhadap masyarakat adat beserta hak-haknya menjelang konferensi iklim (Conference of Parties) COP30 di Brasil.
Laporan terbaru mereka berjudul “Wilayah Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal di Garis Depan: Pemetaan Ancaman dan Solusi di Hutan Tropis Terbesar di Dunia” menunjukkan masih minim pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat.
Akibatnya, perampasan tanah adat terjadi secara masif. Di Indonesia, misal, masyarakat adat kehilangan sekitar 11 juta hektar wilayah adat sepanjang 2014–2024. Yang pemerintah baru akui kurang 1% dari 25 juta hektar lebih wilayah adat.
Ironisnya, pemerintah justru lebih banyak memberikan izin konsesi kepada perusahaan, 23,8 juta hektar untuk perkebunan sawit, 18,8 juta hektar pengusahaan hutan, dan 9 juta hektar pertambangan.
AMAN dan jejaringnya melakukan analisis geospasial, pengumpulan data masyarakat, dan studi kasus untuk menelusuri berbagai ancaman di Amazonia, Kongo, Indonesia, dan Mesoamerika.

Ekstraktif kuasai wilayah adat
Temuan di Indonesia menunjukkan, pertambangan, minyak dan gas, pengusahaan hutan, serta proyek energi panas bumi melemahkan sistem tata kelola masyarakat adat lebih 33,6 juta hektar wilayah adat.
Tercatat, 6 juta hektar wilayah adat tumpang tindih dengan izin pengusahaan hutan, 1,6 juta hektar dengan blok minyak dan gas, dan hampir 1 juta hektar dengan izin usaha pertambangan.
Salah satu contoh terparah dialami Masyarakat Adat O’Hongana Manyawa, komunitas pemburu-peramu nomaden terakhir di Indonesia.
Lebih dari 65.404 hektar wilayah dihuni sekitar 500 orang dalam isolasi sukarela kini terokupasi perusahaan tambang atas izin pemerintah.
“Sedikitnya ada 19 perusahaan tambang beroperasi di wilayah Masyarakat O’Hongana Manyawa,” kata Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN.
Masyarakat Adat Poco Leok juga mengalami ancaman. Seluas 2.078 hektar wilayah adat mereka tumpang tindih dengan kawasan kerja geotermal.
Kemudian di wilayah Tano Batak juga tak kalah parah. Sebanyak 31.275 hektar dari 164.438 hektar wilayah adat mereka, tumpang tindih dengan izin usaha PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Kondisi seperti ini tak hanya terjadi di Indonesia. Di Amazon, 31 juta dari 250 juta hektartanah masyarakat adat dan komunitas lokal tumpang tindih dengan blok minyak dan gas.
Sebanyak 9,8 juta hektar tumpang tindih dengan konsesi tambang, dan 2,4 juta hektar dengan konsesi penebangan.
Di Cekungan Kongo , masyarakat adat dan lokal memiliki lahan lebih dari 126 juta hektar, dengan hutan 6,9 juta hektar. Dari luasan itu, 38% tumpang tindih dengan blok minyak dan gas, dan 42% dengan izin tambang.
Ancaman serupa juga terjadi di Mesoamerika, 3,7 juta hektar tumpang tindih dengan blok minyak dan gas, 18,7 juta hektar dengan konsesi tambang. Lalu, 17% dari 197 juta hektar lahan mereka terancam ekstraktif.

Harapan di COP30
Kasus serupa di berbagai wilayah hutan tropis memperlihatkan kegentingan yang perlu segera diatasi bersama.
Menurut Rukka, krisis iklim dan upaya penanggulangannya tidak bisa lepas dari penjaminan hak-hak masyarakat adat.
Banyak hutan terbaik bertahan karena dijaga masyarakat adat. Alih-alih mereka serahkan kepada perusahaan, kata Rukka, hutan-hutan itu seharusnya kembalikan ke masyarakat adat.
Di tangan perusahaan dan industri ekstraktif, katanya, hutan-hutan rusak dan emisi justru meningkat.
“Maka seriuslah melindungi, mengakui, menghormati masyarakat adat dan juga dukungan-dukungan yang memang diperlukan untuk menjaga bumi ini,” katanya.
Selain itu, negara-negara utara harus mengubah pola konsumsi dan bertanggung jawab secara struktural.
Rukka menilai, mereka banyak menyumbang emisi, lalu “mencucinya” dengan membeli kredit karbon.
Skema yang COP30 fasilitasi ini, tidak menyelesaikan akar masalah iklim. Seharusnya, negara-negara itu berhenti produksi emisi besar, bukan menukarnya dengan uang.
Transisi energi yang digadang-gadang bisa menurunkan emisi juga tak boleh mengabaikan asas keadilan. Di Indonesia, proyek geotermal kerap menggusur warga di Indonesia.
Belum lagi pertambangan nikel, yang antara lain jadi bahan baku baterai kendaraan listrik.
Rukka menyebut, praktik itu justru mengancam hutan-hutan terbaik yang masyarakat adat jaga.
“Jadi, kita sesungguhnya sedang ditawarkan sebuah jalan solusi palsu.”

Lebih lanjut, kata Rukka, pentingnya pembiayaan langsung bagi masyarakat adat. Selama ini, dana iklim jarang sampai ke komunitas, dan lebih banyak terakses organisasi atau lembaga internasional.
“Uang untuk bumi, banyak habis di jalan, di seminar-seminar, tidak sampai ke kampung.”
Dalam laporannya, GATC—yang mewakili 36 juta warga masyarakat adat dan komunitas lokal dari 24 negara penjaga 958 juta hektar hutan—menyerukan lima tuntutan.
Pertama, menjamin hak masyarakat adat dan komunitas lokal atas tanah. Kedua, menjamin penerapan prinsip persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC).
Ketiga, memastikan pembiayaan langsung sampai ke masyarakat. Keempat, melindungi pembela lingkungan. Kelima, mengintegrasikan pengetahuan tradisional ke dalam kebijakan global.
Juan Carlos Jintiach, Sekretaris Eksekutif GATC, mengatakan, tuntutan itu memberi peta jalan jelas bagi pemerintah, penyandang dana, dan lembaga untuk beralih dari kegiatan ekstraktif menuju regenerasi.
“Tanpa ada tindakan tegas untuk menegakkan hak dan mendukung pengelolaan yang dipimpin oleh masyarakat adat, maka umat manusia tidak akan mampu mencapai tujuannya mengenai iklim dan keanekaragaman hayati,” katanya.
Florencia Librizzi, Wakil Direktur Earth Insight, menambahkan, tanpa pengakuan hak teritorial, penerapan FPIC, dan perlindungan terhadap ekosistem yang menopang kehidupan, tujuan global tentang iklim dan keanekaragaman hayati tak akan tercapai.
“Kita harus mengakui dan memperkuat model pengelolaan dan tata kelola berbasis masyarakat, yang telah menunjukkan jalan menuju masa depan adil dan regeneratif,” katanya.

Menanti langkah konkret
Rukka menekankan, pentingnya segera mengesahkan UU Masyarakat Adat agar komunitas adat memiliki payung hukum kuat.
Dukungan dari pemerintah daerah juga krusial, terutama melalui perda pengakuan masyarakat adat. Hal ini, katanya, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan mereka mempertahankan lahan dari ancaman okupasi.
Contoh, di Pulau Flores, Kepulauan Wallacea. Masyarakat Gendang Ngkiong berhasil mengklaim kembali 892 hektar tanah adat melalui pemetaan partisipatif dan reformasi hukum. Akhirnya, mereka peroleh pengakuan berdasarkan peraturan baru tentang masyarakat hukum adat.
Selain itu, laju deforestasi atas nama pembangunan, termasuk proyek “hijau” tidak berkeadilan, harus setop. Dia bilang, perlu kembalikan hutan-hutan masyarakat adat.
“Hutan-hutan yang ada saat ini udahlah, jangan dirusak lagi.”
Pemerintah pun harus selesaikan konflik tenurial.
Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 181/PUU-XXII/2024, pemerintah tidak boleh menunda pengakuan wilayah adat dengan alasan administratif. Penundaan seperti itu bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak masyarakat adat.
MK menegaskan, pengakuan terhadap masyarakat adat bersifat deklaratif, bukan konstitutif. Jadi, hak adat ada karena keberadaannya, bukan karena negara tetapkan.
Mongabay menghubungi Julmansyah, Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat di Kementerian Kehutanan, untuk menanggapi laporan ini. Namun, hingga berita ini naik, yang bersangkutan belum merespons.
Dalam siaran persnya, Julmansyah menyatakan, menghormati putusan MK. Dia melaporkan progres penetapan hutan adat pada Mei–Juni 2025 seluas 50.984 hektar.
“Sebagai tindak lanjut atas pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi, pemerintah akan merumuskan pedoman atau regulasi yang mengatur pelaksanaan putusan tersebut,” katanya.
Namun, langkah itu dinilai masih jauh dari cukup. AMAN dan BRWA sudah memetakan sekitar 33 juta hektar wilayah adat di nusantara ini dan menyerahkan kepada pemerintah.
Dari luasan itu, yang pemerintah akyi resmi sebagai hutan adat melalui SK Menteri baru sekitar 350.000 hektar.
Rukka bilang, sekitar 60% wilayah adat itu masih negara klaim sebagai kawasan hutan.
“Itu aja dulu [33 juta hektar] diakui sebagai hutan adat. Nanti kita urus bersama-sama,” ucap Rukka.

*****