- Di Indonesia, 5 November diperingati sebagai Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN). Sebuah kesadaran betapa kayanya negeri ini dengan keanekaragaman hayati, sekaligus betapa rentannya kekayaan tersebut terhadap ancaman kepunahan.
- Tiga dekade setelah peringatan ini digaungkan, upaya-upaya penyelamatan diuji oleh realitas di lapangan. Nasib flora dan fauna endemik kebanggaan Indonesia kian terancam.
- Salah satu ancaman terbesar dan paling masif bagi keanekaragaman hayati Indonesia adalah hilangnya habitat akibat deforestasi. Hutan tropis Indonesia, yang merupakan rumah bagi ribuan spesies endemik, terus menyusut.
- Flora dan fauna endemik Indonesia adalah warisan tak tergantikan, penjaga keseimbangan ekosistem lingkungan dan jati diri Indonesia.
Setiap 5 November, Indonesia memperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN). Peringatan yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 4 Tahun 1993 ini, bertujuan membangkitkan kesadaran kolektif akan pentingnya puspa (tumbuhan) dan satwa sebagai identitas dan kedaulatan bangsa.
Dalam keputusan tersebut, pemerintah menetapkan tiga bunga nasional dan tiga satwa nasional; masing-masing adalah puspa bangsa untuk bunga melati (Jasminum sambac), puspa pesona anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis), dan puspa langka bunga padma raksasa atau lebih terkenal dengan nama Rafflesia arnoldii; yang menyandang sebagai bunga terbesar di dunia.
Sementara tiga jenis satwa yang mewakili darat, air, dan udara, dinyatakan sebagai satwa nasional yaitu komodo (Varanus komodoensis); ikan siluk merah (Sclerophages formosus) sebagai satwa pesona; dan elang jawa (Spizaetus bartelsi) sebagai satwa langka.
Tiga dekade setelah peringatan pertama digaungkan, upaya-upaya penyelamatan diuji realitas lapangan. Nasib flora dan fauna kebanggaan Indonesia, kian terancam.

Ancaman kehidupan puspa dan satwa Indonesia
Ancaman terbesar dan paling masif bagi keanekaragaman hayati Indonesia adalah hilangnya habitat akibat deforestasi. Data Global Forest Watch, menunjukkan bahwa Indonesia masih berada di peringkat teratas negara dengan kehilangan tutupan pohon primer terbesar di dunia. Dari 2002 sampai 2024, Indonesia kehilangan 11 Mha hutan primer basah, menyumbang 34% dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama. Area total hutan primer basah di Indonesia berkurang 11% dalam periode waktu tersebut.
“Dari 2001 sampai 2024, Indonesia kehilangan 76% tutupan pohon di wilayah dominan, sehingga menyebabkan deforestasi,” tulis Global Forest Watch.
Hilangnya hutan, secara langsung membuat terancamnya rumah bagi satwa kebangggaan Indonesia. Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies kera besar paling langka di dunia dengan populasi di bawah 800 individu, berada di ujung tanduk. Spesies ini harus bertahan di benteng alam terakhir yang terisolasi.
Pertahanan utama mereka terletak di Ekosistem Batang Toru, habitat bersejarah mereka. Populasi inti di sini, yang secara genetik telah beradaptasi untuk hidup di ketinggian 300-1.300 meter di atas permukaan laut, kini terpecah belah menjadi dua kelompok terpisah, yaitu Blok Barat dan Blok Timur.
Kondisi terfragmentasi ini semakin kritis dengan adanya ancaman proyek industri, termasuk rencana alih fungsi ratusan hektar hutan untuk dijadikan tempat penimbunan limbah dan ada juga mereka terperangkap di dalam kawasan berstatus areal penggunaan lain, yang sangat berisiko beralih fungsi menjadi perkebunan.

Tumbuhan seperti kantong semar (Nepenthes spp.) dan berbagai jenis anggrek hutan kehilangan tempat tumbuhnya. Padahal, banyak dari spesies ini belum sempat diteliti lebih lanjut untuk mengetahui potensinya, misalnya, di bidang obat-obatan. Kepunahan mereka adalah kerugian yang tidak ternilai secara ekologi dan ilmiah.
Tak kalah mengkhawatirkan adalah perdagangan satwa liar ilegal. Maraknya perdagangan satwa liar ilegal dan praktik tumpang tindih secara signifikan dengan perdagangan legal, dipandang para ahli sebagai ancaman utama bagi konservasi banyak spesies di Indonesia. Ini pula yang mendorong beberapa spesies menuju kepunahan.

Berdasarkan laporan buku “Status Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia 2024” BRIN dan Bappenas (2025), ancaman terhadap kehilangan keanekaragaman hayati adalah kerusakan ekosistem dan habitat. Penyebabnya adalah perubahan tata guna lahan untuk pertanian, perkebunan, serta infrastruktur yang menjadi isu penting hilangnya keanekaragaman hayati, baik dari level global ataupun nasional.
Dalam buku itu tercatat, flora di Indonesia sebanyak 31.031 jenis, yang terdiri kelompok jamur, spermatofita, lumut kerak, lumut sebanyak, dan paku-pakuan (Pteridopita). Pada 2021 jumlah spesies spermatofit (tumbuhan berbiji) yang sudah dilaporkan dari Indonesia mencapai 9,7 % (25.127 spesies) dari jumlah spesies spermatofit di dunia. Diperkirakan, Indonesia mempunyai spesies spermatofit sekitar 13–15% dari spesies spermatofit dunia.
“Untuk fauna, terdata sebanyak 744.279 spesies yang terdiri berbagai taksa. Biota laut teridentifikasi sebanyak 3.478 spesies untuk ikan, 35 spesies mamalia laut, 52 spesies reptil laut, 1.159 spesies cnidaria, 1.869 spesies krustasea, 580 spesies polychaeta, 668 spesies echinodermata, dan 1.087 spesies moluska,” tulis laporan tersebut.
Flora dan fauna endemik Indonesia adalah warisan tak tergantikan, penjaga keseimbangan ekosistem lingkungan dan jati diri bangsa. HCPSN harus menjadi pengingat bahwa kita sedang berlomba dengan waktu untuk menyelamatkan mereka dari kepunahan.
*****
Berdasarkan Jejak Genetik, Orangutan Tapanuli Adalah Jenis Tertua dari Genus Orangutan